Setelah magrib, semuanya telah bersiap-siap, sangat rapi.
“Syah, lho kok kamu tampak seperti enggak mandi seharian?” tegur Rumi, saat melihat Aisyah masih dengan penampilan yang sama.
“Kak Rumi!!! Ngapain sih?” sahut Aisyah, dongkol.
Aisyah mulai merasa bosan dengan permainan yang sedang dimainkan kakaknya.
“Kamu ganti baju Adikku sayang, jangan bikin malu Kakak dong. Atau perlu Kakak yang gantikan bajunya?”
“Apa sih Kak Rumi, aku bukan anak kecil,” kesal Aisyah.
Dia pun berlari menuju kamar mengganti pakaian. Dengan perasaan yang sangat tidak enak, dia berusaha tetap menghargai perintah Rumi. Dia merasa diperlakukan seperti anak kecil hari ini.
Beberapa menit berlalu, Aisyah sudah kembali menemui kakaknya.
“Alhamdulillah, begitu dong. Sekarang kan, baru tampak Aisyah yang sebenarnya,” lanjut Rumi, saat Aisyah tampak berpakaian lebih rapi.
Aisyah
Saat Aisyah dan Putri merasakan duka yang sama, Abduh pun tenggelam dalam kepahitan takdir. Saat dia baru mulai menyadari perasaannya, takdir justru berkata lain. “Kamu kenapa enggak ikut ke acara lamarannya Aisyah, padahal Rumi juga mengundang kamu?” tanya Mira, sesampainya di rumah. “Kak Mira seperti tidak tahu perasaanku.” “Be, sejak awal Kakak sudah minta, kamu jangan berharap terlalu jauh. Kamu dan Aisyah terlalu banyak perbedaan. Kamu fokus ke kuliah kamu, Dik.” “Tetapi hati tidak bisa dipaksakan Kak. Sampai saat ini pun, aku tidak bisa menghilangkan perasaanku ke Aisyah. Ditambah lagi dia kemarin menginap di sini, merawat Kakak, bagaimana aku bisa berpaling Kak? Dia sangat menyayangi Kak Mira, aku akan sangat bahagia jika impianku bisa saja terkabul. Aisyah wanita yang selama ini sangat kuimpikan Kak.” “Abe, Kakak ngomong ini sekali lagi. Kamu fokus kuliah dulu ya Dik, insyaaAllah akan ada wanita lain dan terbaik untuk kamu. Ka
Aisyah dan Putri kembali bertatapan, terkejut dengan pertanyaan Rumi. Mereka tidak menyangka, kepergian mereka ke kantor Fikri tempo hari, akan diketahui Rumi. Rumi tersenyum pahit. “Kalian berdua, tega-teganya menghancurkan Kakak kalian sendiri!” “Maksud Kak Rumi?” tanya Aisyah, tidak mengerti. Rumi menggelengkan kepalanya, tanda tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan kedua adiknya. “Apakah kalian berdua tidak pernah berpikir, konsekuensi keberanian kalian menemui Pak Fikri?! Selama hidup, Kak Rumi selalu berjuang, bekerja keras membangun citra positif, harga diri, tetapi seketika kalian hancurkan!” “Kak—” “Kamu tidak perlu jelaskan. Kakak sangat kecewa pada kalian berdua. Kalian telah menghancurkan Kak Rumi. Kalian memperlakukan Kakak kalian, seperti perawan tua yang tidak ada lagi harapan menemukan pendamping hidup. Serendah itukah kalian menilai Kak Rumi?!” Suara Rumi semakin meninggi.
Pikiran Putri kemudian menjelajah lebih jauh, dia ingat perkataan sang ibu pagi tadi di meja makan. Ingin mengenalkannya dengan anak tante Sarah. Anak tante Sarah? Siapa? Kak Ahmad bukannya sudah punya pilihan? Saudara laki-laki Dinda, kan, cuma Kak Ahmad? Ya Allah, apa lagi ini? “Kamu kenapa? Kok jadi stres begitu?” “Enggak Bu,” jawab Putri, menyembunyikan perasaannya yang kembali dirundung kekhawatiran. Beberapa saat berlalu dalam hening, mobil Putri akhirnya sampai di depan butik Cantik, milik keluarganya. Pikirannya masih saja terus bekerja keras, dia semakin tidak bisa mengendalikan hatinya. “Ibu, atau aku enggak usah bertemu dulu dengan anaknya Tante Sarah, ya. Putri belum siap.” Ibunya tertawa keheranan, “Kok tidak siap? Memangnya mau ngapain? Ibu cuma mau ngenalin kalian. Tante Sara
“Kak Rumi, dulu gagal dengan Kak Fikri, karena beliau tidak bisa sepenuhnya menerima keinginan Kak Rumi. Walaupun Kakak sangat mencintai Kak Fikri, akhirnya semua juga berakhir. Sedang Pak Adam, dia sangat menyayangi Kak Rumi. Dia bahkan mencintai Kak Rumi beserta keluarga kita. Apa lagi yang Kak Rumi inginkan?” Rumi masih tidak merespons. “Kak, apakah Kakak masih ingat? Kakak pernah mengatakan kepada Aisyah, temukan seseorang yang mencintaimu bersama kebahagiaanmu. Jangan bersama dengan seseorang yang hanya mau menerimamu, namun menjauhkanmu dari kebahagiaanmu. Itu ucapan Kak Rumi.” Kalimat terakhir Aisyah, akhirnya membuat Rumi bangun dari kebisuannya. “Dik, hati itu tidak bisa dipaksakan. Kemarin, memang cinta Kak Rumi masih belum bisa lepas dari Pak Fikri. Tetapi hari ini, hati Kak Rumi telah tertutup untuk cinta yang baru. Entahlah jika besok, Kak Rumi tidak tahu.” “Baiklah, Kak.” Aisyah, akhirnya menerima jawaban Rumi. Dia tak pu
Tak ada suara, Rumi terdiam, Putri pun membisu. “Mengapa Allah memberiku cobaan yang luar biasa seperti ini Kak? Mengapa harus sekarang?” sambung Aisyah, kembali dengan kesedihan yang tak bisa lagi disembunyikannya. “Syah, Allah yang paling tahu hamba-Nya. Selalu ada hikmah dibalik setiap masalah, kamu jangan putus asa.” Lagi, Rumi berusaha menguatkan. “Apa yang harus Aisyah lakukan sekarang Kak?” “Kak Rumi tidak bisa memberikan jawaban. Semua keputusan ada di hati kamu sendiri, Adikku. Kamu mencintai Rayhan? Kamu yakin akan bahagia bersamanya?” “InsyaaAllah Kak.” “Jadi apa yang kamu pikirkan lagi? Sakit adalah bagian dari hidup. Sakitnya Rayhan, bisa saja, cara Allah mengukur, sejauh mana kamu memperjuangkan niat baik, yang sudah kamu bangun bersama Rayhan.” Aisyah kembali terpaku. “Put, bawa Aisyah ke kamarnya ya, biar dia istirahat dulu,” perintah Rumi. “Baik Kak.” Putri me
Tanpa disadari Aisyah, perasaan yang sama, juga berselimut dalam hati semua orang-orang, yang sangat menyayanginya. Namun, semuanya berusaha, memahami keputusan Aisyah. Semuanya menampakkan kebahagiaan, untuk menguatkan Aisyah. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar perawatan Rayhan. Rayhan masih terbaring sangat lemah. Namun penampillannya sangat istimewa. Dia tampil menggunakan kemeja putih dilengkapi dengan jas hitam. Ketampanannya menyeruak, walaupun wajahnya sangat pucat. Ya Allah, betapa pria ini sangat sempurna, Engkau kirimkan untukku. Ya Allah, semoga ini awal kebahagiaan kami. Aisyah begitu terpana, melihat sosok pria yang dicintainya, terlihat sangat sempurna pagi ini. Semua telah hadir, orang tua Rayhan, seorang pejabat KUA dan saksi dari keluarga Rayhan. “Alhamdulillah semuanya telah berkumpul. Baiklah kita segerakan saja akad nikahnya,” ujar Rumi, memulai.
Kembali ke rumah sakit, Rayhan masih dirawat. Tampak Aisyah, sangat semangat mengurusi kebutuhan suaminya. Terlihat kasih sayang dan ketulusannya, yang begitu besar pada Raihan. Di tengah kesibukannya merapikan pakaian Rayhan, ada panggilan telepon dari kakaknya, Rumi. “Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam, iya Kak?” “Bagaimana kabar Rayhan, Syah?” “Alhamdulillah kata dokter, besok sudah bisa pulang, Kak.” “Alhamdullilah. Kak Rumi sangat bahagia mendengarnya. Jadi kalian pulang ke mana?” “Mas Rayhan setuju, untuk sementara ke rumah Kakak? Boleh kan, Kak?” “Apa enggak masalah, Syah?” “Tidak dong, Kak. Kan, Aisyah sudah berdiskusi dengan Mas Rayhan. Mas Rayhan juga mengerti, Aisyah belum bisa jauh dari Kak Rumi.” “Kalau Kak Rumi sih, enggak masalah.” “Terima kasih, Kak.” “Kok malah terima kasih, Kakak kan, masih Kakak kamu, Syah. Sudah tugas Kakak
Suasana kantor kini sangat berbeda bagi Aisyah, setelah Rayhan kembali bekerja. Dia berada di kantor yang sama dengan kakaknya, pun dengan suaminya. Kadang terdengar suara teman-teman kantornya bercanda, “Ini sudah jadi kantor keluarga kamu, ya, Syah?” Hening. Walaupun hanya candaan, tetapi Aisyah merasa terganggu dengan ucapan-ucapan tersebut. Akhirnya, niatnya yang telah dia pikirkan beberapa hari ini, dia sampaikan ke suaminya. “Mas, bagaimana kalau Aisyah, pindah kerja saja?” “Lho, kok mau pindah kerja?” “Aku enggak nyaman, Mas. Sekantor sama suami sendiri, aku risih jadinya.” “Kok, begitu sih, Sayang? Kan kalau sekantor dengan suami sendiri, kamu bisa melepaskan rindu setiap saat.” “Mas, aku serius! Tolong deh, jangan selalu bercanda.” “Siapa yang bercanda, Sayang. Mas serius. Kenapa kamu risih, apa ada orang yang menyakiti kamu di kantor?”