LOGINEnam belas tahun lalu, Mireya pergi meninggalkan Langit dengan membawa bayi dalam kandungannya. Bagi dunia, ia hanyalah gadis panti asuhan yang merebut dan menghancurkan masa depan pewaris Andaru Group. Kini, Reya kembali sebagai wanita sukses. Tanpa ia sadari, putranya justru bergabung di dojo milik Langit—ayah yang selama ini hanya ia kenal dari cerita sang ibu. Rahasia yang dijaga selama bertahun-tahun akhirnya pecah. Mampukah Reya dan Langit menemukan kesempatan kedua? Atau justru harus kembali memilih luka masing-masing?
View More15 Mei 2008
Api unggun di halaman penginapan berkerlap-kerlip, menebar percikan yang menari di udara. Tawa teman-teman sekelas mereka pecah bersahutan, gitar Orion mengalun riang dengan lagu-lagu yang mereka hafal bersama. Malam terasa hangat meski udara pegunungan menusuk kulit.
Namun tidak semua larut dalam keramaian. Di lantai dua, balkon kamar penginapan yang menghadap langsung ke danau, Reya duduk bersila bersandar pada tembok. Angin malam membelai rambutnya, membuat beberapa helai terlepas menutupi wajah.
Langit menyusul keluar dengan dua gelas coklat panas di tangannya. “Biar anget,” ucapnya sembari menyodorkan satu gelas.
Reya tersenyum, “Thanks.” Uap hangat menyeruak. Reya memegang gelas dengan telapak tangannya, mengusir rasa dingin.
Beberapa saat mereka hanya diam, menikmati riuh suara di bawah bercampur dengan desir angin dan aroma asap kayu bakar. Lalu, tiba-tiba Reya bersuara.
“Nggak kerasa ya, tiba-tiba udah tiga tahun aja. Rasanya kayak baru kemarin kita ketemu di kelas untuk pertama kali, eh sekarang udah mau lulus aja.”
Langit menoleh, mengamati wajah Reya dari samping. “Iya, nggak kerasa.” Ia tersenyum bahagia.
“Aku inget banget pertama kali liat kamu di kelas. Kamu pakai hoodie hitam, duduk di pojokan sambil main gitar sama Orion, sama Dewa juga. Rasanya kayak… wah… ternyata cowok secakep itu bisa jadi nyata juga ya, aku pikir cuma bisa ada di komik doang.”
Langit tertawa. “Kamu emang paling bisa. Itu maksudnya lagi muji Orion apa Dewa?”
Reya ikut tertawa. “Kamu ini, aku beneran muji kamu ya.”
“Masak?” Langit mencebik tak percaya.
“Iyalah. Kamu nggak tahu aja sedeg-degan apa aku waktu dapet tempat duduk di depan kamu.”
Langit menyenggol bahu Reya, matanya memicing jahil, “Masak sih?” ucapnya dibuat-buat.
“Tau ah. Langit ih. Males aku kalau kamu kayak gitu.” Reya cemberut, dan itu justru membuat Langit tertawa puas.
Tapi Langit tidak membiarkan Reya kesal berlama-lama. Ia merengkuh Reya dalam pelukannya. Mengusap punggung Reya lembut. Hangat sekali rasanya. Jika Reya bisa menghentikan waktu. Ia akan membuatnya berhenti pada detik ini agar bisa menikmati pelukan Langit tanpa perlu mengkhawatirkan hari esok.
Reya melonggarkan pelukannya sedikit agar bisa menatap Langit. “Kalau dulu aku nggak nekat ngajak kamu pacaran, kayaknya kamu nggak akan pernah ngelirik aku sih. Iya kan?”
Kening Langit berkerut, tidak terima, “kata siapa? Kalau kamu nggak ngajak aku pacaran, ya akulah yang ngajak. Aku dulu cuma keduluan aja.”
Reya mencebik, “Gombal banget.”
“Nggak ya. Aku serius. Tanya aja sama Orion atau Dewa. Mereka saksinya. Sampai muak kayaknya aku ngomongin kamu mulu tiap hari.”
“Kalau aku tanya mereka, ya pasti bakal dukung omongan kamu lah, kan mereka temen kamu.”
Langit tertawa melihat Reya menggebu-gebu begitu. Tubuh Reya lantas dipeluk lagi, lebih erat. “Aku serius, Re. Aku nggak pernah sesayang ini sama orang lain. Cuma sama kamu doang.”
“Makin pinter aja ya gombalnya,” ucap Reya. “Nanti kamu kalau udah jadi mahasiswa juga bakal ketemu sama yang lebih dari aku, terus lupa deh sama aku.”
Reya tahu dia seharusnya tidak bicara begitu, tapi sepertinya kekhawatiran dalam dadanya menemukan jalannya sendiri untuk terucap meski Reya tidak bermaksud mengatakannya.
Perlahan pelukan Langit terlepas. Ia menunduk, menatap Reya sungguh-sungguh, keningnya berkerut. “Kenapa ngomongnya gitu sih?”
Reya tersenyum getir. “Kamu bakal jadi mahasiswa di kampus elit. Pasti bakal banyak cewek-cewek cantik dan pinter yang ngantri buat jadi pacar kamu. Apalah aku yang bukan siapa-siapa ini.”
“Apan si, Re. Aku nggak suka ya kamu ngomong kayak gitu. Mau sebanyak apapun cewek di luar sana, yang aku mau cuma kamu. Titik.”
Reya menunduk, makin lama makin dalam. “Tapi kamu berhak kok, Lang, dapat yang lebih dari aku. Kayak yang Mama kamu mau.”
Langit tercenung. Untuk sesaat ia tidak bicara. Reya sudah berusaha untuk menahan diri, tapi ternyata ia tak berhasil mencegah rasa rendah dirinya mengambil alih.
“Reya dengar,” Langit membawa dagu Reya naik agar bisa menatap matanya langsung. Sorot mata Langit tajam tapi sendu, mengunci Reya hingga tak berkutik.
“Aku cuma sayang sama kamu. Nggak peduli apapun itu, akan aku hadapi asal bisa terus sama kamu. Kalau kamu mau aku tinggalin semuanya,... aku bisa. Asal aku tetep sama kamu, Re.”
Reya hampir menangis. Tenggorokannya tercekat. “Jangan konyol, Lang,” ucapnya parau. “Kamu nggak perlu sampai segitunya. Kamu punya masa depan yang cerah, jangan sia-siain itu cuma demi aku. Jangan sampai nanti kamu nyesel.”
Langit menggeleng cepat. “Atu tahu ini kedengarannya konyol, apalagi di umur kita sekarang. Tapi percaya sama aku, Re. Aku siap lakuin apapun demi kamu. Apapun…”
Keduanya terdiam. Tatapan mereka saling bertaut. Waktu seolah berhenti detik itu seperti keinginan Reya. Sesaat, Reya teringat bagaimana saat pertama kali Langit menggenggam tangannya, jantung Reya berdetak tak karuan saking senangnya. Juga waktu mereka berdua kabur dari kelas hanya untuk makan es krim di bawah pohon flamboyan belakang sekolah. Langit dengan wajah ceria menyanyikan When I See You Smile dengan gitar tuanya, membuat Reya tertawa bahagia, merasa sangat dicintai.
Memori-memori manis yang telah mereka lewati muncul kembali seperti ledakan kembang api kebahagian. Setelah tiga tahun berlalu, tapi semuanya masih sama, tawa, cinta dan detak jantung yang berlari lebih cepat.
Kini, di balkon kecil itu, tatapan mereka saling mendekat, entah siapa yang bergerak lebih dulu. Tahu-tahu tidak ada lagi jarak diantara mereka. Reya tak lagi punya alasan untuk menjauh. Bibir Langit menyentuh milik Reya, lembut. Ciuman pertama itu… begitu canggung, tapi juga begitu indah. Reya merasakan ketulusan, rasa takut, juga keberanian yang bercampur jadi satu.
Tidak ada satu detik pun dalam hidup Reya yang membuatnya meragukan cinta Langit padanya. Begitupun sebaliknya. Reya tahu Langit mencintainya dengan sama besar. Maka ketika ciuman lembut itu perlahan berubah menjadi lebih intens, Reya tak mau berhenti. Ia sepenuhnya menyerahkan diri.
***
Lampu kamar sudah padam ketika Reya membuka mata. Nafasnya masih memburu, pipinya panas, dan jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap langit-langit kayu, lalu menoleh. Di sebelahnya, Langit duduk di tepi ranjang, tubuh condong ke depan, kedua tangannya menutupi wajah.
“Langit…” suara Reya pelan.
Langit mendongak, matanya memerah, bibirnya bergetar. “Re… I’m sorry. Aku harusnya bisa nahan diri. Aku… aku nggak seharusnya lakuin ini ke kamu.” Ia meremas rambutnya sendiri, wajahnya kalut oleh rasa bersalah.
“Maafin aku Re,” Langit merintih. “Apapun yang terjadi, aku bakal tanggung jawab, Re. Sumpah demi Tuhan.”
Reya terdiam sejenak, lalu duduk lebih dekat. Tangannya terulur, mengambil tangan Langit dan menggenggamnya erat. “Lang, liat aku!”
Langit menoleh. Kacau sekali. Sorot matanya rumit, jelas sekali dalam hati Langit sedang terjadi pergolakan besar yang membuatnya terlihat sangat berantakan.
“Kalau ini salah,” suara Reya bergetar, “itu salah kita berdua. Bukan cuma kamu. Lo narik gue, iya. Tapi gue juga nggak nolak.”
Langit menggeleng cepat. “Tapi kalau kamu kenapa-kenapa? Kalau ada yang buruk terjadi? Aku nggak akan bisa maafin diriku sendiri.”
Reya menahan tangis, lalu tersenyum getir. “Jangan salahin diri kamu, Lang. Aku nggak papa. Dan aku nggak nyesel. ”
Hening sejenak. Langit menunduk, menempelkan keningnya ke punggung tangan Reya, berbisik lirih, “Aku sayang banget sama kamu, Re… dan aku janji, aku nggak akan pernah ninggalin kamu.”
Reya mengangguk. Matanya terpejam.
Jauh dalam lubuk hatinya, Reya justru takut dia baru saja merusak masa depan Langit yang cerah. Jika benar takdir mempermainkan mereka, apakah Reya sanggup menyeret Langit dalam kesulitan bersamanya? Apakah janji untuk tidak berpisah itu bisa bertahan?
Rumah Reya sudah kembali hangat pagi ini. Tidak ada lagi air mata, amarah tertahan atau rahasia yang menggantung di ujung lidah. Hanya sarapan sederhana. Obrolan, canda, dan perdebatan kecil mengalir seperti biasa. Badai kecil kemarin sudah berlalu, meski tidak semua sepenuhnya kembali utuh.Langit.Nama itu kini seperti debu tipis di sudut ruangan yang sengaja dibiarkan tak tersentuh. Semua sadar debu itu di sana, tapi pura-pura tak melihat. Wendy berangkat kerja lebih pagi. Hatinya ringan karena kini rahasia antara Sky dan Reya akhirnya selesai. Tapi masih ada yang mengganjal bagi Wendy. Sesuatu yang membuat langkahnya berat begitu menginjak lobby Skywave.Bagaiamana dengan Langit? Apa dia baik-baik saja?Reya dan Sky sudah selesai dengan rahasia mereka, tapi Langit masih terjebak di sana. Raut wajah Langit kemarin terus menempel di kepala Wendy. Tatapan kosong, langkahnya yang gontai− Langit terlihat seperti petarung yang baru saja dibantai habis-habisan. Telak. Hari ini ada week
Sky tak beranjak dari depan pintu kamar Reya sejak Ramon masuk beberapa saat lalu. Tatapannya tak lepas dari daun pintu. Nyaris tak berkedip, seolah takut melewatkan sesuatu.Begitu terdengar suara kenop berputar, punggung Sky langsung tegak. Nafasnya tertahan. Ramon keluar pelan. Pandangannya bertemu dengan Sky. Ia lalu menyunggingkan senyum tipis sambil menepuk bahu Sky, “You can go in now.”Sky mengangguk, menelan ludah. Ia menatap Wendy sekilas, seakan mencari keberanian terakhir, lalu memutar kenop dan melangkah masuk.---Mendengar pintu berderit, Reya buru-buru menghapus air mata. Ia paksakan senyum hangat tersungging di bibir meski sembab di matanya belum benar-benar surut. “Come here,” bisiknya, membuka kedua tangan.Sky tidak berpikir dua kali untuk langsung menghambur dalam dekapan ibunya. Jari-jarinya mencengkram bagian belakang kaos Reya erat-erat, seolah takut kesempatan ini akan hilang jika ia melepasnya. Bahunya yang kaku perlahan turun. Helaan nafasnya pelan dan pan
KlikReya menutup pintu kamarnya lalu melangkah gontai. Nafasnya pendek, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Ia merosot duduk di lantai, memeluk lutut. Tangannya gemetar. Amarah dan lelah bercampur menjadi sesak yang tidak terdefinisi. Bohong. Sky berbohong padanya.Wendy… juga ikut mengelabuhinya.Dan Langit— Dia sama sekali tidak berubah. Sama seperti enam belas tahun lalu, pria itu hanya percaya pada apa yang dia lihat. Reya memejamkan mata keras-keras. Dadanya seperti ditarik dari dua arah. Satu sisi dia ingin marah pada semuanya. Sky, Wendy, bahkan Langit juga. Tapi sisi lain, lebih dari semua itu, Reya marah pada dirinya sendiri.Ia sadar betul, semua ini rumit karena keputusan yang ia buat dulu. Karena ketakutannya sendiri.Reya menggigit bibir. Ia membenamkan wajah diantara lutut. Mencoba menahan isaknya hingga bahunya bergetar. Kenapa harus begini?Kenapa Sky harus bertemu Langit secepat ini?---Tok. Tok. Tok. Ketukan terdengar dari luar.“Reya, we need
Pizza kotak besar terbuka di tengah meja. Potongan steak masih mengepulkan aroma panas. Suara gelak tawa Lyra dan Elio bercampur dengan komentar sarkastik Bian dan celetukan santai Noah.Di satu sisi meja, Sky hampir tidak berhenti tersenyum. Hari ini, untuk pertama kalinya dia naik ke atas podium dan mengangkat piala di depan orang yang paling ingin ia buat bangga.Langit memeluknya di tengah arena. Langit … Ayahnya, tersenyum penuh kebanggaan pada Sky.Mimpinya, benar-benar terwujud. Finally.Tapi di balik gemuruh perayaan kecil itu, ada sosok yang diam-diam menahan getir.Reya duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat di pangkuan. Senyumnya ada, tapi hanya di bibir, tidak sampai ke mata. Sesekali ia meneguk cola di depannya untuk menyembunyikan getaran emosinya.Wendy duduk di sebelah Reya, mencoba tertawa saat Lyra bercerita tentang bagaimana lawan Sky tersungkur, tapi matanya beberapa kali melirik Sky dengan gelisah. Seolah ia sedang menunggu sesuatu meledak.Ramon?Tentu saja
Langit tidak ingat bagaimana ia keluar dari gedung itu. Seperti tubuhnya bergerak tanpa jiwa. Tatapannya kosong. Ia berjalan tapi tidak benar-benar tahu arah mana yang dituju. Di belakang, Orion mencoba mengejar. Nafasnya terengah, alisnya bertaut cemas. “Langit! Lang!” Tapi alih-alih berhenti, Langit bahkan tidak menoleh. Langit tidak mendengar apapun. Telinganya mendadak tuli. Seperti ada yang meredam semua suara di luar. Yang Langit dengar di kepalanya hanya cemoohan suaranya sendiri.Bodoh.Kamu sudah dibuang.Gema itu menghantamnya. Mengambil alih seluruh logika dan menghancurkan sisa kepercayaan dirinya. Rasanya orang-orang menatapnya seperti sampah. Padahal tidak ada seorang pun yang melihat ke arahnya, tapi kepalanya berhalusinasi. Sampai akhirnya ia tiba di parkiran.Tangannya gemetar meraih handle pintu mobil.BRUK.Pintu tertutup keras.Mesin menyala.
Arena mulai sedikit lebih sepi setelah pengumuman pemenang. Satu persatu orang beranjak. Beberapa juga tampak sibuk meminta foto dengan para finalis. Sky masih dikerubungi Elio, Lyra, Noah, dan Bian. Piala kemenangan ia dekap erat di dada. Senyumnya malu-malu saat mereka memujinya, tapi matanya mengkilat, penuh rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Di pinggir arena, Langit memperhatikan. Matanya berkaca-kaca. Aneh. Dia tak pernah seterharu ini, bahkan di pertandingan-pertandingan besar yang telah ia menangkan dulu. Orion mendekat, memukul bahu Langit pelan. “Good job, Coach.”Senyum Langit terulas. “Itu anak kerja keras banget.” “That’s literally you. Reborn.” Orion terkekeh. “Elo liat nggak matanya pas tanding tadi?” Ia menepuk dada Langit, “Tekadnya persis kayak elo kalau terobsesi menang supaya dapet duit buat traktir Reya.”Langit mendengus lemah. Tentu saja Orion ingat bagian itu. Dia saksi hidup. “Lanjut … Ledek aja terus,” gumam Langit pasrah. Tapi ia tahu Orion benar


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments