Nirmala melajukan motornya menembus keramaian jalan, jalan yang sudah dia lewati ribuan kali. Toko Ekonomi toko yang menjual bahan untuk membuat kue menjadi tujuannya.
Harganya yang agak miring membuat toko ini tak pernah sepi pengunjung. Nirmala bahkan sudah kenal baik dengan pemiliknya, seorang wanita paruh baya keturunan tionghoa, Cik Mei biasa dia dipanggil, hanya hidup berdua dengan anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Tapi itu tak menyurutkan semangat wanita itu untuk mengais rejeki. “Orderan banyak ini, La?” “Lumayan Cik banyak yang pesan, musim hajatan.” “Syukur deh kalau begitu, mau cari apa sekarang?” “Terigu tiga kilo sama fermipan 3 bungkus, susu bubuk satu renceng sama margarin seperempat.” “Mau bikin donat? donat buatamu enak, tapi kok gak dijual di lapak adikmu. Jualanlah pasti banyak yang beli aku saja suka.” “Belum Cik, buat donat kalau lagi senggang saja.” “Nanti bagi aku sepuluh biji buat camilan sendiri.” “Beres, Cik.” Jalanan cukup lengang saat Nirmala melajukan motornya kembali pulang ke rumah, bahan membuat donat sudah didapat semua. Dia sangat ingin membuat donat. Oh jangan salah dia bukan penggemar donat, meski kata orang donat buatannya sangat enak lebih enak dari donat yang dipajang di toko donat ternama, tapi Nirmala tak pernah mau makan, tetangga dan orang terdekatnya yang akan bertugas menghabiskan kue itu sampai bosan tentu saja. Nirmala tak pernah membuat donat sedikit. Motor ia hentikan di dekat taman, tak banyak orang yang ada di sana, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tentu bukan waktu yang tepat untuk bermain di taman. Matahari sudah mulai panas, hanya pohon-pohon yang menaungi orang-orang yang nekat berasa di sana, sejenak dia ingin sendiri perasaannya sungguh tak karuan. Sudah sejak lama dia menyiapkan diri untuk ditinggalkan hubungannya dengan Bisma, memang tak mendapat restu keluarga pria itu, apalagi ibunya, ibu Bisma memang bukan jenis ibu-ibu yang marah dan langsung mengusir Nirmala, tapi wanita itu lebih memilih cara yang lebih halus tidak menolak frontal tapi setiap mereka bertemu selalu saja ada kata-kata halus tapi menyengat, dan Nirmala bukan orang bodoh untuk tidak memahami maksudnya. Dan Bisma yang juga memahami hal itu selalu berusaha meyakinkan Nirmala bahwa mereka akan baik-baik saja, sikap keluarganya akan berubah seiring waktu. Tapi sekarang bukan keluarga Bisma yang berubah justru laki-laki itu sendiri yang berubah. Nirmala masih ingat pertengkaran mereka yang terakhir hanya masalah sepele. Hanya karena Bisma merasa Nirmala lebih mementingan membeli terigu dari pada menemaninya. Jika ingat hal itu Nirmala tak tau ingin menangis atau tertawa, Bismanya yang baik, pengertian dan sabar kenapa hanya karena sekilo terigu begitu marah sampai tak mau mendengar penjelasannya. “Sebaiknya kita sampai di sini La, akhir-akhir ini kamu terlalu sibuk membuat kue sampai tak ada waktu untukku.” Suatu pagi Bisma menemui Nirmala setelah seminggu pertengkaran mereka. Nirmala terkejut tentu saja dan berusaha memberi penjelasan, meski Nirmala berjanji akan memberi waktu lebih pada Bisma tapi laki-laki itu tak mau mendengar. “Kakak kenapa?” seorang anak berusia sepuluh tahun mendekatinya, pakaian olah raga yang dipakainya basah oleh keringat, mungkin murid sekolah dasar di dekat taman. “kakak mau permen, Riko punya? Kata mama tidak baik nangis sendiri di bawah pohon nanti diculik setan.” “Terima kasih, kakak tidak nangis hanya kelilipan tadi capek istirahat sebentar.” Nirmala memberi alasan “kamu kenapa di sini nanti dicari gurumu, lho.” “Ah, Riko disuruh pak guru lari mengelilingi taman, tuh teman-teman juga.” Benar saja ternyata banyak murid dengan seragam seperti Riko berkeliaran di taman. “Ya sudah Riko lanjut lari lagi, kakak cantik jangan nangis kan sudah dikasih permen.” Nirmala tersenyum dipandangnya permen dari anak itu, dulu Bisma juga sering memberinya permen saat dia sedih, “supaya kamu bisa tersenyum lagi semanis permen ini,” katanya waktu itu begitu manis sikapnya membuat Nirmala yang sedang sedih, mau tak mau tersenyum. Tapi sekarang mengingatnya membuat hati Nirmala sakit luar biasa andai bisa dia ingin menampar muka sok manis Bisma, supaya ingat janjinya. Bagaimana mungkin laki-laki itu sudah mau bertunangan sedangkan mereka baru putus satu bulan lalu. Nirmala tau, sekarang dia seperti orang bodoh yang menyedihkan masih mengharapkan laki-laki yang jelas-jelas telah membuangnya. Aku hanya butuh waktu untuk melampiaskan sakit hati bela hatinya yang lain. Tapi menangis di sini hanya akan membuatnya semakin terlihat bodoh dan menyedihkan, bahkan anak SD yang tak tau apa-apa memberikan permen untuk menghiburnya. Ya tuhan dia tidak suka dikasihani. Tak ingin berlama-lama merenungi nasib dia beranjak meninggalkan taman, sebentar pandangannya mencari anak kecil yang memberinya permen, lalu dilanjutkan langkah ke arah motornya. “Lama banget, La mbak kira kamu nyasar!” “Ngadem dulu, Caca mana Mbak?” “Tidur capek nungguin kamu balik.” Gita membuntuti Nirmala ke dapur “Harus ya, La kamu buat donat sebanyak itu.” “Mau dibagi-bagi ke tetangga Mbak selamatan buang sial.” “Kamu masih punya mbak, La. Kalau mau berbagi cerita, mungkin memang tidak banyak membantu, tapi biasanya cerita ke orang lain bisa membuat perasaan lega.” Gita memandang Nirmala penuh makna. “Aku tau mbak.” Gita hanya mendesah pasrah saat Nirmala melangkah ke dapur mulai menyiapkan bahan membuat donat. Entah bagaimana awal mulanya Nirmala selalu membuat donat saat sedang kesal saja, seolah dengan membuat donat dia bisa menyalurkan kekesalan yang dia rasakan, dia memang bukan orang yang ekspresif dengan mengungkapkan isi hatinya pada orang terdekat. Dalam wadah besar Nirmala mencampur terigu, gula pasir, ragi instan, tak lupa dibukanya juga beberapa bungkus susu bubuk. “Mbak bantu apa, La?” “Tolong pisahkan kuning telur dan putihnya saja Mbak.” Tanpa banyak kata Gita melakukan yang diintruksikan Nirmala sebenarnya dia enggan membantu Nirmala membuat donat tapi, kalau dipikir-pikir lagi mungkin itulah cara Nirmala mengatasi perasaan hatinya yang buruk. Kuning telur yang telah dipisahkan dicampur dengan semua bahan, tak lupa butter dan garam juga sudah bergerombol di sana. “pakai buah naga?” “Iya mbak tolong masukkan sedikit-sedikit biar aku yang aduk.” Nirmala bersiap mengaduk adonan dalam ember besar, jika saja ember besar itu bisa bicara dia pasti sudah menjerit dan mengaduh.Nirmala benar-benar melampiaskan rasa sakit hatinya. Oh adonan donat yang tak berdosa itu dianggapnya sebagai laki-laki yang menjadi sumber sakit hatinya. Gita diam-diam bergerak menyingkir, ngeri melihat adik sepupunya. Nirmala adalah wanita dengan perawakan mungil dengan wajah bulat telur yang manis, tapi kekuatan orang yang sedang marah ternyata sangat mengerikan. Entah kekuatan dari mana adonan itu tercampur dengan cepat. Saat telah kalis dan adonan berwarna merah itu itu ditinju, ditampar dan dibanting. Tak puas dengan ember Nirmala memindahkan adonan di atas meja yang telah diberi alas plastik bening dan taburan sedikit tepung di atasnya. Dengan dua tangan mungilnya adonan itu berubah bentuk tak karuan. Andai saja orang yang membuatnya sakit hati bisa ia hajar seperti adonan itu tentu Nirmala akan dengan senang hati melakukannya. Dua jam lamanya Nirmala menganiyaya adonannya, tubuhnya sudah basah oleh keringat, tapi ada kelegaan di matanya. Kelelahan. Gadis itu duduk tepekur pada bangku panjang setelah memotong-motong adonan dengan scraper. Tak diperdulikan lagi adonan itu. Bahkan untuk menutup adonan supaya mengembangpun tak ia lakukan. Nia yang baru pulang, memandang kakaknya dari jauh dengan sendu, kakaknya sudah banyak menderita dia hanya berharap kakaknya bahagia tapi kenapa sulit sekali. ‘Baru pulang, Nia?” “Iya, Mbak.” Dengan cekatan tangan Nia menutup adonan yang baru saja dibuat kakaknya. “Mbak mandi dulu bentar. Biarin saja adonannya tar sore mbak goreng sendiri,” kata Nirmala. “Iya, tadi Nia beli soto ayam sekalian Nia bangunin mbak Gita dan Caca buat makan bareng.” Nia tau patah hati kakaknya selalu berbanding lurus dengan malas makan. Karena itu dia sengaja membeli soto ayam kesukaan kakaknya. “OK.” “Mbak …” Ragu Nia memandang adonan donat di depannya. “banyak banget bikin donatnya? Apa ada yang pesan langsung ke Mbak?” “Nggak Mbak pingin aja bikin, kamu bagi-bagi ke tetangga. Nanti mbak sisain yang mentah di frezeer buat kamu, kamu bilang donat buatan mbak enak, lumayan seminggu makan donat.” Nia menelan ludahnya pahit, ya tuhan seminggu makan donat, jangan-jangan minggu depan dia berubah bentuk jadi donat. Nyesel dia dulu bilang donat buatan Nirmala enak.“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam