“Cora, ada apa?” tanya Reno dengan suara dipelankan. Ia heran melihat Cora bereaksi keras dan menatapnya dengan sangat gugup.
Reno memberi isyarat pada pelayan restoran untuk menunggu, sementara ia menarik Cora, menepi di luar pintu restoran itu. “Reno, aku— sepertinya aku tidak bisa menemanimu,” ucap Cora dengan gugup. Cora tidak ingin menemui pria itu—Sofyan Nor Afrizal. “Kenapa?” tanya Reno dengan tatapan penuh selidik. Ia merasa heran mengapa Cora tiba-tiba saja berubah pikiran. Cora menggeleng. “Aku— tiba-tiba aku merasa tidak enak badan…” ujar Cora beralasan. Tanpa disadari, jari -jari tangan Cora bergerak meremas sisi gaunnya. Ia sangat gugup dan gelisah. Dan hal itu tidak lepas dari pengamatan Reno. “No, Cora. Kamu tidak bisa mundur sekarang!” seru Reno dengan nada memaksa. “Reno, kamu— kamu bisa meminta apa saja. Tetapi aku tidak bisa melakukan ini,” ucap Cora sambil menatap Reno dengan memohon. “Melakukan ini? Apa yang membuatmu begitu gelisah? Apakah ada seseorang yang membuatmu takut?” tanya Reno mencoba mencari tahu apa yang membuat Cora begitu gelisah. Cora menggigit bibirnya. Ia tidak bisa memberitahu Reno siapa dan mengapa ia tidak mau menemui Sofyan. “Tidak, bukan—bukan itu…” Cora menampiknya sembari menggeleng dengan gelisah. “Lalu?” tanya Reno sambil memperhatikan raut wajah Cora yang tidak bisa menutupi kecemasannya. Cora tetap diam. Dia menggigit bibir bawahnya, menjaga agar mulutnya tidak mengatakan apa pun mengenai apa yang ia rasakan. Reno menghela nafas, dan ia berjalan mendekat. Dengan sedikit membungkuk, dipegangnya kedua lengan Cora. “Cora, kamu ingin mengikuti kompetisi itu? Aku akan mensponsorinya! Tetapi aku ingin kamu melakukan hal yang sama untukku!” ucap Reno dengan perlahan sambil menatap Cora dengan tatapan serius. Cora menatap balik Reno. Ia bisa merasakan kalimat Reno itu adalah sebuah ultimatum. Ultimatum bahwa dia pun berharap kerjasama yang seimbang darinya. “Here’s the deal,” ucap Reno menjeda, memberi Cora tatapan penuh arti. “Alasan aku mengajakmu malam ini adalah karena aku membutuhkanmu untuk berpura-pura menjadi tunanganku, calon istriku, agar Papa tidak menjodohkanku dengan—siapa pun orang yang diinginkannya!” Cora membelalakkan matanya dengan terkejut. Calon istri? Itu sebabnya Reno ingin mereka berdua menemui Papanya? “Bagaimana? Kamu setuju? Kamu membutuhkan sponspor, dan aku membutuhkan seorang istri…” tanya Reno dengan tatapan yang masih sangat serius. “T-tapi Reno… a-aku tidak bisa menjadi istrimu…” ucap Cora dengan gugup. Bagaimana mungkin ia menikah dengan Reno dan berhadapan kembali dengan Sofyan? Kening Reno berkerut. “Kenapa tidak? Kamu—belum menikah kan?” Cora menggeleng. Tentu ia belum menikah. Hanya saja… “Kalau begitu kenapa? Apa aku tidak cukup baik untuk jadi suamimu?” tanya Reno dengan nada tinggi. Dilepaskannya Cora dengan kesal. “Aku cukup baik untuk jadi sponsormu, tapi aku tidak cukup baik untuk menjadi suamimu?” tanya Reno lagi dengan nada sarkas, menyindir Cora. Cora menggeleng dengan cepat. “Tidak, bukan itu…” tampik Cora dengan gelisah. Cora merasa serba salah. Ia ingin memberitahu Reno mengapa ia tidak bisa menemui Sofyan dan bahkan menikah dengannya. Tapi, ia tidak bisa melakukan itu. “Lalu apa?” Reno menatapnya tajam. Cora masih dapat melihat kekecewaan dan rasa sakit yang dulu pernah ia torehkan di hati pria di hadapannya itu. Cora merasa kontradiksi. Ia melihat ke dalam restoran, lalu kepada Reno. “Reno—” “Kamu pikir aku membutuhkanmu untuk bisa membuat Lumiere menjadi terkenal?” sergah Reno sebelum Cora sempat berbicara. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil berjalan perlahan mendekati Cora. “Dengan ataupun tanpa dirimu, aku bisa membuat Lumiere terkenal. Hanya masalah waktu. Tapi kamu? Bisakah kamu ikut kompetisi tanpa sponsor dariku?” Cora menundukkan wajahnya. Reno benar. Jika pria itu ingin mengangkat Lumiere dengan cepat, dia bisa saja melakukannya. Dia punya uang dan sumber daya yang dibutuhkan. Dan sebaliknya, dirinyalah yang sebenarnya membutuhkan Reno. Reno kembali memegang kedua lengan Cora. “Lihat aku!” Cora mengangkat wajahnya dan bertemu dengan kedua pasang mata yang begitu lekat menatapnya. Seperti dua buah magnet, kedua bola mata mereka seakan saling terikat satu sama lain. “Jika kamu setuju menjadi istriku, aku akan membantumu, tidak hanya mensponsorimu, namun juga mengambil kembali apa yang menjadi milikmu.” “Siapa pun di dalam sana yang membuatmu begitu takut,” ucap Reno sambil menunjuk dengan matanya ke arah restoran. “Tidak akan berani untuk menyakitimu. Jadi istriku, dan aku akan melindungimu.” Cora bisa merasakan bulu kuduknya merinding mendengar ucapan Reno. Pria di hadapannya ini terlihat begitu serius dengan kata-katanya. Tanpa sadar ia menggenggam erat kedua tangannya. Ia tahu ini tidak akan mudah, apalagi jika ia harus bersinggungan kembali dengan Sofyan. Akan tetapi ia yakin Reno akan menepati janjinya. Bayangan Eric dan Janet yang telah mengkhianati dan memperlakukannya dengan kasar, membuatnya membulatkan tekad. “Oke!” jawabnya dengan menatap Reno. Reno menatap Cora dengan senyuman di wajahnya. Ia mengangguk mendukung keputusan Cora, seakan Cora telah membuat pilihan yang tepat. Ia melepaskan pegangannya dan sebagai gantinya membuka telapak tangannya. “Kita masuk?” Cora menatap tangan yang besar dengan jari-jari yang ramping dan kokoh di hadapannya. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan pria itu. Dengan bergandengan tangan, keduanya berjalan masuk ke dalam restoran dan membiarkan pelayan restoran itu mengantarkan mereka ke meja yang dituju. Dan di sanalah ia melihat Sofyan—Papa Reno, sedang duduk bersama tiga orang lainnya. Jika ia ingin Reno mendukungnya dalam kompetisi itu, maka jalan satu-satunya adalah menghadapi Sofyan sebagai calon istri Reno. Dengan langkah yang pasti, Cora menggenggam tangan Reno lebih erat, sehingga pria itu menoleh dan melakukan hal yang sama dengan tangannya.Kedua bola mata Cora membesar. Jantungnya berdebar tidak menentu. Apa yang harus ia lakukan?Tidak, tidak! Ia tidak bisa lari! Jika ia lari, semua akan sia-sia!Dengan sisa keberanian yang ada, Cora memberanikan diri menoleh!Dan di sana, berjarak kurang dua meter darinya, seorang pria berjalan dengan tatapan mata tajam yang tertuju padanya.Cora mengerutkan keningnya, heran bercamput terkejut dan takut. Dia bukan pria yang ia pikirkan! Siapa dia? Cora belum pernah melihat atau bertemu dengannya. Dia bahkan bukan pria yang ia lihat ada di dalam rekaman CCTV di mall!Pria itu berjalan semakin dekat. Dan dia menyeringai mengetahui Cora menatapnya.Meskipun Cora merasakan teror, namun nalurinya menyuruhnya memperhatikan gerak-gerik pria itu. Tatapan matanya bukanlah tatapan mata yang ramah. Jelas dia memeiliki maksud tidak baik!Insyingnya menyuruhnya untuk berlari saat itu juga, namun kakinya seakan tidak mau beranjak. Dan bahkan keingintahuannya akan sosok pria itu semakin besar. Co
Wijaya Corporation.Eric berjalan memasuki ruangan kantornya. Namun ia dikejutkan dengan kehadiran Leon—Papanya.Ia berhenti tepat di depan pintu sebelum melanjutkan berjalan dan berkata, “Mau apa Papa ke sini?”Melewati Leon yang duduk di kursi roda, Eric berjalan langsung menuju meja kerjanya.“Eric, Papa tahu Papa salah karena tidak pernah hadir selama beberapa tahun belakangan ini. Tetapi Papa punya alasan,” ujar Leon dengan wajah murung. Ia lalu menggulir kursi rodanya mendekati Eric.“Dan alasan apa yang membenarkan orang tua untuk meninggalkan anak-anaknya?” tanya Eric sambil melitik Leon. Ia lalu duduk di kursinya dan dengan terang-terangan menatap Leon.Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh ayahnya itu.“Papa tidak punya pembelaan. Apapun alasan Papa, Papa tetap salah. Maafkan Papa.” Leon tidak berusaha membela diri. Apapun masalah yang dihadapinya di masa lampau, tidak seharusnya ia melepaskan Eric dan Tania dari pengawasannya. “Maaf…” Eric menghela nafas. “Apakah semuda
“Aku hanya menginginkan hak paten Adorable Glam, dan sekarang, Adorable Glam adalah milik—Janet…” “Kurang ajar! Kalian berdua bersekongkol mencuri karyaku! Aku akan menuntut kalian!” Cora menutup mulutnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Apa yang dilihatnya di layar laptop itu begitu jelas seperti baru kemarin terjadi. Ia tahu apa yang akan terjadi setelah setiap adegan itu. Karena ia yang mengalaminya. Saat video itu berakhir dengan mereka menyeretnya keluar, Cora masih saja menatap layar laptopnya. Sebuah rekaman CCTV kejadian beberapa bulan yang lalu di rumah keluarga Wijaya ada di hadapannya. Dan ia tidak tahu siapa yang memberikannya, atau alasan kenapa orang itu memberikannya. CCTV di rumah itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Jadi siapa pun yang memberinya rekaman itu punya akses untuk terhadap rumah dan CCTV di sana. Tapi siapa? Eric? Rasanya tidak mungkin. Eric tidak akan mengirimkan video yang bisa membuka tabir keburukannya sendiri. Dan buat apa dia mel
Cora memperhatikan flash disk di tangannya. Ia tidak ingat memiliki benda itu. Ia kembali duduk di kursi sambil mengingat-ingat, di mana ia pernah melihatnya.Dan ingatan Cora kembali pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Cukup lama sebenarnya. Saat itu ia ingat menemukan flash disk itu di dalam kantong belanja bersama dengan pil kontrasepsi yang ia beli dari apotik di mall.Ia pikir USB Flash drive itu milik Fendi atau Rina—kedua rekan kerjanya di Lumiere, yang tidak sengaja terbawa olehnya. Ia berniat mengembalikanya kepada mereka. Namun karena kesibukan, ia benar-benar lupa, hingga saat ini.“Ahh… bagimana mungkin aku lupa!” umpatnya pada diri sendiri.Fendi atau Rina pasti telah lama mencari benda ini, batin Cora sambil ia menggenggam benda pipih itu. Ia lalu beranjak dan berjalan keluar ruangan untuk mencari kedua rekan kerjanya.Untungnya, ia menemukan mereka tengah berkumpul bersama beberapa karyawan Lumiere lainnya. “Kalian sedang apa?” Cora heran melihat mereka sangat ser
“A-apa maksudmu? Aku— aku tidak mengenalnya. Aku hanya kebetulan berpapasan saja!” Rita menyangkal dengan terbata-bata.“Jangan bohong!” bentak Leon. “Katakan terus terang! Apa— kamu yang menyuruh mereka?” tanya Leon. Nafasnya mulai terlihat berat.“Sudah kubilang, aku tidak mengenal orang itu! Lagipula, polisi sudah mengatakan itu kecelakaan! Kenapa kamu tiba-tiba menuduhku?” sergah Rita dengan kesal sambil menatap Leon.“Karena mereka mengakuinya! Mereka—mengaku ada orang yang membayar mereka untuk menenggelamkan Aphrodite. Dan aku ingin tahu apakah kamu—terlibat hal ini?!”Rita menatap Leon dengan terkejut. “Me-mengakui? Dia mengaku? Dari mana kamu mendengar berita ini?” Rita mengacungkan foto di tangannya.“Jadi—kamu—mengakuinya?” Leon melotot. Nafasnya mulai tersenggal.Rita seperti tidak menyadari kondisi Leon. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba saja ia memicingkan matanya penuh selidik. “Cora! Dia yang memberitahukanmu?” Leon memegangi dadanya dan tangannya berusah
“Tugasmu…Pastikan perempuan itu tidak lagi menjadi masalah!” Eric terdiam. Ia lalu mengangguk pelan. “Baik Mah…”Rita menatap putranya itu dengan mengerutkan keningnya. “Eric, apa kamu—ragu?” Eric mundur selangkah lalu berbalik badan. “Tidak Mah, aku hanya lelah saja. Aku—baru pulang dari Ascot, masalah Janeta, lalu Noval…” ia menghela nafas berat.“Eric!” Rita menahan lengan Eric dan membalikkan badan putranya itu. “Kamu harus ingat! Semua masalah itu adalah ulah Cora dan suaminya! Mereka yang memenjarakan Janeta, dan sekarang menuduh perusahaanmu menyuap pegawai pemerintah!”“Itu sebabnya kamu harus melakukan sesuatu!” ucap Rita satu persatu dengan perlahan dan tatapan serius.“Berhenti menyuruh putramu melakukan keinginanmu!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah pintu.Rita dan Eric menoleh bersamaan dan melihat Leon dengan kursi rodanya di depan pintu kantor.“Papa?” Eric menatap Leon dengan terkejut sekaligus heran melihat Papanya itu datang ke kantornya. Sementara