Sekian hari berlalu setelah kejadian tersebut.
Audry mencoba menganggap malam itu tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi apa-apa antara dirinya dan Dypta. Namun memorinya menolak lupa. Audry selalu dikejar kekhawatiran. Setiap malam ia terbangun dengan keringat membasahi tubuh karena mimpi buruk. Lalu setelahnya ia akan terjaga sampai pagi. Mimpi itu dipicu oleh ketakutan serta perasaan bersalah pada suaminya. Sekejam-kejamnya Jeff, namun pria itu tetaplah suaminya. Pria yang selama ini menjadi tempatnya menggantungkan hidup. Audry juga merasa trauma setiap kali Jeff mengajaknya berhubungan. Ia takut akan kembali tidur dengan orang yang salah. Audry ingin menolak setiap kali Jeff menginginkannya. Akan tetapi ia tahu hal itu sangat mustahil terjadi. Yang ada, Jeff akan benar-benar menaruh curiga padanya. Siapa yang akan menyangka jika seminggu setelah kejadian itu mereka kembali bertemu. Dypta berjumpa dengan Jeff di luar, lalu pria itu mengajak ke rumahnya. Dypta sudah menolak, namun omnya itu memaksa. “Om, kayaknya aku nggak bisa lama-lama.” Dypta melirik arlojinya. Satu jam lagi ia harus berada di Paradiso, kelab malam tempatnya bekerja sebagai sommelier. ”Sampai kapan kamu kerja di sana? Mending kerja di perusahaan Om aja. Kamu tinggal sebut mau gaji berapa dan posisi apa.” Dypta tertawa pelan dan menolak dengan halus tawaran Jeff padanya. “Maaf, Om, bukannya nggak mau, tapi jadi pebisnis bukan passion-ku.” ”Jadi passion-mu kerja di kelab sambil meniduri banyak perempuan?” seloroh Jeff mengolok Dypta. Tepat di saat itu Audry muncul di hadapan mereka. Ia terkejut mendengar ucapan suaminya, terlebih lagi ketika tahu tamunya adalah Dypta. Hingga tanpa sengaja perempuan itu menumpahkan dua cangkir kopi yang dibawanya. Jeff refleks berdiri dan memandang Audry dengan tajam. “Berapa kali aku harus mengajarimu agar berhati-hati? Apa kamu terlalu bodoh sehingga tidak pernah mengerti kata-kataku?” “Maaf, Pi, aku tidak sengaja,” lirih suara Audry membela diri. Ia sangat malu suaminya memarahi di depan orang lain. ”Tidak sengaja, tidak sengaja, selalu itu alasanmu. Dasar perempuan bebal!” maki Jeff tak berperasaan. Dypta hanya melongo saat melihat Audry jongkok di depan kaki Jeff sambil memungut pecahan cangkir. Ia sama sekali tidak menyangka kalau omnya itu akan bersikap kasar pada istrinya. Begitu kontras dengan kemesraan yang pernah ditunjukkannya saat mereka bertemu di lobi hotel satu minggu silam. “Maaf, Pak, ada tamu ingin bertemu dengan Bapak.” Asisten rumah tangga datang memberitahu. Jeff langsung meninggalkan beranda samping tempatnya berada sekarang untuk menemui tamu tersebut. Dypta yang sejak tadi termangu lantas bangkit dari kursinya, ikut jongkok di dekat Audry, membantu perempuan itu mengumpulkan serpihan kaca. ”Kamu nggak apa-apa?” tanyanya. “Kenapa berani datang ke sini?” desis Audry tidak suka. Ia benar-benar takut kalau semuanya akan terbongkar. “Audry, tolong jangan marah dulu, aku akan jelaskan semua. Aku juga tidak ingin datang ke sini kalau bukan karena terpaksa. Tadi aku bertemu Om Jeff di luar dan dia yang membawaku ke sini.” “Masa?” balas Audry tak percaya. Sejurus kemudian ia merintih ketika pecahan kaca mengenai jarinya. “Duh … sakit …” Dengan impulsif Dypta meraih telunjuk Audry yang berdarah dan mengisapnya. Audry terpana selama beberapa saat atas tindakan laki-laki itu. Perempuan itu mendadak speechless. Ia kehilangan kata-kata berdetik-detik lamanya. “Maaf, bukan bermaksud tidak sopan, tapi yang aku lakukan tadi agar darahnya berhenti mengalir,” ucap pria itu setelah melepaskan jari Audry dari mulutnya. Audry diam saja, namun Dypta menatapnya dengan raut khawatir. “Sepertinya lukamu agak dalam, kita ke dokter ya?” ajaknya ketika darah di jari Audry kembali menetes. ”Nggak usah, ini hanya kena kaca biasa, jangan terlalu berlebihan.” “Percaya atau tidak tapi luka kecilmu itu bisa infeksi dan sangat berbahaya. Ayo ikut aku sekarang!” Dypta menggamit tangan Audry agar berdiri. Jeff sedang keluar bersama tamunya ketika Dypta mengajak Audry pergi. Laki-laki itu membawanya ke tempat praktik dokter terdekat. Dokter mengobati luka di tangan Audry. Ternyata dugaan Dypta tidak salah. Luka Audry lumayan dalam dan terdapat serpihan kecil pecahan kaca yang terjebak di dalam kulitnya, yang jika dibiarkan akan berpotensi menimbulkan infeksi. “Terima kasih. Tadinya kupikir cuma luka kecil dan tidak akan apa-apa.” Ucapan itu disampaikan Audry ketika berada di mobil. Dypta yang sedang menyetir membagi atensi dengan menoleh pada perempuan di sebelahnya. Tidak ada senyum di bibir laki-laki itu ataupun gurat lega di wajahnya. Sikap kasar Jeff tadi begitu membekas di benaknya hingga saat ini. “Om Jeff sering bersikap kasar padamu?” Pertanyaan yang baru saja meluncur dari bibir Dypta membuat Audry terkejut. Namun perempuan itu dengan sigap mengubah ekspresi wajahnya. Ia tersenyum agar Dypta tidak curiga padanya. ”Kasar? Kasar gimana? Jeff sangat lembut dan baik padaku.” ”Apa menurutmu aku percaya?” balas laki-laki itu. “Apa suami yang membentak-bentak istrinya di depan orang lain itu dikatakan baik? Aku nggak buta, Audry. Maaf, tapi tadi aku melihatmu bukan seperti istrinya, tapi pembantunya.” Audry bertahan dan tetap bersikap seolah tidak ada apa-apa. Walau bagaimanapun tidak boleh ada yang tahu mengenai cara Jeff memperlakukannya selama ini. “Pembantu bagaimana maksudmu? Tadi Jeff hanya kaget karena aku menjatuhkan cangkir dan kopinya tumpah. Jadi kamu nggak usah terlalu berlebihan.” “Aku nggak berlebihan. Aku hanya menyampaikan tentang yang kulihat tadi. Seorang suami yang baik nggak akan memperlakukan istrinya dengan seburuk itu hanya karena masalah sepele.” Audry terdiam. Ia kehabisan alasan untuk berkelit. “Kenapa kita berhenti di sini?” tanyanya ketika Dypta menepi, mereka berhenti di pinggir jalan. Laki-laki itu membuka seat belt, lantas memiringkan duduknya mengarah pada Audry. “Aku tahu ini bukan kapasitasku untuk ikut campur. Tapi aku paling tidak bisa melihat perempuan dikasari.” Laki-laki itu menjeda kata, hanya untuk melihat ekspresi perempuan di sebelahnya. “Jujur padaku, apa omku memang begitu? Apa dia sering kasar dan menghinamu?” ”Sudah kubilang bukan. Dia sangat baik dan lembut seperti yang kubilang tadi. Kalau pun dia terkesan kasar itu karena tadi aku muncul tiba-tiba dan menumpahkan kopi sehingga membuat dia terkejut.” Sekeras apa pun Audry menyangkal, namun Dypta tetap tidak percaya. Ia terus memaksa agar Audry berterus terang padanya. “Audry, mungkin mulutmu bisa berbohong, tapi matamu tidak,” ucapnya dengan tatapan yang begitu dalam. ***Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r