Dewi Larasati, perempuan asli Solo, merupakan Sarjana Ekonomi yang banyak berkutat dengan teori. Apalagi, Larasati terlahir di keluarga yang berprofesi sebagai pengajar. Teori menjadi senjata utamanya sebagai konsultan bisnis. Namun, dia seperti melihat dunia yang berbeda saat bertemu dengan Jazil Ehsan. Tukang kayu yang merambah menjadi pengusaha itu terlihat ndeso dan punya pandangan menarik tentang segala hal. Bagaimana kisah antara Boss Ndeso dan Konsultan Bisnis Cerdas ini? Apakah Larasati benar-benar kepicut dan siap jadi istri untuk pria Ndeso ini?
Lihat lebih banyak"Selamat pagi, Pak? Saya Larasati, ada yang bisa saya bantu?" Kata-kata yang aku ucapkan setiap ada yang memasuki ruangan ini.
Aku magang di konsultan bisnis, mengaplikasikan ilmu yang selama ini aku pelajari. Dengan mengantong ijasah sarjana ekonomi, jurusan managemen sisnis di universitas ternama negara ini, membuatku mudah mendapatkan pekerjaan. Apalagi, aku lulus dengan predikat cumlaude. Berbekal percaya diri, akhirnya aku terdampar di kota ini.
Semua senior sudah menangani pelanggan, tinggal aku saja yang belum. Biasanya, yang datang orang-orang yang sudah mempunyai usaha, dan menginginkan saran untuk mengefisienkan operasional.
Kali ini yang datang seorang laki-laki, bisa dibilang masih muda. Dilihat penampilan, dia masih pemula. Orangnya tinggi, berambut ikal agak panjang, kaos pendek, dan celana panjang cargo. Tampilan bukan bisnisman, malah cenderung seperti orang main dan sekadar mampir.
"Selamat pagi. Kauleh nyarek, eh ... saya mencari alamat kantor konsultan bisnis Santosa. Apakah di sini tempatnya?" ucapnya, menggunakan bahasa daerah dan mengulang dengan bahasa Indonesia. Dia memberikan kartu nama yang dipegang sedari tadi, sambil tetap mengedarkan pandangan mata ke segala penjuru.
Sekilas aku menatap, setelah mendengar suaranya. Perkataan dengan logat Madura yang kental, terdengar menggelitik di telingaku yang berasal dari Solo. Biasanya, kalau kita bicara dengan logat kampung halaman disebut wong ndesit--orang dari desa. Jadi kalau laki-laki namanya ndesitman, ya biar terdengar keren. Keminggris sedikit, bolehlah.
"Iya, Pak. Betul! Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku setelah menerima kartu nama itu.
Memang, kantor ini terletak di gedung bersama dan kantor perusahaan ini di lantai tiga. Karena itulah sebelum menangani client, kami berkumpul di ruangan ini. Ruang tamu bersama. Lumayan, sambil menunggu kami ngobrol dan ngopi-ngopi dulu.
Beruntung ada lift, jadi kaki tidak pegal karena naik turun. Apalagi sepatu hak tinggi yang seakan mencengkeramku. Kalau tidak, bisa jadi kakiku cenut-cenut semalaman. Bayangin saja, dalam satu hari berapa kali kami harus naik turun.
"Kauleh mendapatkan kartu nama ini dari Mr. Andrew, Classy Furniture. Dia menyarankan untuk konsultasi bisnis di sini."
Aku mengernyitkan dahi, mendengar nama Mr Andrew yang sudah tidak asing lagi. Dia pengusaha furniture terkenal di kota ini. Siapa laki-laki ini? Kenapa bisa begitu dekat dengan Mr Andrew.
"Itu dia noles di belakang kartu."
Aku balik kartu nama, ada tulisan tangan dan paraf atas nama Mr. Andrew. Bertuliskan: Tolong bantu teman saya, namanya Jaz.
"Bapak, bernama Jaz?" tanyaku dengan mendongakkan kepalaku. Orang ini tinggi sekali. Aku yang tinggi seratus enam puluh lima saja, hanya setelinganya.
"Enggih. Kenalkan, nama kauleh Jazil Ehsan. Panggil saja. Jaz atau Jazil," ucapnya, dengan tetap menggunakan kata dan logat Madura yang kental.
Enggih pasti maksudnya, iya. Hampir sama dengan bahasa Jawa yang biasa kugunakan. Kauleh, kalau dari kalimatnya, mungkin artinya saya. Aku menerka apa yang dimaksud.
Namanya bagus, senada dengan sosoknya.
Dia mengulurkan tangan dan tersenyum.
"Saya Dewi Larasati, biasa dipanggil Larasati atau Laras saja," ucapku menyambut tangannya.
Tangan begitu kokoh dan terasa kasar di telapak tanganku. Seharusnya, ini bisa menjadi petunjukku menerka siapa dia dan apa bisnisnya.
Namun bisnis apa, ya? Tidak mungkin dia pemilik perusahaan yang tinggal duduk di balik meja dan perintah sana dan sini.
Sejenak aku terpana melihat senyuman, ternyata dia manis juga. Beberapa saat kami saling pandang, rasa hangat menjalar dari tangannya yang masih menangkup tanganku. Entah, kenapa ada geleyar aneh di hati ini. Ah, mungkin ini karena dia sosok yang berbeda dengan orang yang biasanya datang ke kantor ini.
"Ma-maaf. Kita ke kantor sekarang." Aku menarik tangan ini dari genggamannya. Kemudian mempersilahkan mengikutiku ke kantor lewat lift.
"Kita naik lift?" tanyanya menoleh ke arahku.
"Iya, Pak. Kantornya ada di lantai tiga," jelasku dan segera mengalihkan pandangan.
Wajah yang bengong dengan bibir sedikit terbuka, terlihat menggemaskan. Apalagi, rambut ikal dan beberapa helai menutupi sebagian wajah. Kulit coklat hangat, mirip foto model asal Latin. Asal …, dia tidak bersuara yang menunjukkan logatnya. Bisa ambyar.
"Mbak Larasati. 'Ka-kauleh' tidak bisa naik lift."
Aku memutar kepala mendengar apa yang dituturkan sembari menunjukkan wajah menuntut penjelasan.
“Naik lift membuat saya pusing,” jawabnya menjawab rasa heranku.
Aduh!
Orang ini dari mana, to? Zaman sekarang masih ada orang pusing menggunakan lift.
'"Dasar, Ndesitman," gumamku lirih.
****
"Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik
Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka
“Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem
"Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d
Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop
Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen