Jam setengah tujuh malam, Cora menunggu Reno di apartemen kecil milik Tiara.
Sejak diusir oleh Eric, ia menumpang di aparteman studio temannya itu untuk sementara waktu sampai ia mendapatkan tempat tinggal baru. Di depan cermin, Cora mematut dirinya dalam balutan gaun shimer berwarna broken white, yang membuat kulit bersihnya terlihat lebih cerah. Gaun itu adalah pemberian Reno yang diantar seseorang tadi sore. Cora tidak tahu persis mengapa Reno mempersiapkannya sedemikian rupa untuk makan malam ini. Ia menduga, Reno akan mengajaknya makan malam bersama koleganya. Itu mungkin alasan dia mengirimkannya gaun indah sebatas lutut itu. Tiba-tiba saja telepon genggam Cora bergetar, memberi notifikasi saat sebuah pesan masuk. “Aku dibawah.” Membaca pesan pendek itu, Cora bisa menebak jika pesan dari nomor tanpa identitas itu adalah Reno. Ia pun menjawab pendek. “Oke.” Setelah memastikan kembali penampilannya malam itu, Cora berjalan keluar apartemen dan turun untuk menemui pria itu. Di depan lobi apartemen, pandangan Cora langsung tertuju pada sebuah mobil sport berwarna merah. Mobil itu sangat menarik perhatian siapa saja yang melihatnya karena tampilannya yang luar biasa indah. Body mobil tersebut mempunyai lekukan yang sangat indah, detil dan dirancang dengan sangat apik. Sudah pasti mobil Ferrari jenis itu memiliki harga yang sangat mahal. Sebagai seorang designer, Cora sangat mengagumi mobil Ferrari itu dari segi keindahannya, meskipun ia tidak mengerti benar type mobil tersebut. “Kamu menyukainya?” Cora menoleh ke asal suara dan barulah dia melihat Reno—yang terlihat tampan dengan mengenakan sweater hitam dan celana dark grey yang pas ditubuhnya. Figur pria itu terlihat bagus dan menarik dengan apa pun yang dikenakannya. Reno berdiri sambil menatap Cora tanpa berkedip. Diantara jari telunjuk dan tengahnya, dia menyelipkan sepuntung rokok yang asapnya mengepul tipis ke udara. Setelah menghisap dan mengepulkan asap rokoknya, Reno mematikan puntung itu di tempat yang disediakan di dekatnya, kemudian ia berjalan mendekat sambil matanya tidak lepas memperhatikan Cora. Menyadari tatapan Reno yang tertuju padanya, Cora merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, dan entah mengapa ia menjadi salah tingkah. Cora berusaha menyingkirkan rasa gugupnya dan memberanikan diri menatap pria itu. Bagaimana pun ia harus terlihat percaya diri. Seperti seseorang yang sedang melakukan wawancara pekerjaan, ia harus menunjukkan bahwa dirinya pantas mewakili perusahaan Reno. Apa pun tantangan yang Reno berikan padanya malam ini, ia harus bisa melewatinya. “Mobilnya… bagus sekali,” jawabnya dengan suara senormal mungkin. Reno tersenyum miring dan berhenti di depannya. Kedua mata hitamnya memperhatikan dengan seksama penampilan Cora. Sekilas, Cora menangkap pancaran mata Reno yang mengagumi penampilannya. Ia pun mengakui penampilannya malam ini cukup menawan. Gaun pemberian Reno yang ia kenakan di tubuhnya sangat pas dan membingkai indah lekuk tubuhnya. “Ehem,” ia berdeham. “Kemana kita malam ini?” tanya Cora mengalihkan perhatian Reno dari menatapnya. Reno mengangkat pandangannya dan bertemu dengan kedua mata foxy Cora. “Ayo! Kita hampir terlambat!” Dengan acuh tak acuh Reno berbalik badan dan berjalan ke arah mobil merah itu. Ia membuka pintunya dan mempersilahkan Cora masuk. Sambil menunggu Reno duduk di kursi pengemudi, Cora memperhatikan dengan seksama interior mobil sport mewah yang dinaikinya. Baru kali ini ia masuk ke dalam mobil seperti itu, interior bagian dalam di dominasi warna merah dan hitam dan terkesan sangat maskulin. Bahkan bentuk kursinya pun mempunyai cekungan yang cukup dalam, berbeda dari mobil lainnya. “Pakai sabukmu, Cora.” Tanpa disadarinya, Reno telah duduk di kursi pengemudi dan bahkan telah menyalakan mesin mobilnya. Mendengar teguran itu, Cora mencari letak sabuk pengamannya, namun ia merasa sedikit bingung memasangnya. Reno menyorongkan tubuhnya, dan meraih dua sabuk dari sisi kanan dan kirinya, kemudian menyatukannya di bagian depan, persis seperti sabuk mobil yang dipergunakan untuk balapan. “Nah, sudah,” ucap Reno sambil ia membenahi sabuk itu agar nyaman di tubuh Cora. Dan tanpa sengaja pandangan mata keduanya kembali bertemu dengan jarak yang dekat. Cukup dekat untuk bisa merasakan hembusan nafas masing-masing. Cora kembali merasa salah tingkah dengan posisi mereka saat itu. Ia pun menundukkan pandangan dan berucap pelan, “Terima kasih.” Reno tersenyum miring sebelum ia menarik tubuhnya menjauh, kembali duduk mengarah ke depan. Reno mulai mengendarai mobil Daytona SP3 itu membelah jalanan kota Fragrant Harbour. Mobil ceper dengan design modern dan sporty itu melesat dengan halus di jalanan mulus kota, melewati lampu-lampu jalan dan gedung-gedung bertingkat di sekitar mereka. Di kejauhan tampak lampu-lampu yang terlihat seolah berkelap-kelip di daerah pegunungan maupun daerah yang berada dekat ke laut. Suasana malam hari di Fragrant Harbour memang sangat indah. Apalagi kota ini adalah sebuah kota pelabuhan yang berkembang sangat cepat. “Kemana kita pergi?” Cora kembali menanyakan hal yang sama setelah beberapa saat suasana hening diantara mereka. “Ambrosia,” jawab Reno singkat sambil melirik sekilas. “Siapa yang akan kita temui?” tanya Cora memuaskan rasa ingin tahunya. Reno menoleh sesaat, namun ia tidak menjawab dan hanya memberinya tatapan misterius. “Kamu akan lihat nanti.” Cora tidak lagi bertanya. Jawaban itu cukup untuk memberitahukannya jika Reno tidak akan mengatakannya sampai mereka tiba di restoran. Untungnya tidak lama mereka sampai di Ambrosia dan keduanya turun di depan pintu restoran itu. Cora menatap bangunan restoran mewah itu saat Reno memberikan kunci mobil Daytona SP3 nya ke petugas vallet. Ini bukan kali pertamanya ia datang ke restoran itu. Dulu, sewaktu Anjani masih hidup, nenek berusia 75 tahun itu pernah mengajaknya ke sini. Tidak sembarang orang bisa datang dan makan di sana. Untuk bisa menikmati masakan di restoran itu, mereka perlu membuat reservasi terlebih dahulu, sehingga biasanya hanya keluarga kaya atau pengusaha yang sedang melobi bisnis yang pergi ke restoran seperti ini. Melihat restoran itu, Cora bertambah yakin mereka akan menemui rekan bisnis Reno di sana. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam restoran itu, dan berhenti saat seorang pelayan menghampiri mereka. “Selamat malam, apa Bapak sudah mempunyai reservasi?” “Ya, atas nama Sofyan Nor Afrizal,” jawab Reno sambil mengangguk. Sofyan Nor Afrizal? Seluruh tubuh Cora diam membeku mendengar nama itu. “Apa?” Cora tidak sadar bertanya dengan keras. Ia menatap Reno dengan sangat terkejut. Dia kah yang akan mereka temui malam ini?Kedua bola mata Cora membesar. Jantungnya berdebar tidak menentu. Apa yang harus ia lakukan?Tidak, tidak! Ia tidak bisa lari! Jika ia lari, semua akan sia-sia!Dengan sisa keberanian yang ada, Cora memberanikan diri menoleh!Dan di sana, berjarak kurang dua meter darinya, seorang pria berjalan dengan tatapan mata tajam yang tertuju padanya.Cora mengerutkan keningnya, heran bercamput terkejut dan takut. Dia bukan pria yang ia pikirkan! Siapa dia? Cora belum pernah melihat atau bertemu dengannya. Dia bahkan bukan pria yang ia lihat ada di dalam rekaman CCTV di mall!Pria itu berjalan semakin dekat. Dan dia menyeringai mengetahui Cora menatapnya.Meskipun Cora merasakan teror, namun nalurinya menyuruhnya memperhatikan gerak-gerik pria itu. Tatapan matanya bukanlah tatapan mata yang ramah. Jelas dia memeiliki maksud tidak baik!Insyingnya menyuruhnya untuk berlari saat itu juga, namun kakinya seakan tidak mau beranjak. Dan bahkan keingintahuannya akan sosok pria itu semakin besar. Co
Wijaya Corporation.Eric berjalan memasuki ruangan kantornya. Namun ia dikejutkan dengan kehadiran Leon—Papanya.Ia berhenti tepat di depan pintu sebelum melanjutkan berjalan dan berkata, “Mau apa Papa ke sini?”Melewati Leon yang duduk di kursi roda, Eric berjalan langsung menuju meja kerjanya.“Eric, Papa tahu Papa salah karena tidak pernah hadir selama beberapa tahun belakangan ini. Tetapi Papa punya alasan,” ujar Leon dengan wajah murung. Ia lalu menggulir kursi rodanya mendekati Eric.“Dan alasan apa yang membenarkan orang tua untuk meninggalkan anak-anaknya?” tanya Eric sambil melitik Leon. Ia lalu duduk di kursinya dan dengan terang-terangan menatap Leon.Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh ayahnya itu.“Papa tidak punya pembelaan. Apapun alasan Papa, Papa tetap salah. Maafkan Papa.” Leon tidak berusaha membela diri. Apapun masalah yang dihadapinya di masa lampau, tidak seharusnya ia melepaskan Eric dan Tania dari pengawasannya. “Maaf…” Eric menghela nafas. “Apakah semuda
“Aku hanya menginginkan hak paten Adorable Glam, dan sekarang, Adorable Glam adalah milik—Janet…” “Kurang ajar! Kalian berdua bersekongkol mencuri karyaku! Aku akan menuntut kalian!” Cora menutup mulutnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Apa yang dilihatnya di layar laptop itu begitu jelas seperti baru kemarin terjadi. Ia tahu apa yang akan terjadi setelah setiap adegan itu. Karena ia yang mengalaminya. Saat video itu berakhir dengan mereka menyeretnya keluar, Cora masih saja menatap layar laptopnya. Sebuah rekaman CCTV kejadian beberapa bulan yang lalu di rumah keluarga Wijaya ada di hadapannya. Dan ia tidak tahu siapa yang memberikannya, atau alasan kenapa orang itu memberikannya. CCTV di rumah itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Jadi siapa pun yang memberinya rekaman itu punya akses untuk terhadap rumah dan CCTV di sana. Tapi siapa? Eric? Rasanya tidak mungkin. Eric tidak akan mengirimkan video yang bisa membuka tabir keburukannya sendiri. Dan buat apa dia mel
Cora memperhatikan flash disk di tangannya. Ia tidak ingat memiliki benda itu. Ia kembali duduk di kursi sambil mengingat-ingat, di mana ia pernah melihatnya.Dan ingatan Cora kembali pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Cukup lama sebenarnya. Saat itu ia ingat menemukan flash disk itu di dalam kantong belanja bersama dengan pil kontrasepsi yang ia beli dari apotik di mall.Ia pikir USB Flash drive itu milik Fendi atau Rina—kedua rekan kerjanya di Lumiere, yang tidak sengaja terbawa olehnya. Ia berniat mengembalikanya kepada mereka. Namun karena kesibukan, ia benar-benar lupa, hingga saat ini.“Ahh… bagimana mungkin aku lupa!” umpatnya pada diri sendiri.Fendi atau Rina pasti telah lama mencari benda ini, batin Cora sambil ia menggenggam benda pipih itu. Ia lalu beranjak dan berjalan keluar ruangan untuk mencari kedua rekan kerjanya.Untungnya, ia menemukan mereka tengah berkumpul bersama beberapa karyawan Lumiere lainnya. “Kalian sedang apa?” Cora heran melihat mereka sangat ser
“A-apa maksudmu? Aku— aku tidak mengenalnya. Aku hanya kebetulan berpapasan saja!” Rita menyangkal dengan terbata-bata.“Jangan bohong!” bentak Leon. “Katakan terus terang! Apa— kamu yang menyuruh mereka?” tanya Leon. Nafasnya mulai terlihat berat.“Sudah kubilang, aku tidak mengenal orang itu! Lagipula, polisi sudah mengatakan itu kecelakaan! Kenapa kamu tiba-tiba menuduhku?” sergah Rita dengan kesal sambil menatap Leon.“Karena mereka mengakuinya! Mereka—mengaku ada orang yang membayar mereka untuk menenggelamkan Aphrodite. Dan aku ingin tahu apakah kamu—terlibat hal ini?!”Rita menatap Leon dengan terkejut. “Me-mengakui? Dia mengaku? Dari mana kamu mendengar berita ini?” Rita mengacungkan foto di tangannya.“Jadi—kamu—mengakuinya?” Leon melotot. Nafasnya mulai tersenggal.Rita seperti tidak menyadari kondisi Leon. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba saja ia memicingkan matanya penuh selidik. “Cora! Dia yang memberitahukanmu?” Leon memegangi dadanya dan tangannya berusah
“Tugasmu…Pastikan perempuan itu tidak lagi menjadi masalah!” Eric terdiam. Ia lalu mengangguk pelan. “Baik Mah…”Rita menatap putranya itu dengan mengerutkan keningnya. “Eric, apa kamu—ragu?” Eric mundur selangkah lalu berbalik badan. “Tidak Mah, aku hanya lelah saja. Aku—baru pulang dari Ascot, masalah Janeta, lalu Noval…” ia menghela nafas berat.“Eric!” Rita menahan lengan Eric dan membalikkan badan putranya itu. “Kamu harus ingat! Semua masalah itu adalah ulah Cora dan suaminya! Mereka yang memenjarakan Janeta, dan sekarang menuduh perusahaanmu menyuap pegawai pemerintah!”“Itu sebabnya kamu harus melakukan sesuatu!” ucap Rita satu persatu dengan perlahan dan tatapan serius.“Berhenti menyuruh putramu melakukan keinginanmu!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah pintu.Rita dan Eric menoleh bersamaan dan melihat Leon dengan kursi rodanya di depan pintu kantor.“Papa?” Eric menatap Leon dengan terkejut sekaligus heran melihat Papanya itu datang ke kantornya. Sementara