Sabtu pagi rumah sudah agak riuh. Suara koper digeser-geser, bunyi resleting ditarik, ditambah Wendy yang mondar-mandir dari lemari ke tempat tidur. Ia tampak sibuk membereskan barang. Kaos, jaket tipis, alat mandi, semuanya sudah berbaris rapi di koper kecilnya.
Hari ini dia akan ikut acara gathering Divisi Produksi Kreatif Skywave. Menginap dua hari satu malam di sebuah villa di Puncak, Bogor. Itulah alasan dia sudah sibuk berkemas sepagi ini.Reya muncul diambang puntu, menyandarkan bahu. “Elo berangkat jam berapa, Wen?”“Jam sembilan,” jawab Wendy tanpa menoleh, tangannya sibuk mengunci koper.“Langsung ke Puncak?”Wendy menggeleng, lalu menepuk koper dengan lega. “Nggak. Kita ngumpul dulu di kantor. Dari sana baru naik bus barengan.” Ia mendongak, menatap Reya dengan mata menyipit curiga. “Kenapa sih, tumben banget lo kepo?”Reya mengangkat bahu, mencoba terdengar santai. “Ya kan ini pertama kalinya elo pergi agak lama sejaPintu rumah terbuka hampir bersamaan. Wendy masuk sedikit menunduk, tangannya menopang lengan Sky. Remaja itu sedikit kepayahan, meringis manahan nyeri tiap kali kakinya melangkah. Meski tentu saja ia berusaha terlihat santai.Reya yang baru saja sampai, langsung kaget. Matanya melebar, nafasnya tercekat. “Sky? Kenapa ini?” Suaranya panik, tas kerjanya bahkan nyaris jatuh dari bahu.“It’s okay, Mom. Just a small bruise. Nothing serious.” Sky buru-buru mencoba menenangkan, tapi Wendy tetap setia memapahnya sampai ke sofa.Reya sudah tidak mau dengar alasan apapun. Ia menarik Sky duduk. “Mana yang sakit?” tanyanya khawatir. Ia menyingkirkan tangan Sky yang memegangi perut lalu menyingkap kaos Sky. “Memar dikit apanya? Ini merah banget,” pekiknya panik. Tangannya gemetar saat menyentuh. “Sudah diobati belum?”“Udah,” jawab Wendy cepat, mencoba menenangkan. “Tadi langsung gue bawa ke klinik.”Reya mendesah, menatap Wendy sekilas, lalu kembali fokus ke luka Sky. Raut wajahnya penuh cemas.
Luka hati paling dalam adalah luka yang diciptakan oleh orang yang paling kau percaya. Rasa sakitnya tidak akan sembuh, seperti racun yang sudah menyatu darahmu. Ia akan membuatmu tersiksa hari ke hari sampai mati rasanya akan lebih baik. Kamu pikir membencinya akan membuatmu sembuh, tapi terjadi justru kamu sendiri yang semakin menderita. Langit duduk bersandar di kursi, menatap kosong langit-langit ruangannya di Dojo. Orion duduk di kursi lain, sibuk dengan sesuatu, entah apa, Langit tidak memperhatikan. Tidak ada suara selain desis pelan pendingin ruangan yang mengisi keheningan mereka. “Elo keliatan pucet, Lang. Kenapa?” Orion akhirnya buka suara.Langit terkesiap, menegakkan punggung. Tatapan khawatir Orion cukup menjelaskan betapa kacaunya rupa Langit saat ini. Ia menggeleng pelan, memaksakan senyum tipis, “Capek aja kayaknya. Banyak kerjaan.”Tidak semudah itu membuat Orion percaya. Dia sudah lama mengenal Langit. Sebatas pekerjaan saja tak akan membuat Langit terlihat begit
Malam itu, udara Jakarta tidak sedingin Toronto, tapi angin yang bertiup dari arah danau memberi sejuk yang menenangkan. Lampu-lampu taman berwarna kekuningan memantul di permukaan air yang tenang, menciptakan bayangan gemerlap seperti serpihan bintang yang jatuh ke bumi.Reya berdiri ragu di ujung dermaga kayu yang sudah agak tua, namun masih kokoh. Kayu-kayunya sedikit berdecit ketika ia melangkah, seolah ikut menyambut kembalinya seseorang yang sudah lama hilang.Sudah enam belas tahun sejak terakhir kali ia berdiri di tempat ini. Enam belas tahun sejak ia dan Langit berjanji akan selalu datang ke sini setiap bulan di tanggal mereka jadian. Janji yang tak pernah sempat Reya tepati hingga hari ini.Janji itu jelas sudah lama lenyap bersama kepergiannya. Langit tidak mungkin benar-benar datang setiap bulan sementara Reya sudah menghilang. Tapi bagi Reya, janji itu masih jelas terukir di hatinya. Reya hanya tak punya kesempatan. Toronto ada di ujung dunia lain, terlalu jauh. Hari ini
Jam pelajaran pertama akan dimulai. Wali kelas sedang mengabsen siswa yang sudah di kelas. Suara decit kursi, bisik-bisik pelan, dan kertas yang dibalik mengisi ruangan. Sky menyenggol kursi Bian di depannya. “Bian… psstt.”Si pemilik kursi menoleh enggan. Alisnya terangkat, bertanya dengan suara yang sama pelannya. “Apa?”“Jangan lupa, nanti sore di rumah Elio. Jam empat.”“Gue udah bilang nggak ikut,” Bian menjawab singkat tanpa minat dan langsung kembali menghadap ke depan. Punggungnya menjauh dari sandaran kursi. Tapi bukan Sky namanya kalau menyerah dengan mudah. Ia menggoyang-goyang kursi Bian. Memaksa Bian menoleh. “Ikut aja. Biar rame.” “Sky!” Suara wali kelas memotong penuh peringatan. “Jangan ribut!” Punggung Sky langsung tegak. “Yes, Sir.” Elio terkikik di sampingnya. “Udah gue bilang Bian pasti nggak mau. Ngeyel sih Lo,” bisik Elio. Sky memiringkan tubuhnya, lebih dekat ke Elio, dengan
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Sebagian besar murid sudah pulang. Lorong kelas sudah hampir kosong. Hanya suara langkah sesekali bergema di antara dinding kaca yang memantulkan cahaya sore. Bayangan tiang-tiang panjang terbentang di lantai, bergerak perlahan seiring matahari yang mulai turun.Sky berjalan santai di koridor sepi itu. Headphone menutup telinga, satu tangan masuk di saku sementara yang lain sibuk dengan ponsel. Biasanya ia menunggu bersama Elio sampai sekolah benar-benar sepi baru turun ke halaman depan. Tapi hari ini Elio pulang lebih dulu karena ada acara keluarga.Awalnya tidak ada yang aneh. Sky berjalan tanpa terlalu memperhatikan sekitar, tenggelam di layar ponsel. Tapi begitu hampir sampai di dekat tangga, langkahnya melambat. Matanya menangkap sosok gadis yang ia kenal. Lyra. Dan di depannya… Xander. Awalnya Sky tidak ingin ikut campur. Ia sudah turun dua anak tangga. Tapi ingatan bagaimana perlakuan Xander di kantin t
Sabtu pagi rumah sudah agak riuh. Suara koper digeser-geser, bunyi resleting ditarik, ditambah Wendy yang mondar-mandir dari lemari ke tempat tidur. Ia tampak sibuk membereskan barang. Kaos, jaket tipis, alat mandi, semuanya sudah berbaris rapi di koper kecilnya.Hari ini dia akan ikut acara gathering Divisi Produksi Kreatif Skywave. Menginap dua hari satu malam di sebuah villa di Puncak, Bogor. Itulah alasan dia sudah sibuk berkemas sepagi ini.Reya muncul diambang puntu, menyandarkan bahu. “Elo berangkat jam berapa, Wen?”“Jam sembilan,” jawab Wendy tanpa menoleh, tangannya sibuk mengunci koper.“Langsung ke Puncak?”Wendy menggeleng, lalu menepuk koper dengan lega. “Nggak. Kita ngumpul dulu di kantor. Dari sana baru naik bus barengan.” Ia mendongak, menatap Reya dengan mata menyipit curiga. “Kenapa sih, tumben banget lo kepo?”Reya mengangkat bahu, mencoba terdengar santai. “Ya kan ini pertama kalinya elo pergi agak lama seja