Sasikirana
Dua hari kemudian
Gagal sudah melihat rekaman CCTV. Pihak klub nggak berikan izin, karena alasan pivasi. Privasi ini hanya berlaku untuk orang miskin sepertiku, bukan orang kaya seperti si Om. Aku yakin banget dia ke sana melihat rekaman waktu itu.
Akhirnya kuputuskan untuk melupakan kejadian itu. Toh nggak ada kerugian apa-apa juga. Sampai sekarang nggak seorang pun yang tahu kalau perempuan yang bersama si Om adalah aku. Beritanya sampai heboh tuh di media online. Lega juga wajahku disamarkan, jadinya hanya rambut dan postur badan saja yang terlihat. Itulah yang diketahui dari gosip yang beredar di kantor.
“Gila juga ya Pak Melviano. Ngamar sama cewek,” ujar seorang senior saat incoming call sepi.
Ketika tidak banyak keluhan pelanggan yang diterima, beberapa karyawan memilih bergosip dengan orang yang ada di sebelahnya. Ada juga yang menggunakan kesempatan untuk tiduran, sehingga terkejut ketika terdengar dering telepon di headphone yang dikenakan.
Lantas bagaimana denganku?
Sejak menginjakkan kaki di gedung ini tadi pagi, aku selalu dikuntit oleh roh Bapak-bapak yang pernah menghalangi jalan ketika pulang dua hari yang lalu. Dia menatapku lekat dengan netra berwarna hitam pekat tanpa warna putih seperti yang dimiliki manusia. Mungkin maksudnya menakut-nakutiku, tapi tetap tidak berhasil membuatku melihat kepadanya.
“Ya paling nggak dia masih normal, Cuy. Lo nggak ingat gosip yang beredar sebelumnya?” Perempuan berkacamata dengan rambut lurus sebahu itu mendekatkan kepala ke rekan yang ada di sampingnya.
“Kabarnya dia itu gay. Bisa jadi itu pembuktian kalau dia masih normal,” bisiknya masih saja terdengar olehku.
“Gue juga nggak percaya sama gosip itu. Mana mungkin cowok setampan Pak Melviano belok. Konyol banget,” tanggap yang lainnya.
Berita yang menggemparkan tiga hari lalu, masih saja dibahas oleh karyawan yang tergila-gila sama Bos pemilik perusahaan ini. Tampan? Hahaha! Jadi kepengin ngakak deh, karena bagiku pria yang nggak pernah tersenyum belum termasuk dalam kategori tampan. Wajah kakunya sangat mengganggu.
“Kak.” Aku mengangkat tangan memanggil RTFM.
“Ya kenapa?”
“Boleh minta short break nggak?” tanyaku mendongakkan kepala. Bosan juga mendengar mereka bergosip tentang si Bos kaku itu.
Salah satu RTFM yang bertugas melihat sebentar ke layar monitor yang ada di depan, lalu menganggukkan kepala.
“Nggak boleh lebih dari 15 menit ya,” ujarnya kemudian.
Aku tersenyum lebar saat diberikan waktu yang lama untuk short break. Biasanya atap gedung menjadi tempat ternyaman bagiku beristirahat di siang hari. Apalagi di sana nggak ada hantu yang bergentayangan. Mereka biasanya malas berpanas-panasan, karena suka dengan tempat dingin dan lembab. Secepat ditinggalkan juga ruangan, agar bisa menghindar dari roh Bapak-bapak ini.
Begitu tiba di puncak tertinggi gedung, aku meregangkan tangan sambil tersenyum lebar merasakan hangatnya mentari yang belum terlalu terik. Pukul 10.00 sinar UV masih bagus untuk kulit.
“Bantu Bapak, Neng. Sekali ini saja. Bapak janji tidak akan bilang siapa-siapa.” Tiba-tiba suara serak nan renta itu terdengar tepat di samping telinga.
“Bapak tahu Neng bisa lihat dan dengar Bapak,” sambungnya lagi.
Aku masih bergeming, pura-pura tidak melihat dan mendengar apa-apa. Berdiri di dekat pagar pembatas sembari melihat kota Jakarta Pusat dari ketinggian, menjadi pilihan tepat untuk merileksasi pikiran. Ditambah lagi puncak Monas terlihat jelas dari sini.
“Anak Bapak sebentar lagi melahirkan, Neng. Dia tidak punya biaya untuk operasi, karena bayinya dililit tali pusar.” Bapak itu kembali berbicara. “Bapak punya polis asuransi yang bisa dicairkan untuk biaya operasi. Tolong katakan sama anak Bapak, berkas-berkasnya ada di dalam kotak berwarna hitam di dalam lemari kamar Bapak.”
Ya Tuhan, ternyata ini yang membuat beliau mengikutiku tiga hari ini. Apa yang harus dilakukan? Aku nggak bisa mengabaikannya kalau begini. Harus menanyakan di mana alamatnya juga. Besok kebetulan libur, jadi bisa samperin anak si Bapak.
Aku memejamkan mata beberapa saat, sebelum mengalihkan pandangan kepadanya. “Alamatnya di mana, Pak?”
Bapak itu tersenyum lebar dengan bibir pucat pasi. Wajahnya sekarang nggak semenyeramkan tadi lagi. Dia mengatakan alamat tempat tinggal putrinya kepadaku. Ternyata ada di daerah Benhil (Bendungan Hilir), nggak jauh dari kosan.
“Aku bantu Bapak, tapi jangan bilang sama yang lain kalau aku bisa lihat roh ya, Pak?” pintaku dengan tatapan memohon.
Tampak genangan air di pelupuk matanya. “Terima kasih sudah bantu ya, Neng. Bapak janji setelah ini akan pergi dan tidak akan katakan sama yang lain kalau Neng bisa lihat kami.”
“Bapak doakan Neng bisa bertemu pria yang baik juga nanti, karena Neng orang yang baik dan penolong,” lanjut Bapak itu sesekali menyeka air mata yang menetes di pipi.
Aku tersenyum lembut melihat Bapak ini. Seketika teringat almarhum Papa yang sudah tenang di alam sana.
“Besok kebetulan aku libur, jadi bisa temui anak Bapak secepatnya. Ngurus yang beginian ‘kan makan waktu yang lama, Pak.”
Bapak itu mengangguk paham. “Makanya Bapak nekat minta tolong sama Neng. Maaf juga sudah ikuti Neng tiga hari ini.”
“Harusnya aku yang minta maaf, karena udah cuekin Bapak. Paling nggak bisa bantu tiga hari yang lalu,” tanggapku merasa bersalah.
“Bapak kerja di sini?”
“Iya. Dua puluh tahun kerja di gedung ini. Baru meninggal dua bulan lalu, karena sakit.”
Keningku berkerut. “Kok nggak pernah ketemu, Pak?”
Beliau menengadahkan kepala melihat langit. “Bapak hampir satu tahun sakit, Neng. Jadi tidak pernah masuk kerja lagi.”
Aku manggut-manggut karena tahu apa yang membuatnya terikat dengan gedung ini. Separuh hidupnya dihabiskan bekerja di sini ternyata.
“Sekarang Bapak masuk lagi.” Aku menunjuk matahari yang mulai menyengat. “Udah mulai panas, Pak.”
Bapak itu kembali tersenyum lembut. Ya ampun, jadi kangen sama Papa. Sudah lama banget nggak pernah lihat Papa berkunjung.
“Sekali lagi makasih banyak ya, Neng. Besok Bapak tunggu di rumah,” pungkasnya sebelum meninggalkan area atap.
Aku hanya menatap sendu saat melihat Bapak itu menghilang dari hadapan. Meski sudah meninggal, tapi beliau masih perhatian kepada anaknya. Kasihan juga.
Setelah berada di atap sepuluh menit, aku memutuskan kembali lagi ke ruangan. Waktu short break sudah hampir habis.
Belum mencapai pintu masuk ruang CCS, seorang Team Leader tergopoh-gopoh menghampiri. “Ke mana aja sih, dicari-cari nggak ada?” cetusnya dengan napas nyaris sesak.
“Tadi ‘kan izin sama RTFM ambil short break, Kak.”
Perempuan bertubuh sedikit gempal itu menarik napas panjang sebelum mengutarakan maksudnya.
“Ke ruangan CEO gih. Tadi OM dapat telepon dari atas, katanya Pak Melviano cariin kamu,” tuturnya setelah napas kembali teratur.
Hah? Ngapain si Om panggil gue lagi? Apa dia beneran mau pecat gue?
“Ngapain, Kak?”
Team Leader menggelengkan kepala sambil mengangkat bahu. “Nggak tahu. Buruan gih, sebelum dia ngamuk. Pak Melviano udah telepon dari tadi. Kata OM, beliau bukan tipe orang yang mau nunggu lama.”
Mampus, tamat sudah riwayatku. Aku menggigit bibir bawah sebelum beranjak pergi.
“Lantai lima belas, Sas,” teriak Team Leader lagi.
“Makasih, Kak,” sahutku meninggikan volume suara.
Jantung langsung berdebar cepat membayangkan apa yang akan disampaikan oleh si Om. Apa dia tahu aku yang bersama dengannya waktu itu? Atau mau pecat diriku? Apalagi waktu itu nggak kasih nomor ponsel juga sama sekretarisnya.
Aarrgghh kenapa jadi runyam begini sih??
Bersambung....
Hayo loh, Sasi. Ngapain dipanggil Bos tuh? :D
MelvianoPagi ini dibuat pusing dengan omelan dan ancaman Mama. Sekarang beliau tidak main-main. Frustasi sekali dengan pemberitaan tentangku akhir-akhir ini. Jadi merasa bersalah, karena tidak lagi bisa membuatnya bangga dalam kehidupan personal. Aku boleh saja berhasil menjadi seorang pengusaha, namun gagal menjadi seorang anak.Aku menatap lekat wajah yang kini meneteskan air mata. Sungguh, sebenarnya tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku ini bersedih.“Sampai kapan kamu seperti ini, Vian? Lebih baik Mama mati saja daripada mendengar berita negatif tentangmu,” isaknya sambil menepuk dada sendiri.Aku menggenggam kedua tangannya. “Aku minta maaf, karena nggak bisa jadi anak yang baik buat Mama.”“Aku ja
SasikiranaApa dia ngelamar gue? Ini nggak mimpi, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Apa karena gue masih kelihatan cantik dengan dandanan kayak gini, jadinya dia tertarik?Bibir yang tadi ternganga kini kembali tertutup rapat. Kepala sampai miring ke kiri saking kagetnya. Ini nggak salah dengar, ‘kan? Dia memang mau mengajakku nikah, ‘kan? But why?“Bapak … nggak lagi bercanda, ‘kan?” celetukku masih dalam keadaan bingung.Dia terdiam beberapa saat. Raut wajahnya sekarang tampak kacau. Pasti lagi banyak pikiran. Atau tadi itu cuma mengajak bercanda, karena tahu aku takut dipecat.“Maksudnya, saya mau minta tolong sama kamu,” ujar Pak Melviano sema
MelvianoDi luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.“Masuk,” sahutku singkat.“Pak Franky datang, Pak,”
Sasikirana“Bapak kok gitu sih? Perhitungan banget.” Aku mulai kesal karena si Om, malah mengambil kesempatan dengan kejadian ini. “Biaya operasinya 15 juta, Pak. Uang segitu bagi Bapak kecil kok.”Dia mendesah sambil mengusap kening yang ukuran terlihat ideal di parasnya. Aku jadi paham kenapa banyak kaum hawa mengagungkan pria ini, bahkan mau menikah dengannya.“Maaf, Mbak. Bagaimana dengan jaminan biayanya? Pasien sudah harus dioperasi sekarang, karena air ketuban mulai berkurang.” Tiba-tiba bidan datang menghampiri.Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Pak Melviano. Berharap ia mau membantu tanpa pamrih.“Biar saya yang urus administrasinya, Sus,” cetus Pak Melviano membuatku terkejut.Ternyata di balik sikap dinginnya, masih terselip rasa kemanusiaan yang tinggi.“Syukurlah. Mari, Pak. Setelah administrasi selesai, suami pasien bisa menandatangani surat p
MelvianoSetelah menandaskan satu porsi Aburi Oshizushi, aku menyandarkan punggung di kursi. Saat ini kami sedang makan di salah satu restoran masakan Jepang terbaik di Grand Indonesia Mall.Kami? Ya, maksudnya aku dan Sasi.Sekarang dia sedang menyantap Teriyaki Chicken yang dipesannya. Tidak ada percakapan di antara kami semenjak duduk di restoran ini, karena perutku sangat lapar. Energi menjadi habis terkuras ketika berdebat dengannya di rumah sakit.“Udah selesai?” tanyaku ketika melihat piringnya licin.Dia menganggukkan kepala sekali, lalu mengangkat pandangan melihatku.Aku menegakkan tubuh, lalu menumpu siku di atas meja. “Kita bisa diskusikan yang tadi.”“Yang mana ya, Pak?” Aku tahu dia berpura-pura.Jari telunjukku berputar sepuluh centimeter di depan wajahnya. “Kamu jangan pura-pura nggak tahu.”Sasi mengalihkan pandangan ke tempat lain sambil m
SasikiranaAir mata yang dikeluarkan ternyata nggak mempan. Pak Om Melviano tetap kekeh dengan keinginannya. Jujur sih, nggak habis pikir kenapa dia mau menikah denganku padahal penampilan sekarang nggak cantik-cantik banget. Heran.“Tunggu apa lagi? Udah selesai makan, ‘kan?” tanya Pak Om dengan wajah jutek plus dingin.Aku perlahan menganggukkan kepala. Bingung juga dengan diri ini, kenapa nggak bisa garang sama dia? Apa jiwa leadership-nya yang kental, jadinya aku pasrah menuruti keinginannya?Dia mau jadi laki lo, Sas, keluh batinku merana.Aku memukul pelan kepala, sebagai wujud prihatin terh
MelvianoHari ini terasa melelahkan sekali. Coba bayangkan, aku menunggu telepon dari Sasi sejak pagi tapi baru dihubungi menjelang sore. Dia menelepon bukan karena ingin memberikan jawaban, namun meminta pertolongan. Perdebatan pun menghiasi pertemuan kami hari ini, hingga akhirnya ia menuruti kemauanku untuk menikah.Entah apa yang cocok menamai pernikahan kami. Pernikahan dadakan? Pernikahan kontrak? Atau pernikahan tanpa cinta? Aku pun tidak tahu. Yang kutahu hanyalah, membahagiakan Mama. Barangkali dengan menikah lagi, hati beliau akan damai dan tentram.“Mama mana, Bi?” tanyaku kepada Bibi Soraya ketika berada di lantai dasar.“Ada di kamar, Ko. Mau Bibi panggilkan?”Asisten Rumah Tangga, supir dan orang-orang yang be
Sasikirana Akhirnya bisa merebahkan tubuh di kasur yang terasa sangat empuk, setelah berjibaku memindahkan barang dari kosan. Untungnya sih nggak banyak, jadi badan nggak sampai remuk. Syukurnya lagi, ada yang bantu angkat-angkat juga jadinya nggak terlalu capek. “Jam berapa sih dijemput?” tanya Anin yang membantuku sejak tadi malam. “Sorean sih, jam 16.00,” jawabku masih menikmati tempat tidur yang luas dan empuk ini. Si Om benar-benar kaya. Apartemen ini saja mewah banget. Kamarnya ada tiga dan berukuran besar. Alat-alat elektronik juga canggih-canggih. Mesin cuci otomatis, kompor pun sama bisa di-setting otomatis, belum lagi yang lainnya. “Gila ya, calon