Sasikirana
Tiga pasang mata sedang menatapku sekarang. Nggak peduli seberapa kuat aku mengabaikan, namun tetap saja mereka masih betah duduk di sana. Sorot mata ketiganya pun beragam; marah, sedih dan harap. Gimana dengan rupa mereka? Jelas beda dong satu sama lain.
“Aku nggak akan pergi sebelum kamu mau kabulkan permintaanku,” ujar salah satu dari mereka. Sosok roh wanita yang kerap memperlihatkan darah di parasnya.
Aku memilih membalikkan tubuh yang terbaring di tempat tidur mengarah ke dinding. Tiba-tiba wajah yang baru saja kulihat tadi muncul di tembok berwarna kuning polos yang menghiasi kamar. Tampak samar, hanya terlihat warna kemerahan yang menghias wajah wanita itu.
Apa kalian tahu dengan siapa aku berinteraksi sekarang? Bersiaplah untuk terkejut jika kukatakan mereka adalah makhluk yang nggak kasat mata. Roh-roh yang masih betah bergentayangan di dunia dan enggan pergi ke tempat yang seharusnya mereka berada.
Ya, aku bisa melihat mereka dengan jelas. Entah apakah harus bersyukur dengan kelebihan ini atau meratapi seumur hidup? Yang jelas, kehidupan berubah 360 derajat semenjak menyadari hal ini.
Aku melihat mereka pertama kali, ketika berusia sepuluh tahun. Coba bayangkan gimana terkejutnya diriku pada saat itu, sampai ngompol saking takutnya. Aku berlari menemui Papa dan mengatakan apa yang dilihat, tapi beliau nggak percaya. Hingga pada akhirnya roh Eyang muncul dan mengatakan aib Papa yang nggak pernah diketahui orang lain. Mau nggak mau Papa akhirnya percaya.
Oh ya. Sejak lahir, aku nggak pernah melihat Mama. Menurut cerita Papa, beliau telah berpulang nggak lama setelah diri ini dilahirkan. Hanya foto yang mampu memberangus rasa penasaran akan sosok Ibu yang melahirkanku.
Meski pada awalnya sempat takut setelah mengetahui kemampuan ini, aku merasa senang karena berharap bisa bertemu dengan roh Mama. Ah, tapi sayang sekali. Hingga umur dua puluh lima tahun, aku nggak pernah bertemu dengan beliau.
Semenjak bisa melihat makhluk tak kasat mata, satu per satu teman-teman ‘nyata’ yang pernah dimiliki pada akhirnya meninggalkanku. Mereka menganggap diri ini aneh. Nggak sedikit juga yang takut. Beberapa anak bahkan mengejekku anak setan. Memangnya aku ini kayak anak di film Pengabdi Setan? Huh!
Ah! Paling gak masih ada seorang sahabat yang selalu ada dan nggak pernah meninggalkanku hingga detik ini. Namanya Anindira. Berbeda dengan anak yang lain, dia justru selalu antusias mendengar ceritaku tentang mereka yang nggak terlihat.
“Sasi. Kumohon,” pinta roh wanita muda yang paling genit di antara ketiganya.
Mata terpejam erat ketika kepala menggeleng tegas. Dua jam sudah dia berusaha membujukku agar mau mengabulkan permintaan yang membuat pusing kepala. Keinginan mereka sungguh aneh.
Semenjak pindah ke kosan ini, banyak roh-roh yang datang meminta bantuan. Mungkin pengaruh dua patung yang ada di depan pintu masuk utama. Awalnya nggak mau juga tinggal di rumah ini, karena baru saja melihat-lihat kamar, aku sudah melihat dua roh duduk di atas ranjang.
“Pinjam tubuhmu sebentar.” Terdengar suara roh pria bergema di ruangan.
Aku membuang napas kesal, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Rasanya wajah ini sudah berkerut karena terganggu dengan suara-suara mereka.
“Emang dengan pasang tampang kayak gitu bisa bikin gue takut?” cicitku menunjuk roh perempuan yang memperlihatkan wujud asli. Separuh wajahnya rusak sehingga memperlihatkan lapisan kulit paling dalam.
Seketika wajahnya kembali seperti semula, utuh tanpa ada luka sedikitpun tapi … pucat. Dia tertunduk lesu sebentar, kemudian melihatku dengan sorot mata memohon. Sementara kedua roh yang lainnya ngacir entah ke mana.
“Tolong bantu wujudkan keinginan terakhirku, setelah ini aku janji akan pergi dari dunia.” Wanita itu masih memohon sambil menyatukan kedua tangan.
Kalian tahu apa yang dimaksudkan olehnya? Ketiga roh tadi meminta izin agar bisa masuk ke dalam tubuhku, agar bisa memenuhi hajat yang belum sempat terpenuhi sebelum meninggal. Inilah salah satu penyebab mereka masih bergentayangan di dunia.
“Beneran janji nggak ganggu aku lagi?” tanyaku memastikan.
Dia menganggukkan kepala. Tampak ketulusan dari sorot mata cokelat gelap miliknya.
Inilah yang paling kubenci dari diri sendiri. Nggak kuat lihat orang yang memohon kayak gini. Orang? Ya nggak hanya orang. Roh juga. Ck!
“Emang mau ngapain?”
“Ehmmm … kangen dugem dan minum cocktail,” jawabnya takut-takut.
Haha! Ini yang aku suka. Ketika orang-orang takut dengan hantu, tapi tidak diriku. Roh atau yang mereka sebut hantu itulah yang takut denganku. Kenapa? Karena mereka merasa membutuhkan bantuanku. Entah hanya sekedar menyampaikan amanah terakhir untuk keluarga atau mewujudkan keinginan mereka.
“Hah? Minum? Dugem?” Mataku rasanya ingin keluar saking melototnya sekarang. “Big no! Nggak mau!”
Seumur-umur nggak pernah menginjakkan kaki ke club malam dan minum alkohol. Lagian di sana banyak orang-orang yang mabuk-mabukan. Kalau kenapa-napa gimana? Trus ada yang coba macam-macam ‘kan serem. Apalagi aku ini juga masih segelan.
“Cuma joged doang, Sas. Please!” Wanita itu kembali memohon.
“Trus cocktail?”
“Nggak harus minum juga, bisa cium aromanya aja. Kalau aku minum langsung tegur. Kamu ‘kan masih tahu aku ngapain.”
Ya, satu lagi kelebihanku adalah masih tahu apa yang terjadi meski sedang dirasuki roh. Oleh karena itulah mereka nggak bisa macam-macam dengan tubuh ini sampai sekarang.
“Oke. Nggak lebih dari dua jam.” Akhirnya aku mengalah. “Besok gue masuk jam 10.00, nggak mau telat.”
Wanita yang aku nggak tahu siapa namanya ini mengangguk cepat dengan wajah berseri.
Aku langsung beranjak menuju lemari kayu berdesain antik yang sudah tersedia di kosan ini. Pemilik kosan memiliki selera yang cukup … ‘unik’ karena memiliki perabotan yang bisa dikatakan sedikit kuno, sehingga menambah kesan horor di rumah ini.
“Mau pake baju yang mana?” Aku melirik pintu lemari yang terbuka.
Dia menunjuk gaun lengan pendek dengan panjang hingga lutut.
“No!!” tegasku menggelengkan kepala.
“Kenapa sih?”
“Nggak mau,” ujarku tanpa mengutarakan alasannya.
Dia mendesah lalu mengarahkan telunjuk ke baju kaus dan celana jeans dengan wajah memberengut.
Akhirnya aku mengganti pakaian dengan yang dipilihkan roh wanita berparas cantik ini. Setelah memastikan penampilan rapi, kaki ini bersiap melangkah menuju pintu kamar.
“Boleh aku masuk sekarang?” pintanya membuat langkah ini berhenti.
“Nanti aja.”
“Sekarang please,” bujuknya.
Lagi-lagi aku menarik napas pendek, kemudian membentangkan kedua tangan. Dalam hitungan detik tubuhku terasa dingin dan sempit. Terasa sesak juga. Kayak lagi duduk di dalam angkot yang lagi banyak penumpang.
“Thanks, Sas,” ucapnya setelah berhasil memasuki tubuh ini.
“Berangkat sekarang.” Kaki terasa berat ketika ingin melangkah.
“Belum dong,” gumamnya dengan bibirku.
“Ngapain lagi sih?”
Aku melihat diriku menyeringai di cermin. Apa-apaan ini?
“Masa pergi dengan penampilan kayak gini?”
Tanganku terangkat ke atas menyentuh rambut dengan ujung jari dengan raut wajah seperti … jijik?
“Nggak ada catokan?” tanya roh yang kini bersemayam di dalam tubuh.
“Nggak.”
Dia melangkah ke kamar mandi dan mengguyur rambut keriting di bawah shower.
“Apa-apaan nih?”
“Udah jangan protes. Sekali-sekali kamu harus tunjukkan wajah aslimu ke semua orang.”
“Nggak mau!” protesku lagi.
“Bawel ah!”
Beberapa menit kemudian roh wanita ini berhasil mengembalikan penampilan fisikku yang sebenarnya. Rambut lurus panjang hingga punggung. Wajah putih mulus tanpa sedikitpun bintik cokelat gelap. Dan … mata cokelat kehijauan yang menjadi daya tarik dariku.
“Kalau udah begini, saatnya berangkat,” tuturnya kemudian bersenandung riang melangkah menuju pintu kamar.
***
Samar terlihat matahari pagi di balik kelopak mata ini. Terasa juga hangatnya menerpa wajahku. Kedua tangan meregang ke atas seiringan dengan senyuman. Inilah yang paling disukai ketika terbangun pagi. Hangat matahari yang begitu menenangkan.
Wait! Ada yang aneh. Kamar kosku nggak pernah terkena sinar mentari secara langsung kayak gini.
Shit! Gue ada di mana sekarang?
Sontak mata terbuka lebar saat menyadari nggak berada di kamar kos. Benar saja, diri ini berada di sebuah kamar yang begitu asing. Sangat luas, mewah dan terlihat seperti … kamar hotel?
“Shit!” umpatku ketika kening terasa pusing. “Roh sialan!”
Aku segera meraba tubuh yang berada di dalam selimut dengan kembali memejamkan mata. Khawatir jika ada yang macam-macam denganku. Embusan napas lega meluncur begitu saja dari sela bibir. Ternyata aku tidur masih mengenakan pakaian lengkap. Nggak ada juga rasa sakit, seperti habis melakukan sesuatu.
“Syukurlah.”
Mungkin tadi malam ngantuk banget, sehingga wanita itu membawaku ke hotel terdekat untuk tidur, karena harus segera pergi seperti janji yang telah diucapkan. Tapi berani-beraninya dia menyewa kamar semewah ini, bisa habis gaji satu bulan. Huh!
Perlahan kasur terasa bergerak ketika suasana hati kembali tenang. Kening langsung berkerut memikirkan kemungkinan penyebab kasur ini bergerak. Apa roh wanita tadi malam masih ada di sini dan belum pergi? Atau ada roh lain yang datang?
Dalam hitungan detik, sebuah tangan naik ke tubuh tepat di depan dada. Ini tangan manusia ….
“AARRGGHH!!!” Pekikan keras keluar dari bibirku menyadari sedang bersama seseorang di sini.
Aku langsung mengalihkan pandangan ke kiri. Tampak sesosok pria yang baru saja terbangun setelah mendengar teriakanku. Di sela panik yang melanda, aku masih bisa lega karena dia tidur mengenakan setelan jas lengkap.
“Siapa lo? Ngapain lo di sini?” tanyaku panik dengan napas terasa sesak.
Mata sipit itu semakin menyipit ketika keningnya berkerut. Dia mengusap pelipis sebentar, sebelum mengajukan pertanyaan juga.
“Kamu siapa? Kita sekarang ada di mana?” Pria berparas oriental itu langsung menjauh dariku.
Tatapannya menyiratkan rasa jijik. Kurang ajar! Emangnya aku sampah apa?
Aku mendengkus kesal. “Harusnya aku yang tanya sama kamu. Kenapa aku bisa ada di sini?”
Dia langsung berdiri, namun kembali lagi ke posisi duduk saat kepala terasa pusing. Pria itu nggak menjawab pertanyaanku, malah duduk tafakur di sisi tempat tidur.
Aku juga nggak bisa berdiri karena kepala pusing banget. Sialan! Roh itu ke mana? Apa sudah pergi? Ada yang bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?
Saat kepala terangkat ketika aku melihat seorang perempuan berparas cantik berdiri tepat di depan pria itu dengan tatapan sendu. Dia mengenakan gaun berwarna putih dengan rambut terikat sebagian. Wajahnya tampak begitu pucat.
“Kamu pasti menjebakku,” gumam pria itu tapi masih terdengar di telingaku.
“Hah? Menjebak?” decitku kesal. “Jangan asal tuduh ya, Om. Aku juga nggak tahu kenapa bisa ada di sini. Enak aja!”
Panggilan itu cocok dialamatkan kepadanya, karena berusia jauh di atasku.
“Om?” Dia menoleh kepadaku dengan mata sedikit melebar.
“Iya, Om-om. Emang situ udah kayak Om-om kok,” tantangku garang.
Kedua giginya beradu sehingga rahang itu tampak mengeras, menambah kesan … maskulin di parasnya. Ya, harus diakui dia memang tampan.
“Kamu ….” geramnya tertahan.
“Kenapa? Mau marah? Silakan.”
“Sama hantu aja gue nggak takut, apalagi sama manusia kayak kamu,” gerutuku nyaris berbisik.
“Kamu bilang apa?”
Pandanganku beralih kepada roh yang masih berdiri di depan si Om gila ini. Perempuan itu menatapku sinis sekarang.
“Ada yang cemburu tuh,” celetukku mengerling kepada roh tersebut.
Tilikan mata pria itu mengitari ruangan. Dia pasti nggak tahu kalau ada yang sedang buntutin dirinya sekarang.
“Dasar perempuan sinting,” katanya dengan wajah datar. “Keluar sana!”
Dia mengibaskan tangan mengusirku.
“Sinting?! Situ yang sinting. Ada yang buntutin aja nggak tahu.” Aku benar-benar nggak terima dikatakan gila oleh orang yang baru dikenal. Enak saja.
“Keluar sekarang sebelum ada yang datang!” usirnya lagi.
“Kalau nggak pusing, aku udah keluar dari tadi. Sabar dikit kenapa sih, Om?” balasku sengit dengan bibir sudah pasti berkerut sekarang.
“Keluar sendiri atau aku yang seret kamu ke luar?” paksanya berusaha berdiri meski tubuh huyung lagi ke kanan.
“Bisa tunggu sebentar nggak? Aku juga nggak mau lama-lama di kamar ini sama Om-om nggak berperasaan kayak kamu!”
“Keluar sekarang juga!” sergahnya lantang. Dia mengarahkan telunjuk kepadaku. “Kamu mau jadi sarapan berita media?”
Media?
“Emangnya Om selebriti apa? Kok nggak pernah lihat?”
Astaga Sasi! Harusnya bukan itu yang ditanyakan. Dasar bego.
“Saya—”
Perkataan si Om gila terpaksa berhenti saat pintu kamar terbuka. Dalam sekejap kilatan cahaya lampu kamera berpendar di kamar hotel mewah ini.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, sehingga pintu yang seharusnya terkunci bisa dibuka oleh orang-orang yang membawa banyak kamera. Tilikan mata ini beralih kepada pria yang mungkin bersama denganku semalaman. Dia membuang napas singkat dengan tatapan mengintimidasi seakan ingin menelan diri ini hidup-hidup.
Satu-satunya yang bisa dilakukan sekarang adalah berdiri dengan sekuat tenaga, meski kepala masih pusing. Setelah itu menerobos kerumunan awak media yang masih sibuk mengambil gambar kami berdua.
Aku bersumpah nggak mau lagi bertemu dengan si Om gila ini. Apapun yang terjadi!!
Bersambung....
Hai, salam kenal untuk reader Good Novel. Ini adalah novel pertamaku di aplikasi ini. Semoga suka ya ^^
MelvianoDua jam sudah aku berusaha mengingat kejadian tadi malam. Kenapa bisa berada di kamar hotel bersama dengan wanita tadi? Aku hanya pergi ke klub dengan Franky dan tidak minum alkohol dengan persentase tinggi, hanya lima persen. Bagaimana bisa tiba-tiba terbangun di sana?Oke, sekarang runut dulu kejadian dari awal. Begitu pulang dari kantor, aku ke klub bersama dengan Franky. Tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan yang kami sewa, selain diriku dan sahabat yang sudah dikenal sejak SMA. Aku memesan bir dengan kadar alkohol tidak lebih dari lima persen. Setelah itu … kami berdua beranjak ke diskotik dan berdiri di sana beberapa saat.Sial! Aku baru ingat sesuatu. Setelah berada di dance floor, kami kembali lagi ke ruangan yang disewa. Franky
SasikiranaSebelum semua jadi runyam, aku langsung meninggalkan kamar hotel itu tanpa berkata apa-apa lagi sama si Om-om. Biarin aja dia pusing menghadapi wartawan. Eh, kenapa jadi ada wartawan di sana? Memangnya si Om itu artis? Kok nggak pernah lihat? Ah, bodoh amat.Ya ampun! Itu wartawan sempat ambil foto gue, batinku panik.Sesaat keresahan yang sempat hinggap sirna begitu saja, ketika melihat pantulan diri di cermin lemari berukuran besar. Aku menatap diri sendiri yang tampak begitu berbeda dari penampilan sehari-hari. Tawa kecil keluar begitu saja dari sela bibir. Nggak akan ada yang bisa mengenaliku dengan penampilan seperti ini.Roh sialan itu berhasil mengembalikan penampilanku ke wujud asli. Rambut lurus panjang, kulit wajah mulus, ma
Melviano“Selamat datang, Pak Melviano,” sambut Operation Manager bagian contact center service.Hanya anggukan kepala yang diberikan kepada pria berkepala botak tersebut. Pandangan mata mengitari ruangan yang luas, karena ada ratusan karyawan bekerja di sini. Mereka semua tampak duduk di kubikel dengan serius.Divisi ini yang memiliki peranan penting bagi perusahaan start up yang baru kubangun. Karyawan di bagian CCS menjadi tameng perusahaan dalam menghadapi pelanggan. Mereka juga yang menjadi pelampiasan kekesalan para pengguna jasa aplikasi, jika mendapatkan kendala.Jika ditanya divisi mana yang masuk daftar seleksi paling ketat, CCS-lah jawabannya. Tidak hanya kemampuan dalam menyerap mate
SasikiranaApa yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaan. Pertama, aku terbangun bersama dengan pria asing. Kedua, pria yang bersamaku semalaman ternyata orang yang memiliki perusahaan tempat diri ini bekerja. Ketiga, dia memanggilku ke ruangan meeting. Awalnya berpikir si Om itu mau memecatku, karena dinilai salah handling pelanggan. Ternyata pikiranku salah, dia hanya menanyakan apakah kami pernah bertemu sebelumnya atau nggak.Tunggu! Dia nggak mengenaliku, ‘kan? Mustahil si Om-om itu tahu aku wanita yang bersamanya di kamar hotel tadi pagi. Benar, ‘kan?Sumpah, aku takut banget dipecat. Mau kerja di mana dengan penampilan kayak gini? Ya ampun, hidu
MelvianoSeperti janji tadi siang, malam ini aku dan Franky bertemu di klub malam untuk melihat rekaman CCTV sebelum kesadaranku hilang. Aku yakin sekali ketika meninggalkan gedung klub, kondisiku sudah tidak sadar.Sayang sekali masing-masing private room di klub ini tidak dipasang kamera pengawas. Alhasil kami hanya bisa melihat rekaman yang ada di lorong menuju ruangan yang telah disewa tadi malam.“Tuh lihat, Mel,” cetus Franky saat melihat rekaman saat aku keluar bersama dengan seorang perempuan.Dalam video tersebut, aku berjalan terhuyung ke kanan dan kiri. Sementara perempuan itu yang menopang tubuh ini. Dari pakaian dan postur tubuhnya, dia bukanlah wanita yang bersama denganku tadi pag
SasikiranaDua hari kemudianGagal sudah melihat rekaman CCTV. Pihak klub nggak berikan izin, karena alasan pivasi. Privasi ini hanya berlaku untuk orang miskin sepertiku, bukan orang kaya seperti si Om. Aku yakin banget dia ke sana melihat rekaman waktu itu.Akhirnya kuputuskan untuk melupakan kejadian itu. Toh nggak ada kerugian apa-apa juga. Sampai sekarang nggak seorang pun yang tahu kalau perempuan yang bersama si Om adalah aku. Beritanya sampai heboh tuh di media online. Lega juga wajahku disamarkan, jadinya hanya rambut dan postur badan saja yang terlihat. Itulah yang diketahui dari gosip yang beredar di kantor.“Gila juga ya Pak Melviano. Ngamar sama cewek,” ujar seorang senior saat incoming call
MelvianoPagi ini dibuat pusing dengan omelan dan ancaman Mama. Sekarang beliau tidak main-main. Frustasi sekali dengan pemberitaan tentangku akhir-akhir ini. Jadi merasa bersalah, karena tidak lagi bisa membuatnya bangga dalam kehidupan personal. Aku boleh saja berhasil menjadi seorang pengusaha, namun gagal menjadi seorang anak.Aku menatap lekat wajah yang kini meneteskan air mata. Sungguh, sebenarnya tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku ini bersedih.“Sampai kapan kamu seperti ini, Vian? Lebih baik Mama mati saja daripada mendengar berita negatif tentangmu,” isaknya sambil menepuk dada sendiri.Aku menggenggam kedua tangannya. “Aku minta maaf, karena nggak bisa jadi anak yang baik buat Mama.”“Aku ja
SasikiranaApa dia ngelamar gue? Ini nggak mimpi, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Apa karena gue masih kelihatan cantik dengan dandanan kayak gini, jadinya dia tertarik?Bibir yang tadi ternganga kini kembali tertutup rapat. Kepala sampai miring ke kiri saking kagetnya. Ini nggak salah dengar, ‘kan? Dia memang mau mengajakku nikah, ‘kan? But why?“Bapak … nggak lagi bercanda, ‘kan?” celetukku masih dalam keadaan bingung.Dia terdiam beberapa saat. Raut wajahnya sekarang tampak kacau. Pasti lagi banyak pikiran. Atau tadi itu cuma mengajak bercanda, karena tahu aku takut dipecat.“Maksudnya, saya mau minta tolong sama kamu,” ujar Pak Melviano sema