Nirmala melongok layar ponsel yang dari tadi terus berbunyi, sederet nomer yang dia hafal betul terpampang di sana. Nomer yang dulu memang paling dinantinya, bahkan hari-harinya terasa tak lengkap jika pemilik nomer belum menghubunginya hari itu, tapi sekarang dia sangat tidak berharap nomer itu kembali menghubunginya. Hanya akan menambah sakit hatinya saja.
“Siapa, Mbak dari tadi bunyi terus?” “Bukan siapa-siapa, orang iseng mungkin.” “Kenapa nggak diangkat mungkin aja pelanggan yang mau pesan kue.” “Kalau pelanggan jelas hubungi kamu bukan aku, sudahlah cuekin saja.” Nia hanya mengangkat bahu, suasana hati kakaknya memburuk lagi, padahal tadi sudah bisa tertawa ceria saat Caca menelpon. “Sudah , Nin kamu ke pasar saja cenilnya tinggal potong-potong nanti biar mbak yang bungkus.” “Mbak yakin?” Nirmala melototkan matanya pada sang adik, lama-lama dia jengkel juga pada Nia, dia hanya sedang patah hati karena ditinggal nikah bukan orang invalid. Oh ayolah dia tidak akan bertindak bodoh dengan melakukan bunuh diri misalnya, tidak akan hidupnya terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu. Dia memang sakit hati itu pasti dan hanya butuh waktu untuk melupakan oh salah bukan melupakan lebih tepatnya mengikhlaskan apa yang terjadi padanya. Semoga nantinya akan menjadi pelajaran yang berharga. “Sudah sana pergi, pelanggan bisa lari kalau penjualnya males jualan.” “Iya deh Mbak, Nia pergi mbak Mala hati-hati di rumah bentar lagi mbak Gita kesini bawa Caca.” “Iya sudah sana, cemilannya sudah masuk gembolan semua, Nin?” tanya Nirmala mencoba mengalihakan perhatian adiknya. Saat ke pasar Nia yang lincah membawa motor scoopynya yang baru lunas bulan lalu dengan gembolan dari terpal tebal yang terpasang di belakangnya, isinya berbagai cemilan yang siap dijual. Di atasnya akan bertengger manis kardus yang berisi kue basah buatan Nirmala. Tidak hanya itu Nia juga menerima penitipan kue di lapaknya yang langsung diantarkan ke pasar tiap pagi, tentu saja setelah mereka tahu kualitas dan rasanya dan jangan lupa harga yang juga bersahabat dengan para pengunjung pasar. “Beres semua … nanti aku mampir kulakan bentar habis dari pasar.” “Lho sudah habis tho camilannya? Mbak lihat tadi masih banyak.” “Makaroni pedasnya habis kemarin banyak yang cari.” “Beli dua kilo sekalian saja, Nin. Cuma itu yang habis kripik pisangnya bagaimana?” “Masih ada setengah kilo, sih ya udah aku beli kripik pisang juga sekilo lainnya masih banyak, aku nanti pake duit hasil jualan yang kemarin sama hari ini, masih cukup kayaknya nanti aku tulis rinciannya.” “Baiklah terserah kamu.” Mereka memang kakak adik tapi dalam bisnis, mereka adalah partner. Nirmala bertugas mengelola keuangan dan membuat berbagai jajanan, sedangkan Nia bertugas memasarkan sekaligus membeli cemilan yang akan mereka kemas ulang. Hasil jualan mereka akan dibagi dua sama rata setelah dikurangi biaya-biaya. “Sip.” Jarak pasar tempat Nia berjualan dan rumah yang mereka tempati hanya sepuluh menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Yah itu kalau tidak macet, dan Nia yang paling sebal menunggu akan memilih memutar melewati jalan tikus, meski 10 menit lebih lama tapi lebih cepat kalau harus menunggu kemacetan terurai. “Hati-hati, Nin helm dan masker jangan lupa.” “Oh iya, lupa masker masih di kamar.” Nia hanya nyengir iseng lalu lari masuk ke dalam kamar. Nirmala hanya duduk diam di ruang tamu, pikirannya melayang entah kemana dia sampai tak habis pikir bagaimana Bisma secepat itu menemukan pengganti dirinya, apakah hanya karena dia anak yatim piatu, hubungan mereka yang selama lima tahun tak ada artinya, hanya satu bulan berselang setelah mereka putus, Bisma sudah melangkah semakin jauh. Sebelumnya Nirmala masih berharap mereka bisa kembali bersama, hubungan mereka selama ini juga demikian diwarnai putus nyambung. Ada masa-masa dimana mereka memerlukan waktu untuk berhenti sejenak, mengerjakan kesibukan masing-masing tanpa mengintervensi, biasanya setelah satu atau dua minggu keduanya sama-sama bisa berpikir jernih dan memutuskan untuk kembali bersama. Berjuang bergandengan tangan untuk masa depan yang sangat diharapkan dapat bersama sampai maut memisahkan. “Teeeeeeeeeee!” Nirmala terkekut bukan maian saat menoleh ke kanan bocah perempuan berkepang dua menatapnya kesal. Kapan anak ini masuknya seperti jin saja tiba-tiba datang. “Kita sudah salam berkali-kali kamu saja yang asyik nglamun, Caca sampai nangis tuh dari tadi panggil nggak kamu sautin.” Ibu sang bocah mengomel sambil berkacak pinggang, sedangkan mata Caca tampak berkaca-kaca, kenapa juga Caca nangis. Nirmala yang belum sepenuhnya mengerti keadaan hanya memandang mereka dengan tampang bodoh. “NIRMALA!!” teriak wanita itu lagi, setelah diteriaki baru Nirmala sadar keponakan cantiknya meminta perhatian darinya karena tidak ditanggapi jadilah menangis. Walah segitu khusyuknya dia melamun sampai tak tau ada orang lain yang berbagi ruangan dengannya. “Te Mala napa?” tanya Caca dengan aksen cadelnya yang lucu. “Lho mbak sama Caca dianter siapa tadi kok sudah disini?” “Pakai karpet terbang.” Jawab Gita, ibu bocah itu sekaligus kakak sepupu Nirmala sambil ngeloyor ke dapur membiarkan Nirmala yang masih memandangnya heran. “Ibu kenapa dek Caca?” “Caca mau kue.” Lah ini ibu dan anak sama-sama nggak nyambung ditanya apa jawab apa. “Tee Caca mau kue.” Anak itu bahkan sudah meloncat-loncat sambil menggoyangkan tangan Nirmala saking kesalnya pada sang tante yang tak merespon ucapannya. “Bentar ya dek Caca habis ini dibuatkan tante kue adek lihat upin ipin dulu ya.” Gita muncul dengan membawa segelas air. “Minum dulu, La.” meski bingung Nirmala menghabiskan gelas minuman yang disodorkan Gita. “Air apa itu, Mbak seharusnya aku yang bikinin mbak minum.” “Halah biasanya mbak juga bikin minum sendiri, itu air biar kamu tenang.” “Hah air bikin tenang gimana? Ada jampi-jampinya gitu, mbak mau nyantet aku.” “Sembarangan, siapa juga yang mau nyantet kamu, itu air diambil langsung dari mata air pegunungan sudah mbak saring dengan tujuh saringan.” Nirmala hanya melongo, apa kakak sepupunya berencana membuat pabrik minuman kemasan. “Sudah jangan kebanyakan bengong, kue pesanan sudah jadi apa belum?” “Eh belum, jam berapa sekarang? Ah jam setengah sembilan … jam sembilan mau diambil kuenya mbak bantu bungkusin.” Gita memutar bola matanya dengan malas sepupunya ini benar-benar. “Mbak bantu apa ini La?” Sampai di dapur Nirmala sibuk mengeluarkan loyang-loyang yang baru saja dikukus. Setelah meletakkannya pada tempat yang datar, Nirmala bersiap memotong cenil menjadi kotak-kotak kecil. “Mbak taruh cenil yang sudah Mala potong dalam mika, natanya gini Mbak agak ditumpuk warna-warni setelah aku kasih parutan kelapa, dikasih pita duan pandan atasnya biar cantik, sudah distapler jadi … cantikkan kue buatanku,” Gita memperhatikan dengan seksama tampilan kue yang didemokan Nirmala cantik memang tapi mana mau Gita mengakui bisa besar kepala adik sepupunya itu. “Coba mbak bisakan?” “Bentar aku coba kayaknya mudah.” “Ditatanya bertingkat mbak kayak piramid, jangan miring.” “Iya… udah gini bener.” Gita menyodorkan hasil kerjanya. “Ok sip mbak.” “Hapemu bunyi tuh, La.” Nirmala melihat layar ponselnya masih nomer yang sama dengan kesal dimatikannya dan dibukanya penutup belakang tek… diceraikannya baterai dengan badan ponsel. Akhirnya diam juga itu ponsel. Bikin orang senewen saja mau apa juga telpon terus mau pamer. “Kok hapenya dianiyaya gitu, La?” “Salah sambung, Mbak dari tadi sudah dibilangi masih ngeyel telpon terus. Mbak, aku mau keluar bentar beli bahan kue, tolong cenilnya taruh mika ya, terus dikardusin lainnya sudah siap kok tinggal itu saja, ya mbak … ya bentar sekalian bikin kue buat Caca.” Tanpa menunggu jawaban dari Gita Nirmala sudah berlari ke kamarnya mengambil kunci motor sambil berteriak pamitan pada Caca. “Eh mau kemana kamu,” Gita mencegat Nirmala yang akan berlari keluar kamar. “Kan udah aku bilang mau beli bahan untuk bikin kue.” “Lah itu pesanan gimana.” “Mbak lanjutin aja kayak yang aku contohin, tinggal dikit juga, nanti diambil kesini jam sembilan lebih katanya, oh ya uangnya masih kurang dua ratus ribu mbak nanti tagihkan sekalian lima jenis kue.” “Ehh bentar kamu memang mau bikin kue apa buru-buru banget.” “Donat.” “Hah, yah kenapa donat lagi alamat makan donat seminggu ini,” kata Gita dengan lemas.“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam