Share

Kepincut Boss Ndeso
Kepincut Boss Ndeso
Author: Astika Buana

Bab 1. Dasar Ndesitman

"Selamat pagi, Pak? Saya Larasati, ada yang bisa saya bantu?" Kata-kata yang aku ucapkan setiap ada yang memasuki ruangan ini.

Aku magang di konsultan bisnis, mengaplikasikan ilmu yang selama ini aku pelajari. Dengan mengantong ijasah sarjana ekonomi, jurusan managemen sisnis di universitas ternama negara ini, membuatku mudah mendapatkan pekerjaan. Apalagi, aku lulus dengan predikat cumlaude. Berbekal percaya diri, akhirnya aku terdampar di kota ini.

Semua senior sudah menangani pelanggan, tinggal aku saja yang belum. Biasanya, yang datang orang-orang yang sudah mempunyai usaha, dan menginginkan saran untuk mengefisienkan operasional. 

Kali ini yang datang seorang laki-laki, bisa dibilang masih muda. Dilihat penampilan, dia masih pemula. Orangnya tinggi, berambut ikal agak panjang, kaos pendek, dan celana panjang cargo. Tampilan bukan bisnisman, malah cenderung seperti orang main dan sekadar mampir.

"Selamat pagi. Kauleh nyarek, eh ... saya mencari alamat kantor konsultan bisnis Santosa. Apakah di sini tempatnya?" ucapnya, menggunakan bahasa daerah  dan mengulang dengan bahasa Indonesia. Dia memberikan kartu nama yang dipegang sedari tadi, sambil tetap mengedarkan pandangan mata ke segala penjuru.

Sekilas aku menatap, setelah mendengar suaranya. Perkataan dengan logat Madura yang kental, terdengar menggelitik di telingaku yang berasal dari Solo. Biasanya, kalau kita bicara dengan logat kampung halaman disebut wong ndesit--orang dari desa. Jadi kalau laki-laki namanya ndesitman, ya biar terdengar keren. Keminggris sedikit, bolehlah.

"Iya, Pak. Betul! Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku setelah menerima kartu nama itu.

Memang, kantor ini terletak di gedung bersama dan kantor perusahaan ini di lantai tiga. Karena itulah sebelum menangani client,  kami berkumpul di ruangan ini. Ruang tamu bersama. Lumayan, sambil menunggu kami ngobrol dan ngopi-ngopi dulu.

Beruntung ada lift, jadi kaki tidak pegal karena naik turun. Apalagi sepatu hak tinggi yang seakan mencengkeramku. Kalau tidak, bisa jadi kakiku cenut-cenut semalaman. Bayangin saja, dalam satu hari berapa kali kami harus naik turun.

"Kauleh mendapatkan kartu nama ini dari Mr. Andrew, Classy Furniture. Dia menyarankan untuk konsultasi bisnis di sini."

Aku mengernyitkan dahi, mendengar nama Mr Andrew yang sudah tidak asing lagi. Dia pengusaha furniture terkenal di kota ini. Siapa laki-laki ini? Kenapa bisa begitu dekat dengan Mr Andrew.  

"Itu dia noles di belakang kartu."

Aku balik kartu nama, ada tulisan tangan dan paraf atas nama Mr. Andrew. Bertuliskan: Tolong bantu teman saya, namanya Jaz. 

"Bapak, bernama Jaz?" tanyaku dengan mendongakkan kepalaku. Orang ini tinggi sekali. Aku yang tinggi seratus enam puluh lima saja, hanya setelinganya.

"Enggih. Kenalkan, nama kauleh Jazil Ehsan. Panggil saja. Jaz atau Jazil," ucapnya, dengan  tetap menggunakan kata dan logat Madura yang kental. 

Enggih pasti maksudnya, iya. Hampir sama dengan bahasa Jawa yang biasa kugunakan. Kauleh, kalau dari kalimatnya,  mungkin artinya saya. Aku menerka apa yang dimaksud. 

Namanya bagus, senada dengan sosoknya. 

Dia mengulurkan tangan dan tersenyum.

"Saya Dewi Larasati, biasa dipanggil Larasati atau Laras saja," ucapku menyambut tangannya. 

Tangan begitu kokoh dan terasa kasar di telapak tanganku. Seharusnya, ini bisa menjadi petunjukku menerka siapa dia dan apa bisnisnya. 

Namun bisnis apa, ya? Tidak mungkin dia pemilik perusahaan yang tinggal duduk di balik meja dan perintah sana dan sini.

Sejenak aku terpana melihat senyuman, ternyata dia manis juga. Beberapa saat kami saling pandang, rasa hangat menjalar dari tangannya yang masih menangkup tanganku. Entah, kenapa ada geleyar aneh di hati ini. Ah, mungkin ini karena dia sosok yang berbeda dengan orang yang biasanya datang ke kantor ini.

"Ma-maaf. Kita ke kantor sekarang." Aku menarik tangan ini dari genggamannya. Kemudian mempersilahkan mengikutiku ke kantor lewat lift.

"Kita naik lift?" tanyanya menoleh ke arahku.

"Iya, Pak. Kantornya ada di lantai tiga," jelasku dan segera mengalihkan pandangan. 

Wajah yang bengong dengan bibir sedikit terbuka, terlihat menggemaskan. Apalagi, rambut ikal dan beberapa helai menutupi sebagian wajah. Kulit coklat hangat, mirip foto model asal Latin. Asal …,  dia tidak bersuara yang menunjukkan logatnya. Bisa ambyar.

"Mbak Larasati. 'Ka-kauleh' tidak bisa naik lift."

Aku memutar kepala mendengar apa yang dituturkan sembari menunjukkan wajah menuntut penjelasan.

“Naik lift membuat saya pusing,” jawabnya menjawab rasa heranku.

Aduh! 

Orang ini dari mana, to?  Zaman sekarang masih ada orang pusing menggunakan lift.

'"Dasar, Ndesitman," gumamku lirih.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status