“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”
Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya. Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri. “Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi. Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan. “Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya. “Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.” Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pagi. “Wah, mantap! Kebetulan Papa juga sudah lapar ini.” Harto yang melangkah masuk dengan membawa barang yang lebih berat sempat melirik ke arah meja dengan senyuman lebar. “Ada yang perlu dibantu bawakan nggak, Pa?” Ranaya menawarkan diri. “Sudah nggak ada. Di mobil sudah nggak ada barang lagi,” sahut Harto ikut nimbrung di meja. Mereka mulai mengambil nasi. Tetapi, tiba-tiba saja gerakan tangan Tantri berhenti. Wanita itu sempat mengitarkan pandangan ke sekelilingnya. “Lo, mana Sagara? Kok dari tadi nggak kelihatan?” tanyanya. Secara refleks Ranaya menatap jam yang tergantung di dinding. Jarum jam singgah di angka tujuh. Ranaya mencoba memeras pikirannya untuk mencari alasan. Tentu saja Ranaya tahu kalau Sagara memulangkan perempuan yang dibawanya dari subuh tadi. Tapi, ia tak menyangka jika sampai sekarang ia belum kembali juga. “Hmm … Mas Sagara tadi bilang mau ke mini market terdekat, Ma. Ada barang yang harus dia beli.” Tantri manggut-manggut. Tepat saat itu Sagara membawa langkahnya masuk dengan tak membawa apa pun di tangannya. “Sagara, mana barang belanjamu? Kamu beli apa?” Mata Tantri meneliti Sagara yang berhenti di depan mereka. Sagara sempat melirik Ranaya tanpa ekspresi. Tadi sewaktu kemari, telinganya sempat menangkap Ranaya yang mencari alasan untuk kepergiannya pagi ini. “Aku beli minyak angin, Ma. Sudah aku taruh mobil,” ucapnya acuh tak acuh, lalu kembali melangkahkan kaki. “Oh, kalau gitu cepat mandi dan sarapan bareng. Ranaya sudah masak ayam goreng lengkuas.” Tantri setengah berteriak sebab Sagara terlihat buru-buru menapaki tangga. “Aku nggak ikut sarapan, Ma. Jamnya sudah mepet.” Tanpa menoleh Sagara tetap melanjutkan langkahnya. Ranaya menekuk bibir samar. Kini pandangannya terlempar pada salah satu sajian di meja. Ia kecewa Sagara tak mau makan hasil masakannya hari ini. Padahal Ranaya tahu, suaminya itu sangat menyukai ayam goreng lengkuas. *** “Ranaya, tolong antar bekal ini ke kantor Sagara, ya.” Ranaya termangu menyaksikan Tantri sudah mengulurkan tangan dengan bekal yang tersusun rapi di dalam tas. “Sagara kan suka makan ayam goreng lengkuas. Biar dia semangat kerja,” tambah Tantri meyakinkan keraguan Ranaya. “Hmm, tapi─tapi Mama ikut, kan?” Tantri langsung melengkungkan bibirnya. “Ya, nggak dong, Ran.” Ia meringis sambil memegang bagian punggung, lantas melanjutkan, ”Punggungku kan masih sakit.” Ranaya tetap bergeming. Sebenarnya ia mau melakukannya. Namun, bagaimana nanti respons Sagara jika tahu dirinya mengunjungi kantor? Tetapi, pada akhirnya Ranaya tetap berangkat demi Tantri. Sepanjang perjalanan Ranaya berusaha menghalau berbagai pikiran. Ia melempar pandang ke sana kemari, namun rasanya semua yang ia lakukan percuma. Hingga akhirnya taksi yang ia tumpangi menepi dan berhenti tepat di sebuah gedung megah dengan tulisan “PT. Wiratama Group” terpampang besar di sana. Ranaya menelan ludah begitu ia berdiri di depan kantor milik keluarga Sagara sementara taksi tadi sudah melaju meninggalkannya. Perempuan itu saling menautkan jemarinya, lalu dengan berat hati mulai melangkah. “Selamat pagi, Bu.” Seorang sekuriti membukakan pintu dan menyapanya ramah. Ranaya mengangguk canggung. Tetapi berikutnya kepercayaan dirinya kian runtuh saat mendapati tatapan terkejut dari sebagian karyawan di sana. Beberapa dari mereka justru terlihat memandangnya penuh keheranan. “Selamat pagi, Bu Ranaya. Tumben Anda berkunjung ke kantor,” sapa salah satu karyawan dengan senyum segan. “Oh, saya cuma mau mengantar bekal untuk Pak Sagara,” aku Ranaya. Karyawan tersebut lantas mempersilakan Ranaya untuk melanjutkan perjalanan. Ranaya merasa orang-orang tadi langsung berkasak-kusuk di belakangnya begitu ia pergi. Mencapai ruang Sagara, Ranaya mendorong pintu dan bertemu dengan seorang perempuan cantik berambut panjang nan indah. Ruang Sagara memang didesain unik. Begitu masuk, tamu akan menemui sekretaris dulu baru kemudian diteruskan ke ruang di mana Sagara berada. Awalnya perempuan muda yang ditaksir seumuran dengannya itu terkejut menyaksikan Ranaya datang ke sini. Setelah itu, ia bangkit. Menyambut Ranaya dengan riang dan senyumnya yang memesona. “Loh, Bu? Ada keperluan apa kemari?” tutur perempuan tersebut ketika mendekat. Ranaya mengernyit samar. Ia tidak ingat siapa wanita berpenampilan feminim yang ada di hadapannya sekarang. Namun, entah kenapa rambut panjang dan suaranya terasa sedikit familier bagi Ranaya. Merasa pandangan Ranaya aneh, perempuan itu kemudian berujar, “Oh, maaf, sepertinya saya lupa memperkenal diri dulu. Saya Sherly, Bu, sekretaris pribadi Pak Sagara.” Ranaya sedikit menimbang-nimbang dan secara tak sadar menatap Sherly dari atas ke bawah. Kalau tidak salah lihat … perempuan inilah yang dibawa Sagara ke rumah kemarin sore. Dada Ranaya jadi sesak mengingatnya. “Saya hadir lo di acara pernikahan Anda dan Pak Sagara. Anda ingat, kan?” Sambil tersenyum lebar, Sherly beberapa kali mengerjapkan matanya. Perempuan yang dihadapinya sekarang cantik dan sangat imut, Ranaya membatin. Ia memperbaiki kacamatanya dan menyunggingkan senyum simpul untuk menanggapi. “Iya, terima kasih. Saya ingat, kok.” Ranaya berbohong. Ia tidak ingat apa pun soal Sherly kecuali rambut panjangnya dan suara yang mendayu manja. “Boleh saya bertemu Pak Sagara?” lanjutnya. Ia merasa kurang nyaman berada di dekat Sherly yang bersikap sok akrab dengannya. Padahal mereka tak pernah dekat. “Oh, tentu boleh dong, Bu. Mari saya antar.” Ketika Sherly hendak menggandeng tangan Ranaya, Ranaya segera menarik tangannya bahkan sebelum perempuan itu menyentuh kulitnya. “Bukannya kamu harus konfirmasi dulu ke Pak Sagara, ya?” tanyanya memastikan. Sherly hanya tertawa. “Ah, nggak dong, Bu. Nggak perlu. Anda kan istrinya.” Ranaya mencoba mengikuti, sementara Sherly berjalan mendahului. Perempuan tersebut membuka pintu ruang Sagara. Sagara waktu itu sedang melangsungkan pembicaraan lewat telepon. Melihat Ranaya, wajah Sagara langsung mengeras. “Iya, kita bicarakan lagi lain waktu. Nanti saya hubungi lagi.” Sagara lekas menyudahi teleponnya dengan tatapan tajam yang masih terhunjam lurus ke arah Ranaya. “Kenapa kamu di sini?!” gertak Sagara. Ranaya perlahan mendekat. Tangannya meletakkan tas yang dibawakan ibu mertuanya tadi. “Maaf, Mas. Aku cuma mau ngantar bekal. Mama yang nyuruh,” akunya. Sagara mengatupkan rahang, lantas menggeser pandangan ke Sherly yang masih bertahan di sana. “Kenapa kamu nggak tanya dulu? Siapa pun tamunya, kamu wajib lapor dulu.” Sherly menyatukan alis. Tidak terima dengan ucapan Sagara. “Tapi kan Bu Ranaya itu istri Anda, Pak. Masa diperlakukan sama dengan tamu lain,” protesnya. Ia lalu berpaling pada Ranaya, meraih kedua tangan Ranaya dan menggenggamnya erat. “Maaf ya, Bu. Ini semua salah saya. Hmm saya pikir nggak apa-apa karena Anda itu istrinya.” Tatapan Sherly beralih kepada Sagara. Ia lantas berucap, “Maaf juga ya, Pak. Tolong salahkan saya saja. Bu Ranaya tadi hanya diam dan menuruti apa kata saya.” Ranaya menarik napas hendak menyahut. Bukankah tadi ia sudah memastikan untuk konfirmasi dulu? Ia tidak sebodoh seperti yang Sherly katakan. “Harusnya dia tahu bagaimana tata krama bertamu itu.” Alih-alih merespons ucapan Sherly, Sagara justru tetap menyalahkan Ranaya. Matanya seakan menguliti semua kesalahan perempuan itu. “Sekarang juga kamu pergi dari sini! Aku nggak mau melihat kamu menginjak kantorku, kecuali di depan Mama.”"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab