Share

Bab 2. Di Luar Bayanganku

Kalau tidak demi pengalaman kerja, mana mau berlelah-lelah ke lantai tiga melalui tangga. Lembaran kertas sertifikat bertulis pengalaman kerja, yang aku dapatkan nanti sangat penting. Ini  sebagai bahan pertimbangan saat melamar pekerjaan nanti. 

Tuntutan administrasi, mencari pekerja yang sudah berpengalaman. Semakin berpengalaman, semakin besar peluang diterima di sebuah perusahaan. Fenomena yang harus diterima, nasib sarjana tergantung dari selembar kertas. Masih diragukan kualitasnya kalau hanya berdasar nilai IPK.

Terdengar aneh memang, mencari pekerjaan diminta pengalaman kerja. Bagaimana nasib fresh graduate seperti aku ini? Akhirnya pasrah menjadi karyawan magang dulu.

"Capek, Mbak?" 

Aku melirik tajam dan mendengus pelan, menata napas terengah setelah melewati dua lantai. Bibir kupaksa tersenyum. Bagaimanapun, aku harus bersikap manis walaupun kaki meringis.

"Maaf, ya," ucapnya lagi dengan menyuguhkan senyum termanis. Mungkin dengan begitu, dia berharap mengurangi lelahku, ternyata berhasil. Aku merasa segar kembali.

"Tidak apa-apa. Anggap saja olah raga." Badan kutegakkan, kemudian memaksa kaki melangkah anggun ke meja kerjaku. 

Didampingi Pak Lartomo seniorku, kami menggali apa yang dia butuhkan. Dari data yang kami dapatkan, akan dirumuskan langkah apa yang akan diambil.

Ternyata, Jazil mempunyai usaha pengolahan kayu. Dia mengolah menjadi furnitur dan rumah pondok kecil. Pelanggan dari dalam dan luar negeri. Suplai ke beberapa toko, dan Classy Furniture satu dari sekian banyak pelanggan.  

"Di gudang ada beberapa tukang, termasuk saya. Saya tukang kayu."  Penjelasan ini menjawab penasaranku, kenapa telapak tangannya terasa kasar saat berjabat tangan tadi.

Dia menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan kami. Pembawaannya santai, sesekali melempar guyonan membuat kami tertawa bersama. Jujur, tertawaku bukan karena lucu, namun karena aku tidak mengerti benar bahasa yang dia gunakan. 

Yang aku tangkap mereka saling memberitahu kampung asal mereka. Jazil dari Sumenep dan Pak Lartomo dari Situbondo, namun nenek moyangnya juga berasal dari Sumenep.

Mereka menjelaskan kepadaku bahwa orang luar Madura mengenal Sumenep sebagai 'Solonya" Madura. Bahasa yang digunakan di sana bahasa halus dengan tingkatan disesuaikan berdasar lawan bicara. 

Mereka saling melempar pertanyaan menggunakan bahasa Madura. Bahkan, Pak Lartomo yang lebih tua usianya memanggil tanpa embel-embel pak.  .

Tertinggal, aku yang menoleh bergantian ke arah mereka tanpa tahu apa yang dimaksud. Beruntunglah, mereka asik berbicara. Jadi ada kesempatan memijit betisku yang mulai berdenyut.

"Kita merantau juga nyarek taretan, jangan mengejar uang saja! Kamu mengerti, Laras?" tanya Pak Lartomo menoleh ke arahku.

"Mengerti sedikit. Tapi, banyak tidak mengertinya," ucapku tersenyum kecut.

"Nyarek taretan itu artinya mencari saudara. Orang seperti kami ini, berusaha mencari saudara saat diperantauan. Makanya, saat mengetahui kami berasal dari kota yang sama, kami langsung merasa seperti saudara," jelasnya.

"Kamu harus banyak bertemu dengan Jazil, supaya mengerti kosa kata kami. Ya, kan!" seloroh Pak Lartomo. 

Setelah selesai menggali informasi, Pak Lartomo memberiku tugas untuk survey lapangan. Ke tempat usaha Jazil. 

"Survey lapangan bersama Bapak, kan?" tanyaku kepada seniorku ini. 

"Tidak, kamu sendiri bisa, kan. Kalau hari ini, saya ada meeting setelah makan siang." 

Aku mengangguk. 

Ini kali pertama pengalaman tanpa didampingi senior. Walaupun sudah terbiasa bertemu dengan client, namun tanpa senior, rasa percaya diriku berkurang. Memang secara keilmuan, aku tidak usah diragukan, semua teori hapal di luar kepala. Namu,  kalau menghadapi orang baru apalagi yang tidak seserver seperti yang satu ini, membuatku merasa jengah.

"Larasati ke tempatmu sendiri, apakah tidak keberatan, Jaz? Hari ini setelah istirahat siang. 'Bekna' informasi  alamat lengkap," kata Pak Lartomo.

"Iya, Pak Jazil. Sekalian peta ke arah sana. Saya kurang mengerti jalan di sini," tambahku.

Aku belum hafal jalan di sini. Bagiku semua kelihatan sama. Maklumlah, baru lima bulan di kota ini dan setiap hari pulang dalam keadaan lelah. Sudah tidak ada tenaga untuk keluar rumah apalagi keliling untuk menghafal jalan. 

Nasib karyawan. Berangkat pagi, pulang sore dan sudah tertinggal ingin tidur saja.

"Bareng kaule saja. Nanti dia bisa kesasar," ucapnya ke Pak Lartomo terjeda sebentar, "sekalian makan siang." 

Aku menatapnya kemudian beralih menatap Pak Lartomo meminta pertimbangan. Walaupun, aku tidak mengerti setiap kata yang dia utarakan, tapi aku mengerti apa yang dimaksud. Jazil mengajakku bersama ke tempatnya, sekalian makan siang. 

"Ok, sip. Kau siap-siap, Laras!" katanya, kemudian berpaling ke arah Jazil. "Laras ini orang Solo. Dia tidak mengerti bahasa Madura. Lebih banyak kau pakai bahasa Indonesia saja," jelas Pak Lartomo.

Memang Bapak dan Ibu oranya asli Solo. Sedari kecil sampai kuliah, kami tidak pernah keluar dari kota itu. Apalagi, mereka terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri. Itulah yang membuatku tidak mengerti bahasa daerah lainnya selain bahasa Jawa.

Setelah menyiapkan form survey dan peralatan lainnya, kamipun berangkat.

"Tidak apa-apa naik motor, kan?" tanyanya tadi. 

Aku menjawab, tidak apa-apa. Toh, pulang pergi ke kantor juga menggunakan sepeda motor. Karenanya, kubawa helm yang aku punya. Khusus untuk hal ini, aku tidak suka berbagi dengan orang lain. Bisa jadi, berbagi ketombe bahkan kutu.

Aku terdiam di tempat parkir, melihat dirinya yang mengeluarkan motor dari deretan kendaraan beroda dua. Namun, ini sangat jauh berbeda dengan bayanganku. Sepeda motor yang tidak pernah terlintas dipikiranku. 

Beneran, aku harus naik motor seperti ini dengannya?

Duh! Ini di luar bayanganku.

Du--Ducati Scrambler?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status