Kalau tidak demi pengalaman kerja, mana mau berlelah-lelah ke lantai tiga melalui tangga. Lembaran kertas sertifikat bertulis pengalaman kerja, yang aku dapatkan nanti sangat penting. Ini sebagai bahan pertimbangan saat melamar pekerjaan nanti.
Tuntutan administrasi, mencari pekerja yang sudah berpengalaman. Semakin berpengalaman, semakin besar peluang diterima di sebuah perusahaan. Fenomena yang harus diterima, nasib sarjana tergantung dari selembar kertas. Masih diragukan kualitasnya kalau hanya berdasar nilai IPK.
Terdengar aneh memang, mencari pekerjaan diminta pengalaman kerja. Bagaimana nasib fresh graduate seperti aku ini? Akhirnya pasrah menjadi karyawan magang dulu.
"Capek, Mbak?"
Aku melirik tajam dan mendengus pelan, menata napas terengah setelah melewati dua lantai. Bibir kupaksa tersenyum. Bagaimanapun, aku harus bersikap manis walaupun kaki meringis.
"Maaf, ya," ucapnya lagi dengan menyuguhkan senyum termanis. Mungkin dengan begitu, dia berharap mengurangi lelahku, ternyata berhasil. Aku merasa segar kembali.
"Tidak apa-apa. Anggap saja olah raga." Badan kutegakkan, kemudian memaksa kaki melangkah anggun ke meja kerjaku.
Didampingi Pak Lartomo seniorku, kami menggali apa yang dia butuhkan. Dari data yang kami dapatkan, akan dirumuskan langkah apa yang akan diambil.
Ternyata, Jazil mempunyai usaha pengolahan kayu. Dia mengolah menjadi furnitur dan rumah pondok kecil. Pelanggan dari dalam dan luar negeri. Suplai ke beberapa toko, dan Classy Furniture satu dari sekian banyak pelanggan.
"Di gudang ada beberapa tukang, termasuk saya. Saya tukang kayu." Penjelasan ini menjawab penasaranku, kenapa telapak tangannya terasa kasar saat berjabat tangan tadi.
Dia menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan kami. Pembawaannya santai, sesekali melempar guyonan membuat kami tertawa bersama. Jujur, tertawaku bukan karena lucu, namun karena aku tidak mengerti benar bahasa yang dia gunakan.
Yang aku tangkap mereka saling memberitahu kampung asal mereka. Jazil dari Sumenep dan Pak Lartomo dari Situbondo, namun nenek moyangnya juga berasal dari Sumenep.
Mereka menjelaskan kepadaku bahwa orang luar Madura mengenal Sumenep sebagai 'Solonya" Madura. Bahasa yang digunakan di sana bahasa halus dengan tingkatan disesuaikan berdasar lawan bicara.
Mereka saling melempar pertanyaan menggunakan bahasa Madura. Bahkan, Pak Lartomo yang lebih tua usianya memanggil tanpa embel-embel pak. .
Tertinggal, aku yang menoleh bergantian ke arah mereka tanpa tahu apa yang dimaksud. Beruntunglah, mereka asik berbicara. Jadi ada kesempatan memijit betisku yang mulai berdenyut.
"Kita merantau juga nyarek taretan, jangan mengejar uang saja! Kamu mengerti, Laras?" tanya Pak Lartomo menoleh ke arahku.
"Mengerti sedikit. Tapi, banyak tidak mengertinya," ucapku tersenyum kecut.
"Nyarek taretan itu artinya mencari saudara. Orang seperti kami ini, berusaha mencari saudara saat diperantauan. Makanya, saat mengetahui kami berasal dari kota yang sama, kami langsung merasa seperti saudara," jelasnya.
"Kamu harus banyak bertemu dengan Jazil, supaya mengerti kosa kata kami. Ya, kan!" seloroh Pak Lartomo.
Setelah selesai menggali informasi, Pak Lartomo memberiku tugas untuk survey lapangan. Ke tempat usaha Jazil.
"Survey lapangan bersama Bapak, kan?" tanyaku kepada seniorku ini.
"Tidak, kamu sendiri bisa, kan. Kalau hari ini, saya ada meeting setelah makan siang."
Aku mengangguk.
Ini kali pertama pengalaman tanpa didampingi senior. Walaupun sudah terbiasa bertemu dengan client, namun tanpa senior, rasa percaya diriku berkurang. Memang secara keilmuan, aku tidak usah diragukan, semua teori hapal di luar kepala. Namu, kalau menghadapi orang baru apalagi yang tidak seserver seperti yang satu ini, membuatku merasa jengah.
"Larasati ke tempatmu sendiri, apakah tidak keberatan, Jaz? Hari ini setelah istirahat siang. 'Bekna' informasi alamat lengkap," kata Pak Lartomo.
"Iya, Pak Jazil. Sekalian peta ke arah sana. Saya kurang mengerti jalan di sini," tambahku.
Aku belum hafal jalan di sini. Bagiku semua kelihatan sama. Maklumlah, baru lima bulan di kota ini dan setiap hari pulang dalam keadaan lelah. Sudah tidak ada tenaga untuk keluar rumah apalagi keliling untuk menghafal jalan.
Nasib karyawan. Berangkat pagi, pulang sore dan sudah tertinggal ingin tidur saja.
"Bareng kaule saja. Nanti dia bisa kesasar," ucapnya ke Pak Lartomo terjeda sebentar, "sekalian makan siang."
Aku menatapnya kemudian beralih menatap Pak Lartomo meminta pertimbangan. Walaupun, aku tidak mengerti setiap kata yang dia utarakan, tapi aku mengerti apa yang dimaksud. Jazil mengajakku bersama ke tempatnya, sekalian makan siang.
"Ok, sip. Kau siap-siap, Laras!" katanya, kemudian berpaling ke arah Jazil. "Laras ini orang Solo. Dia tidak mengerti bahasa Madura. Lebih banyak kau pakai bahasa Indonesia saja," jelas Pak Lartomo.
Memang Bapak dan Ibu oranya asli Solo. Sedari kecil sampai kuliah, kami tidak pernah keluar dari kota itu. Apalagi, mereka terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri. Itulah yang membuatku tidak mengerti bahasa daerah lainnya selain bahasa Jawa.
Setelah menyiapkan form survey dan peralatan lainnya, kamipun berangkat.
"Tidak apa-apa naik motor, kan?" tanyanya tadi.
Aku menjawab, tidak apa-apa. Toh, pulang pergi ke kantor juga menggunakan sepeda motor. Karenanya, kubawa helm yang aku punya. Khusus untuk hal ini, aku tidak suka berbagi dengan orang lain. Bisa jadi, berbagi ketombe bahkan kutu.
Aku terdiam di tempat parkir, melihat dirinya yang mengeluarkan motor dari deretan kendaraan beroda dua. Namun, ini sangat jauh berbeda dengan bayanganku. Sepeda motor yang tidak pernah terlintas dipikiranku.
Beneran, aku harus naik motor seperti ini dengannya?
Duh! Ini di luar bayanganku.
Du--Ducati Scrambler?****
"Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik
Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka
“Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem
"Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d
Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop
Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno