LOGINRatih duduk di teras rumah, tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya kosong menatap halaman kecil di depan rumah mereka, di mana Dani masih bermain dengan teman-temannya. Suara tawa anak-anak itu terdengar begitu asing di telinganya sekarang—seolah dari dunia lain yang jauh, dunia yang tidak terancam kehancuran seperti dunianya saat ini.
Bagaimana mungkin semuanya bisa berubah dalam sekejap seperti ini? Tadi pagi dia masih bahagia mendengar suara suaminya di telepon, bersiap-siap menyambut kepulangannya. Dan sekarang... sekarang dia tidak tahu apakah besok pagi mereka masih punya atap di atas kepala, masih bisa memberi makan Dani, masih bisa hidup dengan nama yang bersih di desa.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam. Ratih bahkan tak menyadari ketika Karyo keluar dari kamar dan duduk di ujung teras yang sama, menjaga jarak cukup jauh darinya. Keduanya terdiam, hanya suara tawa anak-anak yang bermain dan gemerisik dau
Sore menjelang.Cahaya keemasan matahari mulai menerobos masuk dari jendela besar kamar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di lantai kayu yang mengilap. Langit Jakarta mulai berubah menjadi kanvas jingga keunguan—warna yang tidak pernah terlihat sama di desa mereka.Ratih duduk di pinggir tempat tidur, memandangi Dani yang akhirnya tertidur pulas. Jari-jarinya dengan lembut menyisir rambut anaknya yang lembab oleh keringat. Sepanjang hari, Dani tidak berhenti berlarian mengeksplorasi seluruh sudut rumah yang baginya terasa seperti istana. Setiap benda—mulai dari remote TV hingga shower kamar mandi—membuat mata bulatnya berbinar dengan keingintahuan yang tak terbendung."Kelelahan," bisik Ratih pada Karyo yang baru selesai menyusun pakaian mereka di lemari. "Ora biasa koyok ngene." (Tidak biasa seperti ini.)Karyo mengangguk sambil duduk di kursi dekat jendela. "Besok paling wis biasa. Bocah-b
Mereka mengikuti Irwan dan Maya masuk ke dalam rumah. Dani langsung terpesona melihat interior rumah yang mewah—lantai marmer, furnitur modern, dan ruangan yang begitu luas."Omah iki luwih gedhe tinimbang sekolahan, Bu!" (Rumah ini lebih besar daripada sekolahan, Bu!) bisik Dani pada ibunya, suaranya cukup keras hingga semua orang mendengarnya.Maya tersenyum mendengar komentar itu. "Dani suka rumah ini?" tanyanya, berusaha membangun hubungan dengan anak kecil itu.Dani mengangguk bersemangat. "Ono TV gedhe banget kae!" (Ada TV besar sekali itu!) tunjuknya ke arah televisi layar datar 65 inci di ruang keluarga."Itu namanya home theater," jelas Maya dengan suara ramah. "Nanti Dani bisa nonton kartun di sana. Kamu suka kartun apa?""Upin Ipin!" jawab Dani cepat, mulai melupakan rasa malunya. "Neng kene iso nonton Upin Ipin?" (Disini bisa nonton Upin Ipin?)
Stasiun Gambir di Jakarta memukau Dani dengan ukurannya yang besar dan keramaiannya. Matanya tak henti mengikuti setiap orang dan benda yang bergerak. Ketika mereka keluar dari stasiun, panas dan kebisingan Jakarta langsung menyambut."Pak Irwan bilang kita dijemput taksi, Dik," ucap Karyo, mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon nomor yang diberikan Irwan, dan dalam sepuluh menit, sebuah taksi berhenti di depan mereka."Numpak mobil maneh, Pak?" (Naik mobil lagi, Pak?) tanya Dani bersemangat saat Karyo membuka pintu taksi."Iya, Le. Iki mobil sewaan kanggo neng omahe Pak Irwan." (Iya, Nak. Ini mobil sewaan untuk ke rumahnya Pak Irwan.)Begitu taksi melaju memasuki jalan-jalan Jakarta, Dani menempelkan wajahnya ke jendela, terpesona oleh gedung-gedung tinggi dan keramaian kota. Karyo sendiri masih mengingat bagaimana dulu ia pertama kali tiba di Jakarta, penuh harapan dan ketakutan.
Stasiun Purwokerto di pagi hari selalu dipadati penumpang. Karyo berdiri gugup sambil memegang tiket, sesekali melirik ke arah Ratih yang menggandeng Dani dengan satu tangan dan menenteng tas kecil berisi barang-barang penting mereka dengan tangan lain. Sesuai instruksi Irwan, mereka hanya membawa sedikit pakaian."Dani, iki jenenge sepur. Kita bakal numpak iki nganti tekan Jakarta." (Dani, ini namanya kereta. Kita akan naik ini sampai tiba di Jakarta.) Karyo membungkuk, menjelaskan pada anaknya yang mata bulatnya melebar penuh keingintahuan."Sepur?" ulang Dani, matanya berbinar saat melihat kereta api berhenti di peron. "Gedhe banget, Pak!" (Besar sekali, Pak!)Ratih tersenyum tipis melihat kekaguman anaknya, tapi Karyo bisa melihat ketegangan di wajahnya. Semalam, setelah mereka bercinta, Ratih menangis dalam pelukannya. Bukan tangisan keras, hanya aliran air mata sunyi yang membasahi dadanya. Karyo tahu istrinya
Setelah beberapa menit dalam posisi misionaris, Karyo tiba-tiba menarik diri dan membalik tubuh Ratih. "Ndlosor, Dik," (Nungging, Dik) perintahnya lembut.Ratih menurut, memosisikan dirinya dengan lutut dan tangan bertumpu di ranjang, bokongnya terangkat tinggi. Karyo mengelus bokong istrinya dengan apresiatif, lalu kembali memasukkan kejantanannya dari belakang."Ahhhh! Mas... jero..." (Ahhhh! Mas... dalam...) Ratih mendesah keras saat penetrasi dari posisi ini terasa jauh lebih dalam, menyentuh titik-titik sensitif yang sulit dijangkau sebelumnya.Karyo menggerakkan pinggulnya dengan keras dan cepat, suara tepukan kulit bertemu kulit terdengar jelas di kamar sempit itu. "Plok! Plok! Plok!""Hooh... teruske... Mas... enak banget..." (Iya... terusin... Mas... enak banget...) Ratih mendorong bokongnya ke belakang, menyambut setiap hentakan Karyo.Di tengah gairah yang memuncak, Karyo tiba-tiba mengingat
Malam itu, setelah menjelaskan kepada Dani dengan bahasa sederhana bahwa mereka akan pindah ke Jakarta besok dan tinggal di rumah besar tempat Bapak bekerja, Karyo dan Ratih mulai berkemas. Tidak banyak barang yang perlu mereka bawa—beberapa pakaian, mainan kesayangan Dani, dan sedikit peralatan pribadi.Dani tertidur dengan cepat, lelah setelah seharian bermain dan bersemangat dengan janji-janji tentang rumah besar dan mainan baru di Jakarta. Karyo menutup pintu kamar Dani perlahan, kemudian masuk ke kamarnya dan Ratih.Di dalam kamar, Ratih sedang melipat beberapa helai pakaian. Karyo duduk di tepi ranjang, memperhatikan istrinya."Dik," panggil Karyo pelan.Ratih menoleh, "Apa, Mas?"Karyo menelan ludah. "Wengi iki... aku iso jaluk jatah?" (Malam ini... aku bisa minta jatah?)Ratih menggeleng cepat. "Deloken nafsumu, meh ngancurke keluargamu, coba diamp







