Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka
"Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik
"Selamat pagi, Pak? Saya Larasati, ada yang bisa saya bantu?" Kata-kata yang aku ucapkan setiap ada yang memasuki ruangan ini. Aku magang di konsultan bisnis, mengaplikasikan ilmu yang selama ini aku pelajari. Dengan mengantong ijasah sarjana ekonomi, jurusan managemen sisnis di universitas ternama negara ini, membuatku mudah mendapatkan pekerjaan. Apalagi, aku lulus dengan predikat cumlaude. Berbekal percaya diri, akhirnya aku terdampar di kota ini. Semua senior sudah menangani pelanggan, tinggal aku saja yang belum. Biasanya, yang datang orang-orang yang sudah mempunyai usaha, dan menginginkan saran untuk mengefisienkan operasional. Kali ini yang datang seorang laki-laki, bisa dibilang masih muda. Dilihat penampilan, dia masih pemula. Orangnya tinggi, berambut ikal agak panjang, kaos pendek, dan celana panjang cargo. Tampilan bukan bisnisman, malah cenderung seperti orang main dan sekadar mampir. "Selamat pagi. Kauleh nyarek, eh ... saya mencari alamat kantor konsultan bisnis S
Kalau tidak demi pengalaman kerja, mana mau berlelah-lelah ke lantai tiga melalui tangga. Lembaran kertas sertifikat bertulis pengalaman kerja, yang aku dapatkan nanti sangat penting. Ini sebagai bahan pertimbangan saat melamar pekerjaan nanti. Tuntutan administrasi, mencari pekerja yang sudah berpengalaman. Semakin berpengalaman, semakin besar peluang diterima di sebuah perusahaan. Fenomena yang harus diterima, nasib sarjana tergantung dari selembar kertas. Masih diragukan kualitasnya kalau hanya berdasar nilai IPK. Terdengar aneh memang, mencari pekerjaan diminta pengalaman kerja. Bagaimana nasib fresh graduate seperti aku ini? Akhirnya pasrah menjadi karyawan magang dulu. "Capek, Mbak?" Aku melirik tajam dan mendengus pelan, menata napas terengah setelah melewati dua lantai. Bibir kupaksa tersenyum. Bagaimanapun, aku harus bersikap manis walaupun kaki meringis. "Maaf, ya," ucapnya lagi dengan menyuguhkan senyum termanis. Mungkin dengan begitu, dia berharap mengurangi lelahk
Di depanku, sepeda motor tinggi dengan roda bergerigi yang kelihatan mencolok di tempat ini. Ada tulisan Ducati Scrambler di tangki motor. Nama merk sepeda motor yang kuingat sebagai motor trail berharga MAHAL. Bukan. Bukan harga yang kupermasalahkan. Namun, bagaimana bisa aku berboncengan dengan motor seperti itu, sedangkan aku menggunakan baju kerja? Walaupun aku menggunakan stelan celana panjang, tetapi kelihatan salah kostum. "Ayo, naik!" teriaknya dari balik helm full face yang dia kenakan. Mau tidak mau, aku menaiki motor yang mengerikan ini. "Pegangan, Mbak. Nanti jatuh," ucapnya sebelum melajukan kendaraan ini. Aku pun menuruti Ndesitman ini. Berboncengan di motor Ducati Scrambler ini membuat jarak kami begitu dekat. Bahkan, aroma parfum maskulin seakan menguar di penciumanku. Pelan, kupegang ujung jaketnya, daripada jatuh dan pulang hanya tertinggal nama. Semakin lama, kecepatan bertambah seiring tangan ini mengerat di pinggangnya. Kupejamkan mata, ngeri rasanya. Kami
Perut kenyang, pusing pun hilang. Entah pusingku karena lapar, atau karena ngebut naik motor. Aku tidak paham. Yang jelas, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan catatan tidak boleh mengebut. Tapi, saat diboncengnya, aku teringat percakapan memalukan dengannya saat meminta untuk tidak mengebut."Pak Jaz, tolong jangan ngebut lagi, ya. Saya tidak terbiasa," kataku berharap dia mengerti saat kami bersiap di atas motor.Dia lalu tertawa menatapku. "Tenang saja, saya tidak akan mengebut. Saya takut perut saya biru-biru! nanti" "Hah? Kenapa?" tanyaku bingung."Kamu meremas perutku berkali-kali. Kalau tidak percaya, kau periksa dah!" ucapnya sembari akan menyingkap bajunya.Cukup lama bagiku sebelum memproses semuanya. Untuk mencegah niatnya, aku pun segera berteriak, "Stop, Jaz!" Dia terkekeh lagi. "Maaf. Pak Jazil," ucapku setelah sadar bahwa aku hanya memanggilnya nama saja. Bahkan, sampai memegang tangan dia. Pipiku menghangat, malu sekaligus ada desiran aneh di hati ini. "It
Semalaman aku tidak bisa tidur. Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat aku mencoba memejamkan mata. Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek, semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi. Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali. Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang bepedoman dengan teori yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting, yang hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai. Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku. Duh! Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga. Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas k
Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang meletakkan kesibukannya demi salat berjamaah di masjid. Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi. Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku. Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali. Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin. "Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku." Sempat kaget mendengar yang dia katakan. "Maksudnya?" "Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit a