"Tidak semua bayangan yang mengelilingimu itu jahat, Ariana. Masih ada juga secercah cahaya yang melindungimu."
Ariana teringat dengan apa yang dikatakan oleh asistennya tadi pagi. Tadi memang dia sempat bertanya seolah tidak mendengar kalimat itu, tapi sebenarnya Ariana dengar. Dia bertanya karena masih tidak mengerti apa maksud kalimat Elian. "Kalau kau terus bengong seperti itu, lain kali aku akan berikan lirik kosong saja." "Hah? Kau bilang sesuatu?" Ariana yang terlalu fokus dengan pikirannya, menoleh pada arah datangnya suara. "Lirien bilang, dia kesal karena kau tidak fokus." Sebastian dengan senang hati menerjemahkan ucapan rekan kerjanya itu. "Mungkin kita perlu istirahat, atau pulang cepat?" "Sepertinya aku harus pulang sedikit lebih cepat." Ariana tak segan menyambar kesempatan yang diberikan padanya. "Memangnya, apa yang membuatmu harus pulang dan tidak fokus selama kita bekerja tadi?" Sebastian kembali bKedua mata Ariana tertutup, dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Dia sedang duduk dengan tegak di pinggiran ranjang, menarik napas dengan teratur dan bukan sedang tidur. Tapi dalam hati, dia sedang menghitung detik demi detik yang dia lewati dengan mata tertutup. "Seribu dua ratus dua puluh satu," gumam Ariana, tepat saat pintu kamarnya berderit terbuka dengan sangat pelan. Ariana membuka mata dan menyaksikan sang suami masuk ke dalam kamar dalam keadaan kusut dan langkah sangat pelan. Entah lelaki itu terlihat kusut karena stres atau hal lainnya "Kau ... sudah pulang?" tanya Bastian dengan sangat ragu-ragu. Dia memilih berdiri di dekat pintu. "Belum tidur?" "Kau sendiri baru pulang? Saat semua orang harusnya sudah lelap?" Kini Ariana berdiri dari posisi duduknya, tapi dengan nada yang sangat tenang dan tanpa beranjak lebih jauh. Saking tenangnya, Bastian sampai merinding. Dia tahu kalau saat ini istrinya sedang dalam keadaan yang kurang baik dan salah sedikit akan me
Langkah Ariana bergema pelan saat hak sepatunya berbenturan dengan lantai marmer mahal. Jemarinya pun menyentuh kain beludu yang menyelimuti sebagian dinding lorong tempatnya berjalan. "La Salle Comune," ucap Hubert si pemandu. "Seperti yang kau lihat, beberapa orang sudah berkumpul dan melakukan pemanasan." Suara denting gelas beradu, suara berbisik, suara tawa, bahkan suara desahan terdengar beriringan, di antara sofa merah yang dibentuk melingkar. Suaranya tidak keras dan tidak mengganggu siapa pun, tapi itu membuat Ariana menarik napas panjang. Beberapa lelaki yang menurut Ariana bukan dominan, berlutut dengan wajah tersenyum. Lebih banyak lagi perempuan dengan pakaian minim. Sementara para dominan, duduk di atas sofa. Untungnya Hubert di pemandu segera beranjak ke bagian belakang. Di sana, ada lorong yang pintu masuknya di tutupi dengan kain merah. "Ini La Chambre de Verre, kamar berjendela." Hubert mengatakan itu, sambil m
"Selamat malam Mademoiselle Jackson." Seorang lelaki lain datang dengan senyum lebar. "Aku adalah pemandu untukmu malam ini dan namaku Hubert, senang bisa membantu member baru sepertimu." "Jadi apa yang harus aku lakukan?" tanya Ariana terlihat cukup tenang. "Kau terlihat tenang untuk kali pertamamu di La Chambre Rouge, jadi aku pikir ini pasti bukan sesi pertamamu. Jadi, kita bisa ...." "Ini kali pertamaku," ucap Ariana memotong kalimat dari si pemandu, tanpa perlu merasa malu dengan kalimatnya. "Oh." Tentu saja si pemandu agak terkejut mendengar pernyataan Ariana. "Aku tidak menyangka seorang Madamoiselle muda sepertimu bisa terlihat seperti orang yang cukup profesional pada kali pertama. Kutebak kau adalah dominan." "Cukup basa-basinya dan tolong segera mulai saja," keluh Ariana sudah mulai tidak sabar. "Aku bukan orang yang punya banyak waktu luang dan ya, menurut email aku dominan." "Tentu saja." Hubert mendekat ke arah layar, lebih tepatnya ke arah susunan rak di sebe
"Tidak semua bayangan yang mengelilingimu itu jahat, Ariana. Masih ada juga secercah cahaya yang melindungimu." Ariana teringat dengan apa yang dikatakan oleh asistennya tadi pagi. Tadi memang dia sempat bertanya seolah tidak mendengar kalimat itu, tapi sebenarnya Ariana dengar. Dia bertanya karena masih tidak mengerti apa maksud kalimat Elian. "Kalau kau terus bengong seperti itu, lain kali aku akan berikan lirik kosong saja." "Hah? Kau bilang sesuatu?" Ariana yang terlalu fokus dengan pikirannya, menoleh pada arah datangnya suara. "Lirien bilang, dia kesal karena kau tidak fokus." Sebastian dengan senang hati menerjemahkan ucapan rekan kerjanya itu. "Mungkin kita perlu istirahat, atau pulang cepat?" "Sepertinya aku harus pulang sedikit lebih cepat." Ariana tak segan menyambar kesempatan yang diberikan padanya. "Memangnya, apa yang membuatmu harus pulang dan tidak fokus selama kita bekerja tadi?" Sebastian kembali b
"Siapa yang kau mau taklukkan?" gumam Ariana dengan kening berkerut menatap laptop, kemudian dengan cepat mengetik. "Kemarin aku tulis dunia, apa sekarang tulis Bastian saja ya?" Perempuan itu terlihat sangat serius menekuri laptop yang ada di depannya, padahal sekarang ini banyak tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Bahkan, dia terlihat tidak begitu peduli dengan sang asisten yang baru masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu. "Apa yang membuatmu berpikir begitu keras, Bos?" Sang asisten bertanya tanpa ragu. "Sesuatu yang tidak bisa kau bantu," jawab Ariana dengan tenang, sambil terus membaca satu demi satu pertanyaan yang ada di laptop. "Kecuali kalau kau berubah pikiran." Sebenarnya pertanyaan yang tertera hanya ada tiga saja, tapi entah kenapa Ariana sulit menjawabnya. Mungkin, karena itu sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sama sekali. Memangnya siapa yang akan menanyakan pertanyaan seperti: [Jika kau adalah alat, siapa yang akan memegang tanganmu?] Ar
Seorang lelaki memasuki ruangan temaram yang terlihat elegan, walau tak banyak yang bisa dilihat dalam cahaya remang-remang. Lampu gantung berhias kristal, menghiasi langit-langit ruangan yang cukup tinggi itu. Jejeran sofa empuk berwarna merah pun memperlihatkan sosok beberapa orang yang sedang bermesraan. Lebih tepatnya, seorang lelaki yang dikerumuni tiga orang perempuan. Namun, begitu sadar ada yang datang, lelaki yang duduk itu mengusir para perempuannya. "Maaf mengganggu waktu bersenang-senangmu, Romeo." Lelaki yang baru masuk menyapa. "Asal kau membawa berita baik, akan aku maafkan," balas Romeo yang kini mengambil gelas berisi whiski. "Dia sudah mendaftar," balas lelaki yang baru datang tadi. "Keduanya sudah mendaftar dan yang lelaki sudah diterima. Mungkin sudah mulai menjalani sesi pertama." "Ariana belum diterima?" tanya Romeo dengan sebelah alis yang terangkat. "Yang aku lihat di sistem belum, tapi mereka memberi kesempatan. Lalu kurasa dia juga belum tahu tenta