Share

Rekaman CCTV

Sasikirana

Apa yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaan. Pertama, aku terbangun bersama dengan pria asing. Kedua, pria yang bersamaku semalaman ternyata orang yang memiliki perusahaan tempat diri ini bekerja. Ketiga, dia memanggilku ke ruangan meeting. Awalnya berpikir si Om itu mau memecatku, karena dinilai salah handling pelanggan. Ternyata pikiranku salah, dia hanya menanyakan apakah kami pernah bertemu sebelumnya atau nggak.

Tunggu! Dia nggak mengenaliku, ‘kan? Mustahil si Om-om itu tahu aku wanita yang bersamanya di kamar hotel tadi pagi. Benar, ‘kan?

Sumpah, aku takut banget dipecat. Mau kerja di mana dengan penampilan kayak gini? Ya ampun, hidupku begini amat sih?!

“Ya, gimana, Frank? Udah dapet rekaman CCTV?” Perkataan si Om waktu menerima telepon entah dari siapa kembali melintas di pikiran.

Rekaman CCTV? Ya, hanya itu yang bisa menjawab pertanyaan kenapa aku bisa berada di kamar yang sama dengannya. Fix, selesai bekerja 10 menit lagi, aku harus kembali ke klub malam dan meminta rekaman CCTV.

“Lagi mikir apa sih?” Tiba-tiba seorang Team Leader sudah berdiri di samping kanan kubikel tempatku bekerja.

“Eh, ini Kak. Lagi bengong aja karena call sepi,” sahutku asal.

Dia garuk-garuk kepala yang nyaris botak, karena dipotong pendek pake banget. “Tadi aku dengar kamu dipanggil Pak Melviano. Ngapain?”

Ini adalah pertanyaan yang kesekian diajukan sejak tadi siang. Setelah kembali dari ruang meeting, ada banyak karyawan, Team Leader sampai Operation Manager bertanya kenapa aku dipanggil oleh petinggi paling atas di perusahaan ini? Aku bahkan baru tahu kalau si Om itu ternyata anak konglomerat yang memiliki usaha di berbagai bidang.

“Nggak ada. Cuma diajak ngobrol aja.” Jawaban yang sama tetap kuberikan.

Team Leader pria yang annoying itu tertawa keras. Lewat pukul 17.00 supervisor dan Operation Manager sudah meninggalkan ruangan. Peraturan di sini mulai melonggar, setelah mereka nggak ada.

“Ngajak ngobrol?” Si Kepala Botak kembali tertawa. “Emang kamu siapa pake diajak ngobrol segala sama Bos besar? Apa dia se-gabut itu sampai ngajak kamu ngobrol?”

Sialan, kalau bukan atasan sudah aku getok kepala botaknya. Tilikan mata ini beralih melihat ke sisi kanan tempat Team Leader itu berdiri. Segera dialihkan pandangan sebelum roh yang sedang menatap seram kepada si Botak, sadar kalau aku bisa melihat kehadirannya.

“Udah sih kalau nggak percaya, Kak.” Aku mulai malas mendengar ledekan orang-orang sejak tadi siang.

“Tuh lihat,” ujarnya menunjuk kepada salah satu karyawan yang paling cantik dan modis di sini.

“Kalau Bos mau ngajak ngobrol ya mending sama dia kali daripada sama kamu,” sambungnya terkekeh kemudian berlalu dari hadapanku.

Aku mengembuskan napas keras sambil melempar pandangan kesal padanya.

“Udah nggak usah ditanggapi. Lagian kenapa sih pada kepo banget dari tadi siang? Emang kenapa kalau dipanggil sama Bos? Yang penting kita nggak bikin masalah dan nggak dipecat, ‘kan?” hibur Kak Linda yang sejak tadi duduk di sampingku.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Thanks ya, Kak,” ucapku singkat sebelum logout seluruh akun yang digunakan untuk bekerja.

Seperti rencana tadi, aku harus kembali ke klub malam itu dan melihat rekaman CCTV tadi malam. Sumpah demi apapun, jika seandainya ini adalah ulah roh si Merah, aku nggak akan melepaskannya.

Emang lo bisa panggil dia lagi kalau beneran udah kembali ke alamnya, Sas? tanya batinku yang lain.

Betul juga. Setelah roh-roh itu pergi ke tempat yang seharusnya, maka aku sudah nggak bisa lagi berkomunikasi dengan mereka. Hubungan langsung terputus, kayak sambungan telepon yang kabelnya dipotong. Eh, masih bisa disambungin kalau yang ini. Tahu ah gelap.

Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di basemen parkiran. Aura gelap di sini terasa semakin kuat ketika lewat pukul 19.00. Biasanya para ‘penghuni’ mulai keluar dari sarangnya. Apalagi di lantai 10 tempatku bekerja. Toiletnya saja ada tiga hantu penunggu. Sebisa mungkin aku harus mengabaikan keberadaan mereka.

“Pulang sekarang, Mbak?” sapa penjaga basemen yang sering mengajakku berbicara.

“Iya, Pak. Besok masuk lebih cepat, tukeran sif sama teman,” sahutku sembari menaiki motor.

“Hati-hati pulangnya, udah gelap,” kata Pak Penjaga yang ramah banget. Di usia memasuki pertengahan 50-an, beliau masih kuat bekerja.

“Makasih, Pak. Saya bawa motornya pelan-pelan kok,” tanggapku sembari mengenakan helm.

“Pergi dulu ya, Pak,” pamitku setelah menyalakan motor.

Dalam hitungan detik, motor butut ini bergerak meninggalkan pria paruh baya itu sendirian di sana. Berani juga beliau berjaga malam-malam, padahal sedikitnya ada empat roh gentayangan di basemen parkiran.

Tiba di tikungan yang sedikit menanjak sebelum keluar dari gedung, tampak seseorang berdiri. Aku langsung menekan rem kiri dan kanan serentak. Jantung berdebar bukan main karena nyaris menabrak orang.

“Benar dugaan saya. Kamu pasti bisa melihat kehadiran saya di sini,” desis pria tua yang mengenakan seragam seperti penjaga gedung ini.

Kayaknya aku belum pernah lihat orang ini deh. Pandanganku nggak sengaja beralih ke bagian bawah tubuh pria itu. Shit! Dia bukan manusia, tapi roh. Kenapa aku nggak tahu kalau dia roh? Padahal aku sudah hafal para ‘penunggu’ gedung ini.

“Duh, tadi itu apa ya? Tikus? Bikin kaget aja,” celetukku asal agar bisa mengecoh roh ini.

“Kamu tadi jelas-jelas lihat saya. Kenapa pura-pura?” kejar roh itu lagi.

Tanpa menghiraukan perkataannya, aku langsung menggas motor melintasi roh yang masih berdiri di tempat tadi. Dia memanggil lagi, namun tetap nggak digubris.

“Untung aja nggak ketahuan. Bisa runyam nanti,” gumamku saat motor meninggalkan gedung.

Aku sengaja pura-pura nggak bisa lihat mereka, agar nggak diganggu saat bekerja. Bisa gawat kalau ketahuan. Satu roh minta tolong, terus roh lainnya juga akan melakukan hal yang sama. Mereka akan menggangguku terus menerus dan bisa membuatku dipecat dari perusahaan, seperti sebelum-sebelumnya.

Motor terus melaju membelah kota Metropolitan yang masih ramai meski langit telah gelap dan pekat. Di malam hari, begitu banyak aktivitas yang dilakukan penghuni kota ini termasuk mereka yang nggak terlihat dengan kasat mata. Contohnya jalan yang baru saja dilalui. Ada dua roh yang berdiri di pinggir jalan, entah melakukan apa. Mungkin mereka meninggal karena kecelakaan di tempat tadi.

Rata-rata mereka yang berkeliaran di suatu tempat, biasanya masih terikat dengan tempat tersebut. Bisa jadi di sanalah tempatnya meninggal atau rumah orang-orang yang dikasihi.

Tiba-tiba aku jadi teringat dengan roh wanita yang selalu mengikuti si Om tadi pagi. Tatapannya begitu sendu setiap kali melihat pria itu, tapi berubah menyeramkan saat melihatku.

“Apa itu pacarnya?” bisikku pada diri sendiri.

Sesaat kemudian kedua bahuku terangkat. “Ah, bodoh amat. Mau pacarnya kek, istrinya kek, buat apa gue peduli?”

Tiga puluh menit kemudian, motor berhenti tepat di parkiran klub malam. Aku langsung bergegas menuju pintu masuk. Harus melewati pemeriksaan sekuriti terlebih dahulu, agar bisa masuk ke klub ini.

“Pak, maaf,” ucapku kepada sekuriti yang tidak sedang bertugas memeriksa kartu identitas pengunjung.

Sekuriti itu mengamati dengan kening berkerut. Pasti karena penampilanku yang nggak meyakinkan sebagai pengunjung klub.

“Kenapa?” tanya sekuriti singkat.

“Begini, Pak. Tadi malam saya datang ke sini. Kayaknya dompet saya ketinggalan di meja bar deh,” jawabku mencari alasan agar bisa melihat rekaman CCTV.

“Dompet?”

Aku mengangguk cepat. “Iya dompet, Pak. Tempat nyimpen duit.”

“Bisa lihat rekaman CCTV nggak, Pak?” sambungku kemudian.

Pria bertubuh kekar tersebut menarik napas singkat. “Kalau dompet yang ketinggalan masih bisa tanya petugas, Mbak. Biasanya disimpan kalau emang ada yang nemu.”

“Kalau ada yang curi gimana, Pak? ‘Kan nggak tahu siapa yang ambil.”

“Tadi Ibu tidak bilang dicuri, cuma ketinggalan.”

What? Ibu? Aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu. Ggrrr

“Maksud saya, waktu dompet ketinggalan bisa jadi ada yang ambil terus nggak dikasih ke pegawai klub. Begitu, Pak.” Aku masih mencari jalan agar bisa melihat rekaman CCTV.

“Ya sudah ikut saya ke dalam,” seru sekuriti tersebut melangkah memasuki klub.

Aku berjalan pelan mengiringinya dari belakang. Dia membawaku entah ke mana, mungkin ke ruang CCTV.

Nggak lama kemudian, kami berdua berhenti di depan ruang yang bertuliskan ‘Customer Relation’ di pintu.

“Masuk, Bu,” suruhnya mengerling ke pintu yang kini terbuka.

Aku melangkah memasuki ruangan itu sambil mencari keberadaan monitor yang menampilkan rekaman CCTV. Ternyata, sekuriti nggak membawaku ke ruangan yang diinginkan.

“Ibu ini ketinggalan dompet tadi malam. Ada laporan tidak dari pelayan bar?” Sekuriti kini berbicara dengan petugas yang standby di ruangan ini.

“Dompet? Nggak ada informasi apa-apa mengenai barang tinggal atau hilang,” sahut petugas perempuan dengan make up cukup tebal.

“Ibu yakin dompetnya ketinggalan di sini?” Sekuriti mengalihkan paras kepadaku.

“Yakin banget, Pak. Makanya saya minta lihat rekaman CCTV, Pak.”

Dia mengangguk singkat. Setelah berpamitan kepada petugas yang ada di bagian Customer Relation, si Sekuriti membawaku entah ke mana lagi. Mungkin ke ruang CCTV.

Kami berhenti tepat di depan ruangan … entahlah. Di pintu nggak ada keterangan apa-apa.

“Ibu tunggu di sini dulu, biar saya tanyakan ke dalam,” tutur sekuriti sebelum membuka pintu.

“Ini ruangan monitor CCTV ya, Pak?”

Pria bertubuh kekar itu mengangguk.

“Saya boleh masuk, Pak?”

“Tidak boleh, Bu. Ruangan ini hanya boleh dimasuki petugas,” tegasnya, “sebaiknya Ibu tunggu di sini. Berikan saja detail jam berapa dompet Ibu hilang.”

“Pak, boleh masuk ya?” Aku masih berusaha membujuk sekuriti agar memperbolehkanku masuk ke dalam.

Dia menggeleng tegas. “Ibu mau saya bantu cek ke dalam atau saya suruh pulang?”

Belum sempat merespons perkataan si Sekuriti bertubuh kekar ini, terdengar pintu ruang monitor terbuka. Tiga orang pria dengan setelan jas mewah keluar dari sana.

“Terima kasih atas kerjasamanya, Pak,” ucap suara bas.

“Sama-sama, Pak. Saya tidak bisa menolak permintaan Pak Melviano.”

Kepala ini langsung terangkat ketika mendengar nama yang sudah nggak asing lagi.

“Nanti saya suruh sekretaris mengantarkan bingkisan sebagai ucapan terima kasih kepada tim Bapak.” Kali ini suara serak dan berat yang berbicara.

Aku langsung berjinjit, lalu mendongakkan kepala agar bisa melihat ketiga orang yang berdiri di belakang sekuriti ini dengan jelas.

“Om … eh, Pak,” cicitku ketika pandangan ini bertemu dengan sorot mata sipit dan dingin milik Melviano.

Bersambung....

Eh, ketemu lagi sama Melviano yaa Sasi :))

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status