"Ah, sialan!" pekik Ariana ketika sudah masuk ke dalam kamar. "Bagaimana mungkin aku membiarkan mereka berdua?""Ari, ada apa?" Bastian yang sedang di dalam kamar mandi, sampai keluar karena mendengar suara sang istri."Jangan keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang, sialan!" Ariana kembali memekik, sambil menunjuki sang suami."Oh, maaf." Bastian yang kepalanya dipenuhi busa shampo, bergegas masuk kembali dan membasuh tubuhnya.Hari sudah malam dan Ariana pulang sedikit terlambat, sementara Bastian pulang lebih cepat. Tapi, waktu rupanya tidak membuat Ariana lupa dengan kejadian tadi siang."Ada apa?" Setelah keluar dengan penampilan yang lebih baik, Bastian kembali bertanya."Aku masih kesal," jawab Ariana dengan jujur. "Seharusnya tadi aku tetap memaksa Elian untuk mengatakan sesuatu."Senyum Bastian merekah mendengar ucapan sang istri. Dia sampai pergi mendekat dan berdiri di belakang sang istri yang sedang duduk di depan meja rias, kemudian memijat bahu perempuan
"Kebetulan sekali ya tadi kita bisa bertemu di parkiran," ucap Sebastian dengan senyum lebar. "Aku jadi punya waktu menikmati makan siang denganmu." Tadi, saat Elian melarikan diri dari kejaran Ariana, dia malah bertemu dengan Sebastian. Hal yang tentu saja membuatnya kesal, karena lelaki yang dia temui secara tidak sengaja di tempat parkir itu, malah menyeretnya pergi makan siang. Elian tidak mau, tapi dia benar-benar diseret sampai duduk di dalam restoran seperti sekarang. "Masalahnya, aku sama sekali tidak suka denganmu," desis Elian disertai dengan lirikan tajamnya. "Itu bukan masalah besar untukku." Sebastian malah mengedikkan bahu dengan santainya. "Lagi pula, yang penting sekarang adalah makan. Aku sangat lapar." "Kalau lapar, pergi makan saja sendiri," hardik Elian memukul meja, kemudian berdiri. "Jangan ajak-ajak aku." "Yakin mau pergi begitu saja?" Sebastian bertanya, tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu yang penuh dengan tulisan Italia. "Apa kau tahu aku bis
Padahal rencana Bastian adalah mengajak istrinya makan siang bersama. Tapi, siapa sangka kalau dia malah menemukan pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat saat membuka pintu ruangan Ariana, tanpa mengetuk pintu lebih dulu.Itu adalah Ariana yang sedang memojokkan Elian dengan kedua tangan. Jelas terlihat kalau ada sesuatu, entah apa itu dan Bastian tidak suka."Maaf," gumam Bastian pelan. "Mungkin ... aku bisa kembali lagi nanti?" lanjutnya malah dalam kalimat tanya."Oh, tidak perlu." Melihat ada celah, Elian segera merunduk cukup rendah, untuk meloloskan diri. "Aku punya banyak pekerjaan dan tidak perlu salah paham. Aku sama sekali tidak suka Ariana dari segi apa pun itu," lanjut Elian sambil melangkah keluar dengan cepat."Hei, tahan dia." Tentu saja Ariana akan meminta sang suami untuk menahan asistennya, tapi yang ada Bastian malah bingung.Rasanya, siapa pun akan bingung jika ada di posisi Bastian. Apalagi, Elian juga bergegas mendorongnya yang masih berdiri di amban
"Bagaimana?" tanya Ariana pada asistennya yang baru masuk ke dalam ruangan. "Dia menolak." Sayangnya, Elian harus menggeleng. "Bagaimana dia bisa menolak sponsor?" pekik Ariana dengan mata yang sudah nyaris keluar dari rongganya. "Atau jangan-jangan, tawaran kita lebih sedikit dari Dominique ya?" "Sayangnya tidak." Elian hanya bisa menghela napas saat menjelaskan. "Pelukis Vita sendiri bilang tawaran kita sangat banyak, tapi tidak bisa mengecewakan investor yang sebelumnya." "Kenapa dia lurus sekali sih?" Ariana sampai menempelkan tangan ke pipi dan menariknya turun dengan kuat. "Seharusnya kau hasut dia lebih jauh lagi." "Aku sudah melakukannya." Elian nyaris saja menghardik bosnya. "Aku sudah menawarkan lebih dari yang kau tawarkan, tapi dia tetap tidak mau. Lagi pula, orang mana yang tidak tertarik dengan uang?" "Tidak ada," balas Ariana pelan. "Harusnya tidak ada orang yang tidak suka uang, tapi ternyata ada." "Dia sebenarnya hampir menerima karena jumlahnya besar,
"Ini gila." Arian mengatakan itu, sembari melangkah masuk ke dalam ruang kerja sang ayah. "Ini benar-benar gila.""Apa terjadi sesuatu?" Alaric yang kebetulan saja ada di dalam ruangan, tentu saja akan bertanya dengan ekspresi bingung."Sayangnya aku tidak tahu." Bastian yang menyusul sang istri, hanya bisa menggeleng pelan dan menutup pintu ruang kerja. "Aku tadi menjemput Ariana karena khawatir, tapi dia malah seperti ini," lanjut Bastian menjelaskan apa pun yang dia tahu. "Dia terus bilang gila atau sejenisnya.""Tentu saja ini gila," pekik Ariana membanting rambut palsu yang baru saja dia lepas dari rambutnya, menyisakan rambut asli perempuan itu yang ditutupi jaring. "Kalau kalian mendengar ini, kalian juga pasti akan bilang gila.""Baiklah." Alaric mengulurkan tangan, mencoba menghentikan gerakan apa pun yang akan dilakukan sang putri. "Bagaimana kalau kau duduk dulu dan mencoba menjelaskan, mulai dari ... penampilanmu.""Aku menyamar untuk masuk ke dalam galeri yang kem
"Ariana, kau tidak perlu ke sana." Suara Bastian terdengar dari ponsel yang menempel di telinga perempuan yang empunya nama. "Aku sudah memeriksa daerah itu." "Tenang saja, Bas." Ariana membalas dengan pelan, tidak mau ada yang mendengar. "Aku sudah menyamar dan penyamaranku jauh lebih baik darimu." Ariana yang sedang merapikan poninya, tersenyum menatap cermin toilet. Dia yang tadinya berambut panjang, sekarang punya rambut sebahu. Pakaian yang biasanya mewah, kini berganti dengan kaos polo biasa dan celana panjang robek. Kali ini, Ariana memang terlihat berbeda. "Memangnya penyamaran seperti apa yang kau lakukan?" desis Bastian agak kesal juga. "Lebih baik, kau kembali ke kantor saja. Please!" "Hei, kemarin kau merengek ingin pergi sendiri. Jadi kenapa hari ini aku tidak boleh pergi sendiri," hardik Ariana dengan mata melotot yang terpantul di cermin. "Aku minta maaf soal kemarin, tapi sekarang aku takut kalau misalnya terjadi sesuatu denganmu. Aku juga akan berjanji tidak