Suara ketikan itu perlahan membangunkan Serena, membawanya kembali siuman.
Kepalanya masih pusing dan seluruh bagian tubuhnya terasa mati rasa, tapi Serena tetap mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Mencoba mencari tahu di mana ia berada sekarang. Sepasang mata merahnya terpaku pada sosok pria yang duduk di samping tempat tidurnya. Otomatis membuat tubuhnya menegang. “... Roderick?” Suara lirih Serena membuat sosok itu menolehkan kepalanya. “Kau sudah bangun?” ucap Roderick. Tatapannya yang tajam memindai kondisi Serena selama beberapa saat sebelum tangannya bergerak menutup laptop. Fokus sepenuhnya pada gadis yang kini berbaring di hadapannya. “Aku berikan kau satu kesempatan untuk menjelaskan ulahmu kali ini.” Serena bergidik. Mata itulah yang mengabaikannya saat Serena memohon ampun saat disiksa hingga nyaris gila. Pria itulah yang memerintahkan Serena diberi hukuman karena telah menyakiti– Tunggu dulu. Sepasang mata Serena terbelalak. Kenapa ada Roderick di sini!? Sontak, Serena berusaha bangun, tapi ia berakhir terjatuh kembali di tempat tidur karena tubuhnya yang terasa seperti remuk. Gadis itu mengaduh dengan suaranya yang lemah. “Ck.” Roderick berdecak, membuat perhatian Serena kembali pada pria itu. “Kau jatuh dari tangga dan nyaris mati. Jangan banyak bergerak dulu.” Lama, Serena memandang pria yang sebenarnya merupakan kakak kandung Cecillia tersebut, mengingat rupanya kehidupan Serena dan Cecillia telah ditukar. Seharusnya, ada luka sayatan di bawah mata kanan Roderick akibat pertarungan dengan orang dunia bawah. Namun, Serena tidak menemukannya. Bahkan bekasnya pun tidak ada. “Ada apa?” Suara dingin itu kembali menyadarkan Serena, membuat gadis itu menggeleng pelan. “... Tidak,” gumam Serena. Ia mengalihkan pandangan dari pria itu dan tanpa sengaja melihat kalender di meja. Tunggu, 20xx? Bukankah itu 4 tahun yang lalu!? Apakah … apakah mungkin doa Serena dikabulkan Tuhan? Mungkinkah dia kembali ke empat tahun yang lalu, saat hidupnya masih belum hancur? Saat ia masih menjadi Nona Muda Moonstone? Dada Serena berdebar keras saat ia memikirkan hal tersebut. Ia punya kesempatan baru! Perlahan, gadis itu menoleh kembali pada Roderick, memberanikan diri menatap sang kakak yang berpotensi menjadi perundungnya di masa depan. “Kakak,” panggilnya pada pemuda 25 tahun itu. “Kakak bilang aku jatuh dari tangga?” Jika benar, berarti ini adalah insiden saat ia diracun pertama kali beberapa tahun yang lalu. Roderick mendengus. “Dokter bilang kepalamu baik-baik saja.” Mata merahnya menatap tajam ke arah Serena. “Jadi jangan main sandiwara denganku dan jelaskan padaku kenapa kau sengaja membuat dirimu menjadi pusat perhatian begitu.” “Kak, aku tidak jatuh dengan sengaja,” ucap Serena kemudian. “Ada yang memasukkan sesuatu ke dalam tehku.” Roderick menghela napas mendengar penuturan Serena. Pria itu kemudian bangkit. “Hentikan omong kosongmu.” Serena menggeleng. “Aku tidak asal mengatakan ini, Kak,” tutur gadis itu. “Saat minum teh, aku mencium aroma asing. Awalnya kukira karena tehnya diganti. Tapi setelah meminumnya, aku justru pusing dan akhirnya terpeleset di tangga.” Roderick sedikit mengeryit mendengar penuturan Serena. Biasanya, Serena akan marah-marah dan mengatai para maid sebagai penipu, kemudian mengamuk. Namun, kali ini, penjelasan yang diberikan Serena terdengar masuk akal dan disampaikan dengan tenang, membuat Roderick merasa asing. Meski ia tidak langsung percaya sepenuhnya pada sang adik yang kerap berbuat ulah untuk menarik perhatian tersebut. Karenanya, pria itu kemudian menyahut, “Jika benar begitu, seharusnya kau bisa membuktikannya, bukan?” Roderick tidak menyangka kalau Serena akan mengangguk mantap. “Tolong panggilkan semua yang sempat melayaniku sebelum aku keluar kamar.” Serena meminta bantuan. Matanya tampak tegas dan tegar. Gadis ini tidak tampak seperti adiknya yang biasa. Namun, Roderick tetap memberikan kesempatan pada Serena. Hanya dengan satu titah dari Roderick, para pengawal membawa para maid yang melayani Serena sebelumnya. Serena berusaha bangkit perlahan, meski kesusahan. Tanpa diduga, Roderick mendekatinya dan membantu gadis itu untuk duduk bersandar di kepala tempat tidur. Gerakannya begitu hati-hati dan lembut. “Terima kasih, Kak,” gumam Serena dengan wajah tertunduk. Ia benar-benar salah memahami kakaknya tersebut di masa lalu. Roderick memang terkesan dingin dan sering berucap tajam, tapi pria itu tidak kejam dan tanpa perasaan. Gadis itu kemudian mengarahkan fokusnya ke depan setelah Roderick kembali berdiri di samping tempat tidur. Ada sejumlah wajah yang berkesan di kehidupan pertama Serena. Setelah dipikir lagi, ada banyak orang yang ditempatkan di sekelilingnya untuk mencelakai dirinya. Namun, Serena terlalu bodoh dan dibutakan ambisi untuk menyadarinya. Pandangannya tiba-tiba terhenti pada gadis berwajah bintik-bintik. “Kakak,” panggil Serena. Telunjuknya mengarah pada gadis itu. “Dia yang meracuniku.” Ucapan Serena terdengar mantap, mengejutkan semua orang yang ada di sana. “Nona! Saya tidak melakukannya!” Si tertuduh langsung berteriak nyaring. “Bagaimana mungkin saya bisa melukai Anda? Saya telah bersama anda selama bertahun-tahun dan saya sangat menyayangi Nona!” Gadis itu menangis kencang. “Jika Tuan Muda dan Nona Muda tidak bisa mempercayai saya, Anda bisa mengecek teh yang saya buat! Teh itu masih ada!” Mata Serena menyorot dingin. Ada dendam di sana, mengingat pelayan itu pulalah yang mencuci otaknya agar tergila-gila dengan harta dan perhiasan, membuatnya tinggi hati dan sombong. “Racun itu tidak ada di dalam teh, tapi di cangkir yang aku gunakan,” ucap Serena, menjaga agar nada suaranya tetap tenang. Ia menoleh ke arah Roderick. “Kakak bisa geledah kamarnya.” Roderick diam. Memang sebelum tehnya diminum oleh Serena, sudah seharusnya teh tersebut dicicipi oleh pihak lain untuk memastikan Serena mengonsumsi makanan dan minuman yang aman. Jika benar klaim Serena bahwa ia diracuni, otomatis racun tersebut tidak akan berada di dalam tehnya. Pria itu menoleh pada asistennya dan mengangguk. Seketika semua pengawal dikerahkan untuk menggeledah kamar pelayan tersebut–yang kini tampak panik. “Tuan! Nona! Saya sudah mengabdikan diri saya di sini selama bertahun-tahun! Anda tidak bisa–” “Kamu dibayar di sini, tidak mengabdi,” potong Serena dengan dingin. “Dan kamu memilih untuk mengkhianati keluarga ini.” “Tidak! Saya tidak melakukan hal itu!” Namun, tak butuh waktu lama untuk para pengawal berhasil menemukan satu cangkir berukir daun biru. Benda ini favorit Serena, selain Serena, tidak ada yang memilikinya. “Seret dia ke ruang bawah tanah,” ucap Roderick dengan dingin dan menusuk. “Aku akan membuat perhitungan dengannya nanti.” Diam-diam, Serena bernapas lega. Ini adalah langkah awalnya untuk bertahan hidup. Ia tidak akan membiarkan orang-orang menjebaknya lagi, seakan-akan ia gadis bodoh. Serena akan mengumpulkan mereka yang akan setia di sisinya. Agar ia tidak tewas mengenaskan seperti sebelumnya. “Kau.” Serena menoleh pada pria yang merupakan pewaris keluarga Moonstone di sampingnya. Tatapan Roderick bergerak seakan memindai kualitas produk, membuat Serena merasa terintimidasi untuk sesaat karena bayangan Roderick dari kehidupan pertama masih membekas dalam benak. Namun, fokusnya tetap tegar. Dia tidak akan menangis. Tidak ada alasan baginya untuk takut lagi. Akan tetapi, dadanya berdesir gugup juga ketika akhirnya Roderick bertanya, “Kau tidak seperti adikku. Siapa kau?”Seandainya Serena menerima Zac tadi, maka cinta yang baru bersemi berpotensi layu sekejap mata. Inilah rencana dadakan yang terpikirkan oleh Serena. Permainan ‘tarik dorong’ serta ‘pura-pura bingung dan bimbang’ agar tidak dicurigai. Selama dia bisa menjaga Roderick dan Zachery secara imbang, kedua pria tersebut dapat dipastikan akan selalu ada di sisinya. Persaingan selalu berpotensi menggugah hati lawan jenis untuk semakin bersemangat dalam mengejar. Ini juga tentang ego dan harga diri seorang pria. “Semakin sulit didapat, semakin pula didambakan untuk dimiliki,” gumamnya pelan. Serena bersandar ke bantal empuk, tersenyum sekali lagi. Seperti sebuah novel, cinta tokoh utama pria akan dipatik dan kian mendalam dengan adanya ‘saingan cinta.’ Secara perlahan merubahnya menjadi pria yang lebih seperti budak cinta sejati. Oleh sebab itu, Serena tidak akan gegabah menerima terang-terangan dua pria tersebut. Biarkan mereka bersaing, sedangkan dia dengan senang hati akan meni
“Bisakah kita melewati adegan ciumannya? Kau bisa beralih mencium pipiku saat orang tak melihat.” Ekspresi Zac mengeras lantaran merasa marah atas usul tersebut. Pria tinggi itu hanya diam, mendelik sebentar. Sebelum berbalik pergi mengambil bahan-bahan untuk toping Bruschetta. Serena menggaruk pipinya, berkedip heran. “Kenapa kau diam saja? Aku salah bicara?” Pria yang tengah mencuci tomat di sana lagi-lagi diam membisu. Lalu tiba-tiba menyahut merajuk, “Pikir saja sendiri!” “ .... ” Bukankah pihak lain terlihat marah? Namun karena alasan apa? Serena hanya bilang untuk melewati ciuman— Tunggu ... jangan-jangan ... Sedetik kemudian, Serena Moonstone hampir lunglai jatuh ke lantai. ‘Pria gila ini sudah menyukaiku sejauh itu?’ pikirnya takjub. “Tuan muda, jangan bilang anda ingin berciuman dengan saya?” bertanya ragu-ragu, Serena memandang Zac aneh. Fakta bahwa Zac tertarik padanya saja sudah aneh, apalagi tertarik begitu jauhnya padanya— ini bahkan lebih aneh.
“Mengapa? Spekulasiku kemarin juga benar, ‘kan? Apa salahnya membiarkanmu balas dendam atas namanya?” “Aku juga tidak tahu,” sahut pria di sofa seberang. Sontak, Serena meremas ujung gaun merah mudanya. Berpikir keras, ‘Mungkinkah karena Cecillia tidak dilibatkan?’ pikirnya dalam benak. Ya, sudah pasti. Itu karena Cecillia tidak ikut andil kali ini. Sehingga tak ada yang bisa melunakkan hati keras Tuan Gerk. “Kalau begitu, kita perlu fokus ke penelitian Eve dulu saja,” ujar Serena agak putus asa. “Sekalian mengobati racun pada tubuhmu secara bertahap” Jari Zachery kaku di udara, pria itu melirik Serena. Lalu tersenyum main-main, “Ngomong-ngomong, ternyata kau lebih cerdik dari dugaanku. Sengaja memberi Luca padaku, tapi mengikat Eve di sisimu.” “Kalau aku lebih bodoh darimu, kita akan mati lebih awal di medan perang.” Zachery mendengus pelan. Tidak berdebat sama sekali. Pria tersebut justru mengeluarkan sebuah kotak merah dari saku jas. Ukurannya kecil, tetap
“Lukamu sudah membaik?” Serena berhenti bermain game, mendongak lalu menatap Zac. Ia justru bertanya balik, “Maksudnya?” “Ck,” berdecak kesal sebagai respon. Zachery berkata lebih, “Saat itu wajahmu sangat pucat setiap melihatku. Dokter bilang kelainanmu disebabkan luka psikologis.” Sesaat setelahnya, suasana di dalam mobil berubah hening. Tidak ada suara game lagi, membuat alunan musik terdengar lebih jelas. “Kau!” Zachery menoleh sekilas ke Serena, melotot kesal. Kemudian melengos, “Sia-sia aku khawatir padamu.” “Begitu saja sudah marah?” “Siapa yang marah?” “Anak anjing,” sahut si gadis, mengasal. Sudut bibirnya melengkung ke atas. Tersenyum kecil. Pria itu, yang sedang mengemudi, lantas mendengus. Anehnya tidak berdebat lagi. Sikapnya yang agak jinak hari ini, mengejutkan Serena. Ia memikirian sesuatu, tanpa basa-basi langsung melancarkan serangan. “Apakah anak anjingku yang lucu merajuk saat ini?” bertanya lembut, Serena segera bersandar di bahu kokoh
Dua hari kemudian, Serena menerima berkas dokumen dari Roderick pagi-pagi sekali. “Ini data seseorang yang kamu inginkan tempo hari,” ucap Roderick sambil menyerahkan amplop coklat besar. “Aku harus berangkat ke kantor sekarang, jika ada sesuatu langsung telefon saja.” Sepasang mata boneka masih menahan kantuk, Serena tersenyum seperti orang bodoh dengan kondisi tersebut. “Terima kasih, kakak!” Terlihat konyol, tapi imut. Hati pria berkacamata itu sontak melunak. Senyuman lembut terpatri pada bibir indahnya. Roderick perlahan mencubit pipi gembilnya, “Maaf, penyelidikannya memakan waktu lama. Orang yang kau inginkan ternyata punya banyak identitas palsu.” “Um, tidak apa-apa. Begini saja sudah bagus, yang penting aku dapat alamatnya dan detail kehidupannya.” Serena meringis kala cubitan jari panjang sang kakak makin keras. “Ah, kakak lepaskan! Pipiku sakit!” Linglung oleh kelembutan kulit gadis kecilnya, Roderick tertawa pelan. Dia kemudian membelai pipi bekas cubitannya, “S
“Adikku masih terlalu muda,” celetuk Roderick dari arah belakang Serena. Lengannya melingkari pinggang ramping sang adik posesif. “Lama tak bertemu, tuan muda.” Demian menarik sudut bibirnya, senyumannya tidak mencapai mata. Suaranya beralih acuh tak acuh, “Ya.” Serena dan Daniel terkejut bersamaan. Mengapa rasanya dua pria itu memiliki dendam darah? Roderick melembutkan paras tampannya saat menunduk, “Ayo pulang, orang tua kita sudah menunggu.” “Oh, ah, iya.” Melihat betapa lembutnya sorot mata Roderick. Serena mau tak mau hampir berpikir kakaknya memiliki dua kepribadian. Ia pun berbalik pergi bersama Roderick. Tak lupa melambai sebentar ke Daniel. “Jangan menoleh,” tukas sang kakak. Lengan yang merakul pinggang, berpindah mencekal kepala Serena. Memaksanya menatap ke depan. Serena terkejut, sensifitas kakaknya semakin buruk, kah? Entahlah, dia enggan ambil pusing. Lalu menggosokan keningnya ke bahu Roderick. Bersikap manis dan imut. Seberapa marah kakaknya,