Sagara memacu mobilnya di antara deretan kendaraan yang berhamburan di jalanan sore itu. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, napasnya berat seiring pikirannya yang kalut. Ia bahkan tak peduli jika langit di atas kota sudah mulai menggelap dan awan hitam menggantung rendah.Matanya menajam. Kali ini ia harus berhasil berbicara dengan perempuan itu.Saat tiba di kantor pusat Flare & Co, ia langsung menekan rem mendadak di area parkir, membuat beberapa karyawan yang sedang berjalan pulang menoleh dengan terkejut. Tapi Sagara tak mengacuhkannya. Ia keluar dari mobil dengan langkah lebar, mata elangnya langsung menyapu area lobi perusahaan berlian ternama tersebut.Sementara itu, di lantai atas, Ranaya berdiri sendirian di dalam lift yang perlahan bergerak turun. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding, mencoba meredakan ketegangan di pundaknya setelah seharian bekerja. Sesekali ia meregangkan leher dan menghela napas panjang.Ting!Pintu lift terbuka, dan langkah kakinya baru saja hend
Ranaya melirik ke arah dapur di mana Rio tengah sibuk meracik minuman. Laki-laki itu berdiri dengan lengan baju tergulung, menuangkan cokelat panas ke dalam empat cangkir dan sesekali berbincang seru bersama Ida.Sementara itu, di meja ruang tamu, Radeva menggambar dengan dahi terlipat serius. Bahkan bocah tersebut tanpa sadar memanyunkan bibir. Tangan kecilnya menekan krayon biru ke kertas seakan itu adalah proyek terpenting dalam hidupnya.“Aku jadi lobot es yang bisa ngelualin badai salju!” seru Radeva antusias sembari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.Ranaya tersenyum kecil, lalu kembali menatap Rio yang kini berjalan ke arahnya dengan membawa nampan berisi cokelat panas."Nih, buat ibu bos dan anak bos kecil," ujar Rio dengan nada bercanda sambil menyerahkan satu cangkir ke Ranaya dan satu ke Radeva.Ranaya menerimanya dengan anggukan. Tetapi, tangannya justru tak sengaja menyentuh jari Rio. Seketika ia menarik tangannya cepat-cepat, dan mulai termenung. Lagi-lagi tidak a
Pandangan Sagara langsung memaku. Tangannya buru-buru menyambar amplop putih tersebut. Sebelum membukanya, ia melemparkan tatapan menghunjam penuh ketidakpercayaan pada Sherly.Sagara lalu mengeluarkan sebuah hasil USG dari amplop putih tersebut. Seketika matanya melebar.Sherly mengamati bagaimana reaksi pria itu dan menyunggingkan senyum kecil yang penuh kemenangan. Kedua alisnya terangkat."Gimana, Sayang? Kamu masih nggak percaya?" kejarnya.Alih-alih langsung menyahut pertanyaan Sherly, Sagara justru meremas perlahan amplop itu dengan ekspresi sulit ditebak. Jantungnya berdetak kencang.Netra Sagara tampak menerawang. Namun, sejujurnya kini otaknya sedang berputar lebih cepat.Sherly menatapnya lekat-lekat. Senyum puas masih bertengger di bibirnya. Pasalnya ia sudah berhasil memalsukan hasil USG itu, lebih tepatnya menukar dengan milik orang lain sebab ada salah satu temannya yang kebetulan menjadi dokter baru-baru ini.Berkat rayuan dan tipu daya Sherly, akhirnya dokter tersebut
Tantri bergerak hendak mengejar sosok yang baru saja berbalik pergi, tapi tangannya dicekal oleh Mayang.“Siapa sih?” Mayang bertanya heran, matanya mengikuti arah pandang Tantri.Tantri menggigit bibir ragu. Sejenak matanya menyapu pemandangan di sekitarnya. Sebagian pengunjung pasar menoleh ke arah Tantri dan terheran-heran. Ia bahkan harus merelakan kepergian Ida yang tampak semakin cepat mengayunkan langkah.“Ida,” lirih Tantri akhirnya. “Besanku dulu itu, lo.”Mayang mengangkat alis, lalu melirik sekilas ke arah yang dimaksud. Ia kemudian tertawa kecil dan menepuk lengan Tantri pelan.“Masa, sih? Mungkin kamu salah lihat kali. Udah lama banget, kan? Lagipula, apa urusan dia masih di sini?”Tantri menatap Mayang, lantas kembali melirik ke arah wanita yang ia duga sebagai Ida. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Tadi, perempuan itu menggandeng bocah laki-laki. Siapa ya anak itu?Di sisi lain, ketika Tantri sudah tak menatap ke arahnya, Radeva yang berjalan cepat mengikuti
Di dalam mobil yang melaju tenang, Sagara melirik bocah di sebelahnya yang tengah bersenandung pelan. Ada kehangatan aneh yang merayap di dadanya. Sesuatu yang entah kenapa sulit ia jelaskan."Deva, habis ini mau ke mana?" tanya Sagara berusaha mengalihkan pikirannya.Radeva sontak menoleh. Sepasang matanya yang bulat dan jernih berbinar. “Telselah Om. Depa ke mana-mana mau, kok,” ungkapnya.“Hmm ….” Sagara berpikir sejenak selagi menyetir. “Kalau makan mau, kan?”"Mau dong! Depa juga sedikit lapel sekalang." Radeva mengaku dengan polosnya.Seketika Sagara tergelak menyaksikan tingkah anak kecil itu. Kepalanya manggut-manggut mengerti."Nah, pas banget. Om tahu tempat makan ayam goreng terenak di sini."Tak butuh waktu lama, mobil mereka berhenti di sebuah restoran yang tampak cukup ramai. Begitu Sagara keluar, ia segera bergerak ke sisi lain mobil untuk membantu Radeva. Tapi sebelum sempat membukakan pintu, bocah itu sudah lebih dulu menarik tuasnya dan turun dengan antusias.Sayangn
Sherly masih tertawa kecil saat Sagara menghampirinya. Tawa yang sejak tadi mengisi ruang kantor itu kini menggantung di bibirnya.“Mau ngomong apa?” Alis Sherly saling tertaut.Sagara melirik arlojinya sekilas, lalu dengan nada datar ia berkata, "Aku harus menemui klien sebentar. Cepat siap-siap dan ikut aku."Sherly berkedip beberapa kali, lalu tersenyum ceria. "Oke, tunggu sebentar."Ia lalu berpamitan pada rekan-rekannya, melambai dengan riang sebelum menyusul Sagara yang telah lebih dulu berjalan menuju lift. Sagara tidak banyak bicara, tetapi sorot matanya yang tajam menandakan bahwa ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.Tanpa diketahui Sherly, Sagara mengulum senyum tipis.Begitu mereka memasuki mobil, Sherly segera bersiap. Laptop, buku catatan, dan alat tulis sudah di tangannya, seperti biasa saat ia menemani atasannya bertemu klien. Ia duduk manis di samping Sagara, sesekali melirik ke arah pria itu.“Kamu tadi ke mana aja? Kok lama, Sayang?” tanya perempuan tersebut.Dengan
Sagara hampir saja berlari mengejar Ranaya saat tangannya kembali direnggut. Sherly menariknya dengan erat, seakan tidak ingin kehilangan."Jangan pergi!" Sherly berkata dengan suara bergetar. Matanya memohon. "Aku nggak akan biarkan kamu jatuh cinta lagi sama perempuan itu!"Sagara menatapnya dengan jijik. "Lepasin, Sher!"Ia berusaha untuk melepaskan lengannya dari rengkuhan tangan Sherly. Namun, usahanya tampak sia-sia. Perempuan itu sekarang terlalu obsesi dengan dirinya."Nggak!" Sherly mencengkeram lebih erat. "Lagian mana mungkin sih kamu mau mengejar sesuatu yang udah kamu buang?!"Kata-kata itu menusuk telak. Sagara mengatupkan rahang, dadanya terasa sesak. Ia tahu Sherly sengaja menusuk titik lemahnya, titik di mana ia mengalami penyesalan terberat yang menghantuinya selama beberapa tahun terakhir."Dasar gila!" desis Sagara dengan dingin. Tanpa ragu, ia menepis tangan Sherly hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. Tak peduli lagi dengan jeritan terkejut Sherly, ia berla
Lidah Tantri kelu. Tenggorokannya tercekat, sementara dadanya terasa sesak. Ia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bersikap. Di satu sisi hatinya dipenuhi kekecewaan yang begitu dalam, tetapi di sisi lain, ia juga tidak tega melihat Mayang menangis tersedu di bahunya.Mayang mencengkeram lengan Tantri erat-erat seolah tidak ingin melepaskannya. Tangisannya semakin keras. Bahu wanita itu bergetar hebat.“Tolong, Tantri! Aku mohon … aku mohon .…” Suara Mayang lirih. Nyaris tertelan oleh isakannya sendiri.Tantri memejamkan mata sejenak, mencoba meredam emosi. Ini semua keterlaluan! Bagaimana mungkin Sherly tega berbohong hanya demi menikahi Sagara? Apa yang ada di kepala anak itu memangnya?Tiba-tiba suara langkah kaki mendekat dari belakang. Tantri membuka mata, lantas menoleh pelan.“Ada apa ini?”Suara berat dan berwibawa itu membuat ruangan terasa semakin sunyi. Harto berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus polo dan celana santai. Tangannya baru saja selesai menyelipk
"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab
Untuk beberapa waktu, Andra bergeming. Bola matanya bergerak sewaktu mengamati Sherly. Namun, gurat wajahnya tampak tenang seperti permukaan air tanpa adanya hantaman gelombang.“Maka … saya akan tetap ada di sini membantu kamu, sampai kamu tahu bahwa kamu bisa, Sherly,” ungkapnya.Sherly memandang Andra dengan tatapan yang sulit percaya. Rahang perempuan itu terlihat keras. Lagian, siapa yang bisa dipercayai lagi olehnya? Bahkan sekarang ia juga meragukan diri sendiri kalau ia pantas dicintai.Satu-satunya tempat nyaman untuk pulang, yaitu Mayang yang merupakan ibu kandungnya sendiri pun sudah mengkhianatinya dengan semudah itu.Apalagi … pria asing yang kini sedang duduk berhadapan dengannya?Sherly kembali menyunggingkan senyum tipis yang penuh keraguan. Ia tentu saja menyepelekan peran seorang pria muda yang belum berpengalaman baginya. Ditambah usia pria tersebut masih seumuran dengan sosok yang turut menyumbang rasa depresinya.“Aku tetep nggak percaya,” papar Sherly to the poin
Tangan Rio bergerak pelan. Jari-jarinya menyentuh lembut ujung bibir Ranaya, mengusap sisa saus yang tertinggal di sana. Mata elang Sagara membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Darahnya terasa mendidih saat itu juga.Tangannya langsung bergerak cepat menampar cangkir espresso yang ada di depannya hingga terguling. Sontak cairan hitam pekat itu tumpah dan sebagian besar mengenai lengan Rio. Sontak Rio segera menarik tangannya dari bibir Ranaya.“Argh! Panas! Panas!” teriak Rio sambil refleks berdiri, tangannya menggeliat dan segera membuka kancing lengan kemejanya. Ia meniup dan mengibas-ngibas tangan itu dengan panik.Ranaya pun langsung berdiri untuk turut membantu. “Rio?! Kamu nggak apa-apa?” Suaranya meninggi. Matanya membesar.Menyaksikan kehebohan itu, Sagara hanya duduk diam. Tapi rahangnya mengeras.“Gila, kamu sengaja, ya?!” Rio membentak, tatapannya tajam menuding ke arah Sagara.Sagara membalas dengan sorot mata dingin. “Kamu jangan asal nuduh kalau nggak tahu apa-apa,” kata
Langkah-langkah kaki berdetak mantap di lantai pabrik yang dingin, menggema lembut di antara deru mesin produksi perhiasan yang tak henti berdengung. Ranaya masih berdiri di depan mesin cetak berlian. Kini pandangannya tertuju kepada satu arah di mana sosok itu melangkah menghampiri. Tubuh Ranaya menegang, tapi bukan bunyi mesin atau hasil produksi yang menyebabkannya.“Gimana proses produksinya? Lancar, kan?”Suara itu. Suara bariton dengan tone menenangkan tapi cukup untuk membangunkan kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar padam. Apalagi malam itu, di mana ia dan pria tersebut nyaris berciuman.Ranaya perlahan mengerjapkan mata. Di balik cahaya pagi yang menembus jendela besar pabrik, berdiri Sagara dengan kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua tangan pria tersebut tenggelam dalam saku celana hitamnya.Sorot mata elang Sagara tajam, sialnya pria itu masih saja tampan di pandangan Ranaya.Tetapi, kemudian Ranaya menegakkan kepalanya. Ia sudah berprinsi