Meskipun sebatas perjodohan, Ranaya amat bahagia ketika menikah dengan Sagara yang ia cintai sejak lama. Namun, tak pernah tebersit di pikirannya, jika suaminya begitu kejam sampai terang-terangan berselingkuh di depannya. Merasa tak kuat lagi menghadapi suaminya yang dingin, Ranaya memilih pergi walau harus membawa benih pria itu. Lima tahun kemudian Ranaya kembali setelah menjadi sukses. Dia berjanji akan membuat Sagara menyesal dan berbalik mengejarnya. "Kamu mau ke mana lagi, Ranaya? Kamu masih milikku dan aku tidak akan mengizinkanmu pergi dariku," tandas Sagara menghimpit Ranaya ke dinding.
View MoreTantri mengangguk-angguk, membenarkan keputusan Sagara. Sebagai seorang ibu, ia juga bisa merasakan firasat yang kuat bahwa anak kecil itu—Radeva—mungkin adalah cucunya. Wajahnya terlalu mirip dengan Sagara saat kecil, bahkan sorot matanya mengingatkannya pada putranya dulu."Aku harap kamu bisa membujuk Ranaya untuk melakukan tes DNA, Sagara," ujar Tantri pelan, seolah berbicara demi meyakinkan dirinya sendiri. Ia berharap rencana itu akan berhasil.Sagara menatap ibunya dengan sorot mata penuh tekad. "Iya, aku pasti akan melakukannya, Ma. Masalahnya aku memang merasa seperti sudah terikat dengan Radeva bahkan tanpa harus membuktikan apa pun."Tantri mengulas senyum tipis, seakan senyum itu mengambang di udara. Matanya menerawang jauh."Hmm … naluri seorang ayah, ya, mungkin …." gumamnya.Sagara diam. Pikirannya tengah menebak-nebak. Ia membayangkan bagaimana kalau anak itu memang anak kandungnya. Ada sesuatu yang terasa aneh menyelinap diam-diam di hatinya setiap kali mengingat boca
Ruangan itu seketika hening. Hanya suara gesekan kain yang terdengar saat Radeva sibuk kembali melipat baju kecilnya. Tapi, kepala Ranaya masih dipenuhi kalimat barusan.Setelah mengatakannya, Radeva memang sibuk sendiri lagi dalam merapikan baju-baju di depannya. Namun, ungkapan anak itu rupanya berdampak cukup dalam pada Ranaya. Tanpa sadar, bibirnya jadi tertekuk murung."Jadi Deva nggak bahagia kalau sama Mama?" tanyanya berusaha tetap tenang.Radeva menoleh cepat. Wajah imutnya terlihat bingung. "Bukan gitu, Ma. Depa bahagia kok hidup dan punya mama sepelti Mama.""Tapi setelah beltemu Om Papa, Depa jadi ingin selalu dekat dengan Om Papa."Jantung Ranaya mencelos. Selama ini, ia berusaha membangun dunia yang cukup untuk anaknya. Namun, hanya dalam sekali pertemuan dengan Sagara, dunia yang ia bangun itu terasa goyah.Ranaya lantas tersenyum tipis, tapi perih di hatinya tidak bisa diabaikan."Om Papa itu baik banget, Ma. Aku melasa nyaman dan cocok. Mungkin sepelti itu ya yang dil
"Kok kamu yang ngangkat HP suamiku? Di mana Mas Harto?"Cengkeraman Tantri pada ponselnya mengerat. Matanya menyipit curiga. Sementara kepalanya sudah dipenuhi banyak pertanyaan dan berbagai dugaan.Dari seberang, terdengar suara Mayang yang terdengar sedikit tergagap. "Oh, ini … ceritanya panjang, Tantri.""Cepetan kalau ngomong, aku nggak punya waktu! Aku lagi butuh suamiku sekarang. Kondisinya mendesak ini!" dengus Tantri langsung. Kesabarannya menipis oleh karena Mayang tak segera memberi jawaban yang jelas.Mayang terdengar menarik napas sebelum menjelaskan, "Iya, iya, baik. Aku minta maaf. Jadi, tadi aku nggak sengaja lewat jalan dan tahu mobilmu macet. Aku menawarkan bantuan, tapi suamimu bersikeras membenahi mobilnya sendiri. Terus ada telepon dari kamu, jadi aku angkat dulu karena tangan Pak Harto masih kotor.”Kini tangan Tantri yang tengah memegang ponsel sedikit bergetar. Ia berpikir tetap ada yang terasa janggal. Ia punya prasangka di tengah rasa cemburu yang mendadak ban
Sagara mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya menegang. Wajahnya merah padam menahan amarah yang sudah di ambang batas."Brengsek! Jangan berani-beraninya kamu ngancem aku!"Teriakannya menggema di kafe yang ramai pengunjung. Matanya menyalang, menatap Rio seakan ingin meremukkan pria itu hidup-hidup. Ia tak terima jika ada seseorang yang ikut campur tentang kehidupannya, apalagi tentang hal yang menjadi ketakutannya selama ini.Bagaimanapun Rio, si pria kurang ajar itu tak berhak membahasnya!Namun, detik berikutnya, kepalanya mendadak berdenyut kencang. Pusing. Pandangannya bergetar. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.Masa lalu itu .…Bayangan mengerikan yang selama ini terkubur jauh di dalam pikirannya kini muncul kembali ke permukaan. Tubuhnya menegang, rasa mual naik ke tenggorokan.Di hadapannya, Rio mengulum senyum simpul. Wajahnya penuh kemenangan."Kenapa? Bukannya impas?" Suaranya merendah. Tapi nada mengejek itu begitu kentara."Karena
"Tapi, Ran … jangan bilang ini anakmu?"Suasana pasar yang riuh tak mampu meredam degup jantung Ranaya yang tiba-tiba berpacu kencang. Napasnya seperti tersekat di tenggorokan saat mendengar suara lembut, namun sarat ketegangan dari Tantri.Radeva, bocah kecil berusia lima tahun itu, menoleh dengan polos ke arah Tantri. Matanya yang jernih seperti memindai sosok wanita yang baru saja memanggil ibunya. Ia tentu saja tahu kalau dirinya sedang dibicarakan oleh wanita asing itu."Iya, Ma. Ini anakku," aku Ranaya dengan suara sedikit bergetar.Ranaya mengeratkan genggaman tangannya pada Radeva, menarik anak itu sedikit lebih dekat ke tubuhnya. Sejujurnya dari tadi pikirannya berpacu untuk mencari kata-kata yang tepat. Namun, akhirnya ia memilih untuk menghadapi kenyataan saja.Tantri tampak mengernyit selama memandangi bocah kecil di gandengan Ranaya. Raut wajahnya jelas menyiratkan ketidaksukaan. Tatapannya lalu beralih kepada Ranaya dan menggeleng pelan."Nggak mungkin," ucapnya setengah
Lidah Tantri kelu. Tenggorokannya tercekat, sementara dadanya terasa sesak. Ia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bersikap. Di satu sisi hatinya dipenuhi kekecewaan yang begitu dalam, tetapi di sisi lain, ia juga tidak tega melihat Mayang menangis tersedu di bahunya.Mayang mencengkeram lengan Tantri erat-erat seolah tidak ingin melepaskannya. Tangisannya semakin keras. Bahu wanita itu bergetar hebat.“Tolong, Tantri! Aku mohon … aku mohon .…” Suara Mayang lirih. Nyaris tertelan oleh isakannya sendiri.Tantri memejamkan mata sejenak, mencoba meredam emosi. Ini semua keterlaluan! Bagaimana mungkin Sherly tega berbohong hanya demi menikahi Sagara? Apa yang ada di kepala anak itu memangnya?Tiba-tiba suara langkah kaki mendekat dari belakang. Tantri membuka mata, lantas menoleh pelan.“Ada apa ini?”Suara berat dan berwibawa itu membuat ruangan terasa semakin sunyi. Harto berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus polo dan celana santai. Tangannya baru saja selesai menyelipk
Sagara hampir saja berlari mengejar Ranaya saat tangannya kembali direnggut. Sherly menariknya dengan erat, seakan tidak ingin kehilangan."Jangan pergi!" Sherly berkata dengan suara bergetar. Matanya memohon. "Aku nggak akan biarkan kamu jatuh cinta lagi sama perempuan itu!"Sagara menatapnya dengan jijik. "Lepasin, Sher!"Ia berusaha untuk melepaskan lengannya dari rengkuhan tangan Sherly. Namun, usahanya tampak sia-sia. Perempuan itu sekarang terlalu obsesi dengan dirinya."Nggak!" Sherly mencengkeram lebih erat. "Lagian mana mungkin sih kamu mau mengejar sesuatu yang udah kamu buang?!"Kata-kata itu menusuk telak. Sagara mengatupkan rahang, dadanya terasa sesak. Ia tahu Sherly sengaja menusuk titik lemahnya, titik di mana ia mengalami penyesalan terberat yang menghantuinya selama beberapa tahun terakhir."Dasar gila!" desis Sagara dengan dingin. Tanpa ragu, ia menepis tangan Sherly hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. Tak peduli lagi dengan jeritan terkejut Sherly, ia berla
Sherly masih tertawa kecil saat Sagara menghampirinya. Tawa yang sejak tadi mengisi ruang kantor itu kini menggantung di bibirnya.“Mau ngomong apa?” Alis Sherly saling tertaut.Sagara melirik arlojinya sekilas, lalu dengan nada datar ia berkata, "Aku harus menemui klien sebentar. Cepat siap-siap dan ikut aku."Sherly berkedip beberapa kali, lalu tersenyum ceria. "Oke, tunggu sebentar."Ia lalu berpamitan pada rekan-rekannya, melambai dengan riang sebelum menyusul Sagara yang telah lebih dulu berjalan menuju lift. Sagara tidak banyak bicara, tetapi sorot matanya yang tajam menandakan bahwa ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.Tanpa diketahui Sherly, Sagara mengulum senyum tipis.Begitu mereka memasuki mobil, Sherly segera bersiap. Laptop, buku catatan, dan alat tulis sudah di tangannya, seperti biasa saat ia menemani atasannya bertemu klien. Ia duduk manis di samping Sagara, sesekali melirik ke arah pria itu.“Kamu tadi ke mana aja? Kok lama, Sayang?” tanya perempuan tersebut.Dengan
Di dalam mobil yang melaju tenang, Sagara melirik bocah di sebelahnya yang tengah bersenandung pelan. Ada kehangatan aneh yang merayap di dadanya. Sesuatu yang entah kenapa sulit ia jelaskan."Deva, habis ini mau ke mana?" tanya Sagara berusaha mengalihkan pikirannya.Radeva sontak menoleh. Sepasang matanya yang bulat dan jernih berbinar. “Telselah Om. Depa ke mana-mana mau, kok,” ungkapnya.“Hmm ….” Sagara berpikir sejenak selagi menyetir. “Kalau makan mau, kan?”"Mau dong! Depa juga sedikit lapel sekalang." Radeva mengaku dengan polosnya.Seketika Sagara tergelak menyaksikan tingkah anak kecil itu. Kepalanya manggut-manggut mengerti."Nah, pas banget. Om tahu tempat makan ayam goreng terenak di sini."Tak butuh waktu lama, mobil mereka berhenti di sebuah restoran yang tampak cukup ramai. Begitu Sagara keluar, ia segera bergerak ke sisi lain mobil untuk membantu Radeva. Tapi sebelum sempat membukakan pintu, bocah itu sudah lebih dulu menarik tuasnya dan turun dengan antusias.Sayangn
“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….” Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya. Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya? Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah. Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari. Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa in...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments