Shubuh ini hujan turun dengan derasnya. Devit melaksanakan sholat shubuhnya di rumah saja. Senyumnya terus mengembang, manakala teringat peristiwa dadakan yang terjadi dalam hidupnya tadi malam. Juwi, janda yang selalu mencuri perhatiannya kini telah menjadi istri sahnya, walaupun masih pernikahan siri. Tapi Devit berjanji dalam hatinya akan segera meresmikan pernikahan mereka. Lalu bagaimana dengan Sarah? Bukankah dengan Sarah juga pernikahannya harus berakhir. Memikirkan Sarah membuat Devit menjadi iba, ujian yang dihadapi Sarah sangat berat. Semoga Sarah bisa melewatinya.
Beep..beep..
["Ya hallo, Assalamualaikum, Mah."]
["Wa'alaykumussalam. Kamu, mama tunggu pagi ini di rumah istrimu."]
["Maksud mama, Sarah?"]
["Iya, emang istri kamu ada berapa?"]
["Eh iya, Ma. Nanti jam sepuluh Devit ke rumah Sarah."]
["Kelamaan jam sepuluh. Jam delapan sudah harus di sini."]
["Tapi Devit ada kelas, Ma. Jam delapan."]
["Terserah, pok
"Saya datang bulan," ucap Juwi cepat sambil salah tingkah dengan sikap Devit yang kini berubah jadi agresif. Mendengar pernyataan Juwi membuat Devit tertawa. Ternyata Juwi takut juga pada dirinya, namun sedikit ada yang aneh, kenapa Devit seperti menikahi anak perawan saja? Rasa canggung dan kikukknya seperti gadis yang benar-benar belum pernah disentuh lelaki."Ya sudah ganti baju dulu sana, masa tidur pake kebaya." Devit menunjuk lipatan baju tidur berbahan satin, berwarna ungu."Mentang-mentang saya janda, dikasihnya ungu gitu," celetuk Juwi tanpa melihat Devit, langsung masuk ke dalam kamar mandi yang hanya ditutupi krei. Sebenarnya baju tidur dua stel di dalam lemari Devit adalah termasuk barang yang akan dia berikan pada Sarah. Namun belum terlaksana pesta yang dimaksud, malah ia kini menikahi Juwi"Jangan ngintip, lho Pak!" Teriak Juwi dari dalam kamar mandi."Iya, paling saya ikutan ganti juga," ledek Devit dari ruang tengah. Devit merapikan tempa
Selamat membacaJuwi tidak bisa mengelak lagi, Devit sudah mengungkungnya di atas kasur. Keduanya saling menatap, Juwi sangat canggung.Cepat Juwi menutup mata, saat Devit semakin mendekat."Sini, buka dulu mukenanya," bisik Devit ssambil membantu Juwi membuka mukena bagian atas. Rambut Juwi yang basah terurai indah, Devit menatap Juwi penuh minat. Juwi bernafas sampai tersendat-sendat, karena wajahnya dan suaminya begitu dekat. Seperti dihipnotis, Juwi menurut saja saat Devit membantu membuka bawahan mukena."Istriku cantik, mirip artis korea, kulitnya putih," puji Devit sambil jari telunjuknya menyentuh pipi Juwi yang kemerahan menahan malu."Pak, berat!" rengek Juwi sedikit menggeser tubuhnya, namun di tahan Devit."Abang, De. Bukan Bapak," sela Devit dengan senyuman."Iya ... Bang, somaynya goceng ga pake pare!" ledek Juwi sambil terkikik, merasa aneh dengan sebutan abang diminta Devit."Ngeledek ya."Cuupp
Juwi terdiam menatap raut wajah suaminya yang salah tingkah. Juwi merapatkan kembali kedua pahanya, mengambil sarung suaminya yang ada di atas ranjang, lalu menutupi tubuhnya."Abang ga tau?""Ngga, De." Devit menggeleng lemah, yang di bawah pun ikut lemah."Emang Juwi ga tahu juga?""Ngga, Bang." Juwi menggeleng malu."Kok gak tahu?" Devit semakin bingung dengan istrinya, bukannya Juwi janda. Tapi kok malah tidak tahu."Soalnya belum pernah,"cicit Juwi sambil menggigit bibir bawahnya."Hah?!"Devit tercengang. Dadanya berdegub kencang. Keningnya berkerut tidak paham maksud ucapan Juwi."Juwi, tapi...""Papa Salsa meninggal seminggu setelah pernikahan kami, saat itu saya sedang datang bulan. Jadi papa Salsa belum sempat ... mmm."CcuupppMmmmmmpph ...Devit mencium mesra istrinya."Jadi Juwi masih perawan?" tanya Devit sambil menatap mesra Juwi.Istrinya itu mengangguk, wajahnya suda
Dewasa 21+Devit merapikan letak sarungnya setelah berwudhu. Ia menyusuri jalan menuju masjid untuk melaksanakan sholat dzuhur. Juwi sudah kembali ke rumahnya, menyuapi Salsa makan. Sedari tadi Juwi hanya senyam senyum tak jelas, ibu yang memperhatikan Juwi, juga ikut tersenyum, belum pernah ibu melihat Juwi sebahagia ini. Tak terasa air mata ibu menggenang. Ternyata Tuhan memberikan jodoh pada Juwi dengan cara yang tidak disangka-sangka."Senyumin apa sih, pengantin?" tanya Bu Nur menggoda Juwi. Juwi tersadar dari lamunannya mendengar suara ibunya."Ah, ga papa, Bu," jawab Juwi cepat, wajahnya menunduk malu."Cepat suapin Salsa, setelah itu kamu siapin makan untuk suamimu, bawa ke kontrakan," ucap ibu pada Juwi sambil menunjuk aneka hidangan di atas meja makan."Bu, harusnya Pak Devit sudah bayar kontrakan,Bu. Udah masuk tanggalnya ini." Juwi mengingatkan ibunya. Wajah Juwi berubah serius."Ga papa Juwi, se
Wanita dengan mukena batik yang ia pakai, masih terpekur di atas sajadah. Selesai sholat dhuha ia panjatkan doa mohon ampun atas segala kesalahan dan dosa yang telah ia perbuat. Walaupun hati remuk redam dengan semua keadaan ini. Matanya melirik kalender yang telah ia tandai gambar hati. Lima hari lagi tepatnya, harusnya adalah hari bahagianya, melaksanakan resepsi dengan suami tercinta. Lelaki yang selalu ia kagumi, sejak mengikuti mata kuliah sejarah islam. Namun lima hari lagi, ia malah akan menikah dengan lelaki paling brengsek di muka bumi. Jono Jarin Nugraha."Saraah,"panggil wanita paruh baya, yang merupakan adalah mamanya Sarah. Sedikit tergesa, membuka pintu kamar anaknya."Ada apa, Mah?" tanya Sarah kebingungan melihat ekspresi mamahnya."Berita apa yang barusan Mama dengar, mantan suamimu Devit sudah menikah dengan janda anak satu, apa ini semua Sarah?"Sarah terdiam, ada yang meremas hatinya. Begitu sakit. Air matanya
Fix tidak ada malam pertama, yang ada siang pertama. Tubuh keduanya kini telah segar. Devit sedari tadi mesem-mesem memperhatikan wajah Juwi yang tiba-tiba bersinar. Efek after glow. Juwi masih menggelung rambutnya dengan handuk. Tubuhnya dibalut kaos kebesaran milik Devit dipadukan dengan celana panjang bermotif polkadot. Jalannya sedikit kepayahan, menuju dapur. Untuk mengambil minum."Sakit ya, De?" tanya Devit khawatir, ketika melihat Juwi kembali dari dapur, sambil memegang teko air."Sakitlah, kayak digigit Bapaknya tawon," sahut Juwi sambil berjalan aga mengangkang. Devit terbahak, memperhatikan jalan istrinya."Ish, bukannya prihatin. Malah ngetawain istri. Besok-besok ga ada deh, apaan yang enak, orang sakit begini," omel Juwi dengan wajah cemberut."Eh, namanya baru pertama gitu, De. Nanti-nanti mah, udah ga sakit," terang Devit sambil mengusap pucuk kepala istrinya."Maafin ya," ucap Devit sangat lembut memeluk Juwi. Juwi jadi terharu, a
Malam ini Juwi tidak bisa tidur, padahal biasanya pukul sembilan malam, ia sudah terlelap bersama Salsa. Hanya saja, sejak menikah, tidurnya menjadi lebih malam. Tetapi tetap saja, pukul sebelas ia sudah terlelap.Juwi milirik jam di dinding kamarnya, sudah pukul satu malam. Matanya tak mau juga terpejam. Padahal sejam yang lalu ia baru saja melakukan video call dengan Devit. Dirinya gelisah, hanya berbalik kanan dan ke kiri. Pikirannya melayang pada perkataan mertua perempuannya, juga pada ucapan Devit yang menenangkannya.Devit mengatakan, perjuangan mereka masih panjang, menikah bukanlah awal dari kebahagiaan saja, namun awal dari ujian kehidupan. Devit juga mengatakan agar Juwi percaya sepenuhnya dengan dirinya, dengan cintanya. Ia akan berjuang, agar Juwi diterima oleh orangtua juga keluarga besarnya.Air mata Juwi kini sudah tumpah lagi, mengingat suaminya, rasa rindu itu kini kian terasa. Rasanya baru tadi siang mereka bercumbu, namun malam in
Devit menatap wajah bertanya-tanya Juwi, sambil memeluk erat selimut bulu menutupi tubuhnya hingga dada."Abang mau ke tempat Teh Sarah?" tanya Juwi dengan nada lemah."Kalau De Juwi izinin, Abang berangkat," ucap Devit, kini sambil mendekati istrinya."Ga usah ya, Bang. Nanti Teh Sarah, malah baper, dia kira Abang masih perhatian," ucap Juwi sambil mengusap lengan suaminya. Devit nampak berpikir. Ia membenarkan ucapan Juwi. Devit membawa Juwi ke dalam pelukannya."Udah lho ya, udah dua kali, bisa setruk saya kalau sampe tiga kali." Juwi menatap sengit ke arah suaminya yang kini tengah terbahak.****Di rumah Sarah, geger dengan perbuatan Sarah yang menceburkan diri ke dalam kolam renang rumahnya. Untung saat itu Jono datang ke rumah Sarah, hendak melihat calon istrinya. Padahal sudah dilarang oleh orang tua Sarah, namun Jono tetap pergi ke rumah Sarah.Begitu sampai di sana, Jono berlari ke arah belakang rumah Sarah