Melviano
Seperti janji tadi siang, malam ini aku dan Franky bertemu di klub malam untuk melihat rekaman CCTV sebelum kesadaranku hilang. Aku yakin sekali ketika meninggalkan gedung klub, kondisiku sudah tidak sadar.
Sayang sekali masing-masing private room di klub ini tidak dipasang kamera pengawas. Alhasil kami hanya bisa melihat rekaman yang ada di lorong menuju ruangan yang telah disewa tadi malam.
“Tuh lihat, Mel,” cetus Franky saat melihat rekaman saat aku keluar bersama dengan seorang perempuan.
Dalam video tersebut, aku berjalan terhuyung ke kanan dan kiri. Sementara perempuan itu yang menopang tubuh ini. Dari pakaian dan postur tubuhnya, dia bukanlah wanita yang bersama denganku tadi pagi.
“Lo mabuk?” tanya Franky ketika aku masih mencari persamaan antara wanita yang ada di video dan wanita sinting itu.
Aku menggelengkan kepala. “Lo tahu gue pesan apa, Frank. Gue juga nggak tahu kenapa bisa kayak gitu.”
“Ini cewek yang tadi bukan?” Franky kembali mengajukan pertanyaan.
“Bukan. Rambutnya panjang sepunggung, kalau yang ini di bawah bahu dikit. Bajunya juga beda,” jawabku kemudian.
Sudah jelas wanita ini bukanlah si Sinting, karena beda tingginya tidak terlalu jauh denganku. Apalagi dia mengenakan high heels dengan tinggi tidak sampai 10 centimeter. Sedangkan wanita sinting yang bersamaku tadi bertubuh mungil. Tingginya sekitar 155 centimeter, 30 centimeter di bawahku.
“Yakin?” Franky terlihat ragu.
“Bukan dia, Frank,” tegasku dengan tatapan malas.
“Bisa cari rekaman lain yang ada wanita ini nggak, Pak?” pinta Franky kepada petugas yang bertanggung jawab di ruangan pengawasan.
“Maaf, tidak bisa, Pak. Kecuali Bapak tahu lokasi dan waktu yang tepat, seperti video barusan.”
Aku menggelengkan kepala, karena mustahil bisa tahu ke mana saja wanita itu sebelum memasuki ruangan yang kutempati dengan Franky. Selain rekaman ini, kami tidak mendapatkan petunjuk apa-apa lagi karena CCTV tidak terpasang di pintu keluar gedung.
“Makasih ya, Pak,” ucapku menepuk pelan punggung petugas.
Aku kembali menegakkan tubuh sambil mengusap pelan dagu. Sasi … entah kenapa dia memiliki kemiripan dengan wanita sinting itu. Suara, postur tubuh mungil dan raut wajahnya. Meski mereka juga terlihat seperti pinang dibelah dengan asal. Satunya masih bagus dan satu lagi hancur.
Ah, rasanya kecil kemungkinan dia yang bersama denganku waktu itu. Warna mata mereka juga berbeda. Lagi pula buat apa wanita cantik mengubah penampilan menjadi jelek seperti itu?
“Trus gimana?”
Aku mengangkat bahu, karena tidak tahu apa yang akan dilakukan lagi agar bisa mencari wanita sinting itu.
“Tante Fani kalau udah kasih ultimatum serem, Mel. Habis lo entar,” celetuk Franky membuatku merinding.
Mama, wanita yang sangat disayangi ini, bisa berbuat apa saja jika benar-benar memintaku menikah lagi. Aku khawatir jika beliau kembali lagi mengambil alih perusahaan di usia yang tak lagi muda. Atau melakukan hal-hal di luar nalar lainnya.
Hei, jangan berpikiran jika aku takut kehilangan jabatan. Aku hanya cemas dengan kesehatan beliau, itu saja. Sudah saatnya Mama menikmati masa tua dengan tenang, tanpa pusing memikirkan perusahaan. Apalagi Stanley Group memiliki banyak cabang dan bidang usaha.
“Nanti aja dipikirin jalan keluarnya,” ujarku sambil menepuk dada Frank sebelum keluar dari ruang pengawasan.
“Makanya lo nikah gih. Itu satu-satunya solusi agar bisa selamat dari amukan Tante Fani,” ledek Franky saat kami akan mencapai pintu.
Aku hanya berdecak menanggapi celotehannya.
“Terima kasih atas kerjasamanya, Pak.” Franky bersalaman dengan kepala bagian ketika kami berada di luar ruangan.
“Sama-sama, Pak. Saya tidak bisa menolak permintaan Pak Melviano,” sahut kepala bagian.
“Nanti saya suruh sekretaris mengantarkan bingkisan sebagai ucapan terima kasih kepada tim Bapak,” ujarku kemudian.
Kami bersiap pergi dari depan ruang pengawasan, namun ….
“Om … eh, Pak.”
Alangkah terkejutnya diri ini melihat keberadaan seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambut keriting yang terikat, sedang berdiri tepat di depanku.
“Kamu … Sasi, ‘kan?” tanyaku ragu.
Kenapa dia ada di sini? Mencurigakan.
“Iya, Pak,” cicitnya gugup.
Franky menyikut lenganku, lalu berbisik, “Lo kenal?”
Aku mengangguk singkat.
“Kenal di mana sama cewek model beginian?”
“Entar gue ceritakan,” balasku mendelikkan mata.
Franky memilih diam, tanpa mengajukan pertanyaan lagi.
“Saya tadi kebetulan lewat, trus ketemu sama teman di depan. Jadi dibawa masuk ke sini,” jelas Sasi tanpa ditanya.
“Saya nggak tanya,” pungkas ku berlalu dari hadapannya.
Sekarang bukan waktunya berbicara dengan gadis itu. Aku ingin pulang dan istirahat terlebih dahulu. Kepala rasanya mau pecah, sehingga tidak sanggup lagi banyak berpikir.
Tanpa menoleh lagi kepadanya, aku langsung melangkah menuju pintu keluar klub malam. Entah bagaimana reaksi perempuan itu ketika ditinggalkan begitu saja. Aku tak peduli. Terlalu malas melihat wajahnya yang dipenuhi bintik cokelat.
Aku benar-benar lelah. Hari ini terasa berjalan begitu lambat, tidak seperti biasanya. Energiku habis terkuras dengan rentetan kejadian yang datang silih berganti.
“Kenal di mana sih, Mel?” Rupanya Franky masih penasaran.
“Karyawan di bagian CCS,” sahutku malas sambil menekan remot mobil, begitu berada di tempat parkir.
“Karyawan bagian CCS?” Keningnya berkerut ketika kami berhadap-hadapan, sebelum aku masuk ke mobil.
Aku kembali mengangguk singkat.
“Tumben kenal sama karyawan? Biasanya cuek bebek, apalagi sama cewek.” Wajah Franky berubah usil. “Jangan-jangan lo udah bosan lihatin cewek cantik, jadinya ganti selera sama cewek model begitu.”
“Sembarangan lo!” sungutku sambil menepuk lengannya. “Udah sana gih, gue mau pulang. Capek nih.”
Bukannya pergi, Franky malah membuka pintu mobil tempat penumpang.
“Mau ngapain lo?”
“Pulang bareng lo,” jawab Franky tanpa beban.
“Gue nggak punya tenaga buat anterin lo.”
“Trus gue pulang sendiri?” protesnya dengan wajah berkerut.
“Bisa naik taksi, Frank. Lagian kenapa suruh supir lo pulang tadi?”
“Biar lo anterin.” Dia nyengir kuda, rasa ingin kumaki. “Ya udah, gue nginap di rumah lo deh.”
“Bini lo nggak cariin?”
“Sejak kapan dia cari gue kalau nggak pulang?” Frank segera duduk di kursi penumpang, lalu menutup pintu.
Aku hanya bisa menarik napas singkat sebelum beranjak menuju pintu kemudi. Nggak ada seorang pun yang bisa melarang Franky jika ingin menginap di rumahku. Termasuk istrinya. Apalagi kondisi rumah tangga mereka saat ini sedang tidak baik-baik saja. Apa masalahnya? Delapan tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai buah hati.
Rasa rindu kepada Kalila kembali mengakar dalam diri, saat aku teringat permasalahan Franky dan istrinya. Beberapa bulan sebelum dia meninggal, kami sedang melakukan program kehamilan. Jika saja kecelakaan nahas itu tidak terjadi, kami mungkin sudah bahagia bersama dengan buah cinta kami berdua.
“Kenapa muka lo sedih gitu?” selidik Franky memiringkan kepala.
Aku menggelengkan kepala cepat, lalu memasangkan sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil.
“Pasti inget Kalila,” tebaknya jitu.
Aku memang tidak bisa berbohong kepada sahabatku ini.
“Dia pasti udah bahagia di sana, Mel.” Franky menunjukkan raut serius. “Kalau Kalila lihat lo kayak gini, pasti bakalan sedih.”
Aku hanya tersenyum kecut ketika menginjak gas perlahan. Ini bukan pertama kalinya Franky berkata seperti itu.
“Sekarang lo fokus cari tuh cewek trus nikah,” sambungnya lagi.
Kepala ini menoleh ke samping kiri dan melihat Franky menatap lurus ke depan.
“Frank, gue mau tanya sesuatu sama lo.”
“Apa? Minta carikan jodoh ya? Jangan sama gue. Rumah tangga gue aja sekarang lagi di ujung tanduk,” celotehnya dengan wajah ditekuk.
“Bukan itu.”
“Trus?”
Aku kembali melirik sebentar ke kiri, sebelum fokus lagi melihat jalan raya. “Menurut lo, ada nggak sih orang yang memiliki tingkat kemiripan 70%?”
“Maksud lo?” Dia malah balik bertanya.
“Maksud gue … orang yang punya suara mirip, trus postur tubuh, tinggi dan raut wajah juga mirip.”
“Bedanya di mana?” Franky memberi pertanyaan lain.
“Satu cantik dan satu nggak. Rambut, warna mata dan sikapnya juga sedikit berbeda.”
“Kalau yang begitu ada, Mel. Kecuali tingkat kemiripannya 90%. Yang begini biasanya kembar identik atau memang orang yang sama.”
Berarti hanya perasaanku saja yang mengatakan Sasi adalah wanita sinting itu. Lagi pula tidak mungkin mereka orang yang sama. Haha!
Pikiran lo mulai ngawur, Vian, bisik hatiku.
“Kok tanya gitu sih, Mel?”
“Cewek yang ketemu sama kita barusan, mirip sama wanita sinting tadi pagi.”
“What?” Tawa Franky pecah membuat pekak gendang telinga.
“Jangan bercanda, Mel. Gue yakin banget cewek yang bareng sama lo di hotel itu cantik banget, jadi nggak mungkin yang tadi,” sambung Franky dengan napas ngos-ngosan karena tertawa.
“Tadi ‘kan gue udah jelasin miripnya di mana,” protesku kesal.
“Serius ada miripnya?” Franky memastikan setelah berhasil mengatur napas.
Aku mengangguk sambil melihat sekilas kepada Franky. “Hanya beda yang satu cantik dan satu lagi—”
“Jelek?” sela Franky, “gue jadi inget telenovela Betty La Fea yang pernah booming dulu.”
Dia kembali tertawa saat menyebut judul serial yang sering ditontonnya dulu. Badung-badung begini, Franky suka nonton sinetron. Haha!
“Ya gitu deh. Tinggi dan postur tubuh mereka mirip. Suara juga mirip, hanya beda penampilan fisik dan … warna mata.”
Franky diam, tidak menanggapi perkataanku. Tumben.
“Frank? Lo dengerin gue ‘kan?” Aku kembali melihat ke arahnya sebentar. Dia seperti sedang berpikir dengan raut serius.
“Mel,” panggilnya setelah hening.
“Apa?”
“Gue punya ide.”
“Ide apa?”
“Kenapa lo nggak ajak dia kerjasama aja?”
Keningku berkerut sesaat mendengar perkataan Franky.
“Kerjasama gimana? Dia karyawan gue, ya udah pasti lagi kerjasama dong.”
“Bukan itu maksud gue.” Franky mengubah posisi duduk menjadi tegak.
“Trus?”
“Lo yakin mereka punya banyak kemiripan, ‘kan?”
Aku mengangguk.
“Cewek yang bersama lo tadi pagi, wajahnya ‘kan nggak muncul di media online. Maksud gue diburemin, jadi nggak ada yang tahu wajahnya, termasuk Tante Fani.”
Aku mengangguk lagi dengan pandangan fokus melihat jalan raya.
“Gimana kalau lo tawarin kerjasama dengan cewek tadi?” Franky menarik napas panjang sebelum meneruskan kalimatnya. “Lo nikah aja sama dia. Sekarang ‘kan lagi marak tuh nikah pake perjanjian gitu. Daripada lo diteror terus sama Tante Fani. Ya nggak?”
Kalimat-kalimat yang dilontarkan Franky barusan, membuatku menginjak rem sehingga mobil berhenti mendadak di tengah jalan. Menikah dengan Sasi yang aneh? Hah! Ogah.
Bersambung....
Ogah apa oga, Mel? Eh, Vian :))
SasikiranaDua hari kemudianGagal sudah melihat rekaman CCTV. Pihak klub nggak berikan izin, karena alasan pivasi. Privasi ini hanya berlaku untuk orang miskin sepertiku, bukan orang kaya seperti si Om. Aku yakin banget dia ke sana melihat rekaman waktu itu.Akhirnya kuputuskan untuk melupakan kejadian itu. Toh nggak ada kerugian apa-apa juga. Sampai sekarang nggak seorang pun yang tahu kalau perempuan yang bersama si Om adalah aku. Beritanya sampai heboh tuh di media online. Lega juga wajahku disamarkan, jadinya hanya rambut dan postur badan saja yang terlihat. Itulah yang diketahui dari gosip yang beredar di kantor.“Gila juga ya Pak Melviano. Ngamar sama cewek,” ujar seorang senior saat incoming call
MelvianoPagi ini dibuat pusing dengan omelan dan ancaman Mama. Sekarang beliau tidak main-main. Frustasi sekali dengan pemberitaan tentangku akhir-akhir ini. Jadi merasa bersalah, karena tidak lagi bisa membuatnya bangga dalam kehidupan personal. Aku boleh saja berhasil menjadi seorang pengusaha, namun gagal menjadi seorang anak.Aku menatap lekat wajah yang kini meneteskan air mata. Sungguh, sebenarnya tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku ini bersedih.“Sampai kapan kamu seperti ini, Vian? Lebih baik Mama mati saja daripada mendengar berita negatif tentangmu,” isaknya sambil menepuk dada sendiri.Aku menggenggam kedua tangannya. “Aku minta maaf, karena nggak bisa jadi anak yang baik buat Mama.”“Aku ja
SasikiranaApa dia ngelamar gue? Ini nggak mimpi, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Apa karena gue masih kelihatan cantik dengan dandanan kayak gini, jadinya dia tertarik?Bibir yang tadi ternganga kini kembali tertutup rapat. Kepala sampai miring ke kiri saking kagetnya. Ini nggak salah dengar, ‘kan? Dia memang mau mengajakku nikah, ‘kan? But why?“Bapak … nggak lagi bercanda, ‘kan?” celetukku masih dalam keadaan bingung.Dia terdiam beberapa saat. Raut wajahnya sekarang tampak kacau. Pasti lagi banyak pikiran. Atau tadi itu cuma mengajak bercanda, karena tahu aku takut dipecat.“Maksudnya, saya mau minta tolong sama kamu,” ujar Pak Melviano sema
MelvianoDi luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.“Masuk,” sahutku singkat.“Pak Franky datang, Pak,”
Sasikirana“Bapak kok gitu sih? Perhitungan banget.” Aku mulai kesal karena si Om, malah mengambil kesempatan dengan kejadian ini. “Biaya operasinya 15 juta, Pak. Uang segitu bagi Bapak kecil kok.”Dia mendesah sambil mengusap kening yang ukuran terlihat ideal di parasnya. Aku jadi paham kenapa banyak kaum hawa mengagungkan pria ini, bahkan mau menikah dengannya.“Maaf, Mbak. Bagaimana dengan jaminan biayanya? Pasien sudah harus dioperasi sekarang, karena air ketuban mulai berkurang.” Tiba-tiba bidan datang menghampiri.Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Pak Melviano. Berharap ia mau membantu tanpa pamrih.“Biar saya yang urus administrasinya, Sus,” cetus Pak Melviano membuatku terkejut.Ternyata di balik sikap dinginnya, masih terselip rasa kemanusiaan yang tinggi.“Syukurlah. Mari, Pak. Setelah administrasi selesai, suami pasien bisa menandatangani surat p
MelvianoSetelah menandaskan satu porsi Aburi Oshizushi, aku menyandarkan punggung di kursi. Saat ini kami sedang makan di salah satu restoran masakan Jepang terbaik di Grand Indonesia Mall.Kami? Ya, maksudnya aku dan Sasi.Sekarang dia sedang menyantap Teriyaki Chicken yang dipesannya. Tidak ada percakapan di antara kami semenjak duduk di restoran ini, karena perutku sangat lapar. Energi menjadi habis terkuras ketika berdebat dengannya di rumah sakit.“Udah selesai?” tanyaku ketika melihat piringnya licin.Dia menganggukkan kepala sekali, lalu mengangkat pandangan melihatku.Aku menegakkan tubuh, lalu menumpu siku di atas meja. “Kita bisa diskusikan yang tadi.”“Yang mana ya, Pak?” Aku tahu dia berpura-pura.Jari telunjukku berputar sepuluh centimeter di depan wajahnya. “Kamu jangan pura-pura nggak tahu.”Sasi mengalihkan pandangan ke tempat lain sambil m
SasikiranaAir mata yang dikeluarkan ternyata nggak mempan. Pak Om Melviano tetap kekeh dengan keinginannya. Jujur sih, nggak habis pikir kenapa dia mau menikah denganku padahal penampilan sekarang nggak cantik-cantik banget. Heran.“Tunggu apa lagi? Udah selesai makan, ‘kan?” tanya Pak Om dengan wajah jutek plus dingin.Aku perlahan menganggukkan kepala. Bingung juga dengan diri ini, kenapa nggak bisa garang sama dia? Apa jiwa leadership-nya yang kental, jadinya aku pasrah menuruti keinginannya?Dia mau jadi laki lo, Sas, keluh batinku merana.Aku memukul pelan kepala, sebagai wujud prihatin terh
MelvianoHari ini terasa melelahkan sekali. Coba bayangkan, aku menunggu telepon dari Sasi sejak pagi tapi baru dihubungi menjelang sore. Dia menelepon bukan karena ingin memberikan jawaban, namun meminta pertolongan. Perdebatan pun menghiasi pertemuan kami hari ini, hingga akhirnya ia menuruti kemauanku untuk menikah.Entah apa yang cocok menamai pernikahan kami. Pernikahan dadakan? Pernikahan kontrak? Atau pernikahan tanpa cinta? Aku pun tidak tahu. Yang kutahu hanyalah, membahagiakan Mama. Barangkali dengan menikah lagi, hati beliau akan damai dan tentram.“Mama mana, Bi?” tanyaku kepada Bibi Soraya ketika berada di lantai dasar.“Ada di kamar, Ko. Mau Bibi panggilkan?”Asisten Rumah Tangga, supir dan orang-orang yang be