Melviano
Dua jam sudah aku berusaha mengingat kejadian tadi malam. Kenapa bisa berada di kamar hotel bersama dengan wanita tadi? Aku hanya pergi ke klub dengan Franky dan tidak minum alkohol dengan persentase tinggi, hanya lima persen. Bagaimana bisa tiba-tiba terbangun di sana?
Oke, sekarang runut dulu kejadian dari awal. Begitu pulang dari kantor, aku ke klub bersama dengan Franky. Tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan yang kami sewa, selain diriku dan sahabat yang sudah dikenal sejak SMA. Aku memesan bir dengan kadar alkohol tidak lebih dari lima persen. Setelah itu … kami berdua beranjak ke diskotik dan berdiri di sana beberapa saat.
Sial! Aku baru ingat sesuatu. Setelah berada di dance floor, kami kembali lagi ke ruangan yang disewa. Franky sempat ke toilet sebelum ke ruangan tersebut. Sementara aku kembali terlebih dahulu dan … menghabiskan minuman yang sempat ditinggalkan di sana. Ingatanku hanya sampai itu. Segera kuraih ponsel dari saku. Kata-kata umpatan keluar dari bibir saat melihat benda tersebut mati.
“Bisa cepat, Pak?” pintaku kepada supir taksi yang sejak tadi membawaku keliling kota Jakarta.
“Sekarang mau ke mana, Pak?” Dia malah balik bertanya.
“Pondok Indah,” sahutku kemudian memberikan alamat lengkap kepadanya.
Aku harus menanyakan ini kepada Franky. Dia pasti tahu apa yang terjadi setelah kembali dari toilet.
Lima belas menit kemudian taksi memasuki pekarangan rumah keluargaku. Setelah berhenti sempurna, aku langsung bergerak memasuki pagar.
“Bapak dari mana saja?” tanya Vidya, sekretaris yang sudah bekerja denganku selama sepuluh tahun.
Tampak raut khawatir di wajah yang dilapisi make up. Bibir tipis yang mengenakan lipstik merah itu mengerucut.
“Sorry, ada something tadi malam, jadi saya nggak pulang,” jawabku sekenanya.
Dia berdiri mematung di dekat pintu masuk sambil memegang erat tablet pipih yang ada di pangkuannya.
“Nggak masuk?” tawarku melihatnya masih bergeming.
Kepalanya menggeleng. “Bu Fani menunggu Bapak di ruang keluarga.”
Aku mengangguk singkat sebelum meninggalkan Vidya di tempat tadi. Kaki ini kembali melangkah menuju ruang keluarga menemui Mama. Beliau pasti akan mengajukan pertanyaan yang sama dengan Vidya tadi.
“Apa-apaan ini, Vian?”
Begitu tiba di ruang keluarga, langsung disambut dengan tatapan tidak bersahabat dari Mama. Beliau menyerahkan tablet pipih di atas meja. Keningku berkerut memprediksi apa yang ditampilkan pada layar gadget tersebut. Apakah berita tadi pagi sudah dirilis?
Dengan malas kuraih tablet yang tergeletak di atas meja ruang keluarga. Aku malah tertawa kecil saat membaca berita yang diberi judul “Pewaris Stanley’s Group Terciduk Bersama dengan Perempuan di Kamar Hotel”. Pandangan beralih kepada foto yang terpampang di sana. Wajah wanita yang bersamaku tadi disamarkan, sementara wajahku terlihat jelas. Sial!
Ini bukan pertama kalinya aku masuk berita gosip dan sejenisnya. Beberapa waktu lalu, sebuah berita yang mampu membuat urat leher Mama menegang, juga dirilis di berbagai media online. Alhasil Mama mengomeliku berjam-jam.
“Ini bukan pertama kalinya, Vian. Jangan bikin Mama pusing!” Mata Mama masih menegang saat melihatku.
“Ngapain Mama pusing? Harusnya lega, karena berita itu bisa menepis spekulasi nggak benar sebelumnya,” tanggapku santai tanpa beban.
Terdengar embusan napas kesal dari hidung Mama. Tak lama beliau menarik napas panjang, pasti ingin memberikanku wejangan seperti yang sudah-sudah.
“Sebelumnya kamu dibilang suka sejenis, sekarang suka main perempuan. Besok-besok berita apa lagi yang akan Mama baca?”
“Udahlah, Ma. Yang penting aku nggak kayak apa yang diberitakan mereka.”
“Tidak seperti yang diberitakan? Kamu tidak lihat fotonya? Kalian berdua di kamar hotel, Vian!” Mama mulai naik darah.
“Nggak terjadi apa-apa antara aku dengan wanita sinting itu, Ma. Mama nggak lihat kami berdua masih berpakaian lengkap?” sanggahku.
Mama bersandar di punggung sofa sambil mengurut kepala. “Makanya cepat menikah lagi, biar Mama tidak baca lagi berita aneh-aneh tentang kamu. Jangan sampai nanti ada wanita yang mengaku punya anak dari kamu, Vian.”
“Aku nggak mau, Ma.”
“Sampai kapan kamu menduda? Sudah waktunya cari pengganti Kalila.” Mama kembali membuang napas keras. “Lima tahun sudah cukup bagi kamu larut dengan kepergian Kalila.”
Bibir ini terbuka saat ingin menanggapi perkataan yang entah berapa kali kudengar dari Mama. Dua detik kemudian, kembali terkatup rapat.
“Aku mau mandi dulu, Ma. Udah lengket nih badan pake baju kemarin.”
“Tunggu dulu, Mama belum selesai bicara.” Mama melihatku dengan tatapan memohon.
“Ma, please! Jawabanku masih sama,” pungkasku sebelum meninggalkan Mama sendirian di ruang keluarga.
Saat ini yang dibutuhkan adalah guyuran air dingin agar membuat kepala yang sejak tadi terasa mendidih, sehingga menjadi dingin kembali. Jujur, aku sangat terganggu dengan kejadian tadi. Bagaimana bisa seorang wanita sinting berada dalam satu kamar denganku?
Hal pertama dilakukan begitu tiba di kamar adalah mengisi daya ponsel yang sudah mati total. Sembari menunggu baterai terisi, aku bisa mandi terlebih dahulu.
Setelah mengambil pakaian ganti, pandanganku beralih kepada foto pernikahan yang diambil pada hari paling bahagia dalam hidupku.
“Aku rindu sama kamu, Kal,” gumamku kembali merasakan nyeri di sudut hati.
Kalila, wanita yang kunikahi enam tahun lalu, meninggal karena kecelakaan saat kami mengadakan janji makan malam. Seharusnya waktu itu, aku tidak membiarkannya mengemudi sendirian. Andai saja tahu apa yang akan terjadi kepadanya, pasti kutolak keinginannya pergi seorang diri tanpa ditemani supir.
Sejak kepergian Kalila, aku menutup diri dari wanita. Tidak seorang pun kaum hawa dibiarkan mendekatiku, kecuali Mama dan Vidya. Sampai di sini kalian bisa menebak kenapa media yang sok tahu itu memberitakan rumor bahwa aku pecinta sejenis, bukan?
Aku segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Tak lama kemudian dinginnya air terasa menyapa tubuh. Begitu segar, mampu menenangkan pikiran yang kalut. Sejak tadi aku memikirkan wanita sinting bersamaku dua jam lalu. Bisa-bisanya dia pergi begitu saja ketika ada banyak wartawan di dekat pintu kamar hotel.
Tunggu! Kenapa wartawan ada di sana? Bagaimana mereka bisa masuk? Apa wanita itu dibayar orang lain untuk menjebakku?
Aarrgghh!! Aku harus menelepon Franky sekarang.
Begitu selesai membersihkan tubuh, aku segera meraih handuk dan menyeka tubuh. Setelah itu melingkarkannya di pinggang. Segera diraih ponsel yang sedang diisi daya, lalu dinyalakan. Dalam hitungan detik, layarnya mulai menampilkan wallpaper foto Kalila.
Nada dering pesan masuk terdengar bertubi-tubi, namun tak mampu membuatku membuka aplikasi w******p. Yang ingin dilakukan saat ini hanyalah menghubungi Franky.
“Halo, Mel. Ke mana aja lo? Dari tadi malam gue hubungi nggak bisa-bisa.” Suara panik Franky langsung mengudara di speaker ponsel.
Setiap kali mendengar Franky memanggilku ‘Mel’, selalu membuatku ingin melayangkan protes. Sejak SMA, dia kerap memanggilku ‘Mel’ bukan Vian seperti orang lain. Sialan!
“Tadi malam gue kenapa, Frank? Lo ngerjain gue?” Aku malah balik bertanya dengan nada menuduh.
“Sembarangan! Justru gue kaget tadi malam lo tiba-tiba nggak ada di dalam room. Dicari ke mana-mana juga nggak ada. Ditelepon juga nggak diangkat, sampai gue baca artikel berita online barusan,” cecar Franky.
“Ternyata lagi sharing room sama cewek. Mana cantik lagi,” sambungnya cekikikan setelah mengatakan dua kalimat ini.
Aku mengusap kening dengan keras saat mendengar Franky. Ternyata dia juga tidak tahu ke mana aku pergi.
“Gue nggak ngapa-ngapain sama wanita sinting itu, Frank. Gue juga nggak tahu kenapa orang itu ada di sana. Begitu bangun tiba-tiba dia udah teriak kayak orang gila. Mana sampai bilang kalau ada perempuan yang nguntit ke mana gue pergi.”
Franky kembali terbahak di seberang sana. Wajahnya pasti memerah seperti badut sekarang.
“Makanya cepetan nikah daripada jajan sembarangan. Nggak tahan juga lo menduda, ‘kan? Ngeyel sih dibilangin.”
“Gue lagi nggak bercanda, Frank!” tegasku mulai kesal, “lo bener-bener nggak tahu apa yang terjadi tadi malam?”
Tawa Franky mereda sekarang. “Serius lo nggak ngamar sama tuh cewek, Mel?”
“Gue berani sumpah, Frank.”
“Tapi itu cewek cantik loh. Walau fotonya disamarkan, tapi aura cantiknya masih terlihat,” kata Franky setengah bercanda.
“Frank?” tegurku.
“Serius, Mel. Gue nggak tahu. Begitu balik dari toilet, lo udah nggak ada. Gue pikir pulang, makanya langsung ditelepon. Eh, nggak ada jawaban.”
Aku mengembuskan napas singkat, karena Franky benar-benar tidak mengetahui kejadian tadi malam. Lebih dua puluh tahun menjalin persahabatan dengannya, membuatku tahu persis kapan dia bercanda dan berbohong.
“Ya udah. Thanks ya. Gue harus cari tahu kejadian tadi malam dulu.”
“Gue bantu hubungi manajemen klub minta rekaman CCTV ya,” kata Franky menawarkan bantuan.
“Oke. Nanti kabari langsung kalau udah dapat.”
“Siiip.”
Tak lama panggilan terputus. Aku langsung melempar ponsel ke atas kasur, kemudian mengambil pakaian lengkap untuk bekerja. Baju kaus berwarna hitam dipadu dengan setelan jas silver menjadi pilihan yang tepat di saat suasana hati seperti ini. Selesai mengenakan pomade di bagian atas rambut, aku meraih tas kerja.
Sebelum kaki melangkah ke luar kamar, sepasang mata cokelat kehijauan lebar milik wanita sinting tadi kembali melintas di pikiran. Aku menggelengkan kepala berusaha menghalau penggalan ingatan tentang perempuan itu.
Ketika pintu kamar terbuka, Vidya berdiri di dekat pintu. Dia terdiam beberapa saat, kembali mematung seperti di depan rumah tadi. Tidak biasanya sekretarisku seperti ini.
“Ada yang aneh dengan saya?” tanyaku membuatnya terkesiap. Mata hitam tajam milik Vidya berkedip pelan, sebelum senyum samar tergambar di paras yang selalu serius.
Dia menggelengkan kepala, kemudian berkata, “Bapak mau berangkat ke kantor sekarang?”
“Tentu, Vidya. Saya ada jadwal kunjungan ke Liburan.com hari ini, ‘kan?” Aku mengerling sekilas, kemudian melangkah menuruni anak tangga menuju lantai dasar.
Liburan.com adalah perusahaan rintisan yang baru saja kubangun dengan uang sendiri, tanpa embel-embel Stanley Group di belakangnya. Perusahaan ini bergerak di bidang traveling, menyediakan tiket online, hotel, sewa kendaraan hingga paket liburan.
“Iya, Pak. Selain itu ada meeting juga dengan direktur maskapai setelah makan siang.”
Aku melirik jam tangan, waktu telah menunjukkan pukul 10.00. “Masih ada waktu dua jam berkunjung ke Liburan.com sebelum meeting dengan direktur maskapai.”
“Mau ke mana kamu, Vian?” Suara Mama membuat langkahku berhenti saat akan mencapai pintu keluar rumah.
“Kerja, Ma.”
“Hari ini kamu di rumah dulu! Di luar masih heboh dengan kejadian tadi pagi,” desah Mama melangkah ke dekatku, “barusan Mama baca berita online lagi. Beritanya sudah ke mana-mana, Vian. Malahan ada tiga orang wanita yang mengaku pernah berkencan dengan kamu.”
Mama kembali menyodorkan tablet pipih kepadaku, kali ini dengan raut wajah yang lelah.
Keningku berkerut bingung membaca artikel ngawur yang dituliskan media online terkenal di Indonesia.
“Ini semua bohong, Ma! Aku nggak pernah kencan dengan wanita mana pun setelah Kalila meninggal,” sanggahku keberatan.
“Siapa yang akan percaya? Orang-orang sekarang ini lebih percaya dengan berita yang beredar daripada kebenarannya, Vian.” Wajah Mama benar-benar begitu lelah, apalagi pancaran mata sipit yang mulai dikelilingi keriput.
“Trus aku harus gimana? Bayar mereka agar tutup mulut?” Aku tertawa singkat. “Itu yang mereka inginkan, Ma. Mereka hanya ingin memeras kita dan aku nggak akan pernah mengeluarkan uang untuk hal seperti ini.”
“Menikah adalah satu-satu solusi agar kamu tidak lagi diberitakan seperti ini.” Mama menarik napas pelan sebelum melanjutkan perkataannya. “Cepat cari wanita yang bersama denganmu tadi pagi dan menikahlah dengannya.”
Mata yang tidak terlalu besar ini melebar mendengarkan perkataan Mama. “Mama jangan konyol deh. Aku harus menikah dengan wanita sinting itu?”
Permintaan Mama satu ini sungguh membuatku meradang. Bagaimana bisa beliau meminta anaknya menikah dengan wanita asing yang tidak tahu asal usulnya? Apalagi wanita tadi itu gila.
Bersambung....
Gimana ceritanya? Seru nggak?
MelvianoSatu bulan kemudianRentetan kejadian bulan lalu membuatku tidak bisa bernapas lega. Bayangkan apa yang dihadapi tidaklah mudah. Mulai dari kenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus, Tante Diana yang ternyata ibu kandung Sasi, hingga Kalila yang disuruh oleh Om Reino menjadi mata-mata. Belum lagi kematian Papa yang tidak wajar. Mungkin karena itulah roh beliau masih berada di rumah ini.“Kayaknya kita masih punya PR deh, Sayang,” kataku kepada Sasi ketika kami bersiap untuk tidur.“Apa, Bang?” Sasi membuka mata yang sempat terpejam sebentar.“Bantu Papa pergi ke tempat yang seharusnya.”Sasi tampak semringah, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Be
Sasikirana “Aku membesarkanmu agar bisa bermanfaat suatu hari nanti, Kalila.” Terdengar suara serak seorang pria. Siapa itu? Pandanganku beralih melihat dua orang yang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana aku sekarang berada? Rumah ini begitu asing bagiku. Mata menyipit ketika ingin fokus melihat pria dan wanita yang sedang berbicara di ruangan itu. Kalau nggak salah dengar tadi, pria tersebut menyebut nama Kalila. Seketika diri ini terkesiap saat melihat almarhumah istri suamiku duduk berhadapan dengan pria paruh baya, tapi masih tampak gagah. “Maaf, Pa. Kalila nggak bisa lagi meneruskan rencana Papa. Apalagi sekarang sedang hamil,” lirih Kalila dengan kepala tertunduk melihat perut sendiri. “Sudah berapa kali kuperingatkan. Janga
Melviano Tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengan Kalila meski melalui perantara Sasi. Mendengar bagaimana cara bicaranya saat ini, sudah jelas almarhumah istriku yang berbicara sekarang. Terutama dari cara Sasi memanggilku ‘Vi’. Rasa rindu terhadap Kalila menjadi terobati meski tidak bisa melihat wajahnya. “Vidya … vidya.” Kalila yang berada di dalam tubuh Sasi berdecak berkali-kali. “Gue heran kenapa sih harus pendam cinta sekian lama, tanpa mengutarakannya?” “Bayangin lo jatuh cinta sama suami gue selama belasan tahun, tapi nggak berani mengatakannya.” Kalila menggigit bibir bawah Sasi. Dia sering begini semasa hidup, menggigit bibir sendiri sebelum meneruskan perkataan. Apa? Vidya sudah lama jatuh cinta denganku? Bahkan dua belas tahun memendamnya dalam hati?
Sasikirana“Sasi gawat!!” Terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga beberapa hari belakangan. Siapa lagi jika bukan roh Kalila.Dia datang tiba-tiba ketika aku mempersiapkan diri untuk menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Sesuai dengan perkataan Bang Vian, aku disuruh ikut pelatihan manajemen sebelum diberikan jabatan strategis di Liburan.com.“Kenapa sih Mbak? Ngagetin aja,” protesku mengelus dada. Beruntung instruktur sedang keluar sebentar, sehingga bisa berbicara dengan Kalila.Paras Kalila tampak begitu panik. Dadanya naik turun bukan karena bernapas (roh nggak ada yang napas hahaha), tapi seperti menahan marah.“Vidya coba godain Vian. Buruan naik ke lantai lima belas,” suruhnya nggak ten
MelvianoFakta demi fakta tentang Kalila yang belum diketahui membuatku terkejut bukan main. Tak hanya itu, rasa bersalah muncul seketika di dalam hati, menyadari diri ini lengah sampai tidak mengetahui dirinya sedang hamil sebelum kecelakaan terjadi.Belum hilang syok yang dirasakan saat mendengar Kalila hamil, sekarang ada hal lain lagi yang tak kalah mengejutkan. Menurut cerita Sasi, almarhumah istriku itu meninggal secara tidak wajar. Bukan karena kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya, melainkan dibunuh.“Detailnya, Abang bisa tanyakan langsung sama Mbak Kalila nanti. Nanti Abang nggak percaya dengan apa yang saya katakan,” ujar Sasi tadi malam.Sasi menolak untuk menceritakan penyebab pecahnya hubungan persahabatan Kalila dan Vidya. Dia khawatir jika aku tidak percaya de
SasikiranaPagi ini aku dibikin kaget dengan dua fakta. Pertama, Bang Vian yang masih berada di luar flat sejak kemarin siang. Kedua, pernyataan cintanya.Dia mencintaiku? Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Jika pun benar, semoga nggak pernah terbangun lagi dari tidur ini.Nggak hanya itu, Bang Vian sampai mengemis agar aku nggak meninggalkannya. Sumpah demi apa, seorang Melviano mengiba dan memohon kepadaku? Sampai mengatakan rela kehilangan harta kekayaan, asal aku tetap bersama dengannya. Seberharga itukah diriku?Setelah melihat kesungguhan suamiku, akhirnya hati ini luluh juga. Kalian tahu kalau aku lemah jika ada yang memelas, ‘kan?Bang Vian melangkah