“Reno, apa-apaan ini? Siapa dia?” Sofyan mengecilkan suaranya, namun nada bicaranya tidak luput dari rasa kesal dan geram.
Pria berusia 55 tahun itu langsung mendatangi Reno dan Cora saat melihat keduanya. “Apa Papa tidak mengenalinya?” tanya Reno sambil merangkul Cora dengan mesra, menariknya lebih dekat. Sofyan menatap dengan sinis pada sosok perempuan muda disamping Reno. Ia memicingkan mata memperhatikan dengan seksama siapa gerangan orang yang disebut putranya itu. Menyimpulkan ucapan Reno, ia seharusnya mengenal perempuan yang sangat mesra dirangkul oleh putra semata wayangnya. Tapi, siapa dia? Ia tidak ingat, meskipun ia merasa pernah melihat wajahnya entah di mana. Cora menatap Sofyan sambil tersenyum kecil. Ia membiarkan orang tua Reno itu mengingat siapa dirinya. “Siapa dia?” Sofyan pasrah dan bertanya pada Reno. Reno dan Cora saling beradu pandang dan tersenyum. “Papa, Pak Refaldi, Ibu dan Laura…” ucap Reno sambil menatapa satu persatu orang-orang yang disebutnya. “Dia calon istriku. Namanya Cora.” Calon istri? Raut wajah mereka semua langsung berubah mendengar ucapan Reno. Begitu pula Sofyan. “Cora? Kamu—Cora?” Matanya langsung mengkritisi, menatap dan memperhatikan perempuan yang berdiri di samping putranya itu. Raut wajahnya langsung berubah begitu ia ingat siapa perempuan muda itu. Cora mengumpulkan keberaniannya, dan ia berusaha tersenyum. “Benar, Om. Saya Cora. Apa kabar?” Ia mengulurkan tangannya untuk menyalami pria itu. Namun Sofyan sangat geram dan kesal. Bukannya menerima uluran tangan itu, ia justru menunjuk Cora dengan jarinya, “Kamu… beraninya kamu—” “Sofyan! Apa-apaan ini? Kamu sengaja melakukan ini? Ini yang kamu rencanakan?” Refaldi—pria sepantaran Sofyan yang duduk di meja mereka bersama dua orang lainnya, ikut angkat bicara. Dia menegur Sofyan dengan keras. Fokus Sofyan teralihkan. Ekspresi wajahnya langsung berubah ketika melihat ke arah keluarga Refaldi. “Maaf Pak Refaldi, ini pasti hanya kesalahpahaman. Reno tidak memiliki calon istri. Biar saya berbicara dengannya.” Sofyan berusaha menenangkan orang itu. “Tidak ada kesalahpahaman, Pak Refaldi.” Reno sengaja ikut bicara. Ia mengambil inisiatif mendekat bersama Cora disisinya. “Cora tunangan saya. Kami sudah saling mengenal cukup lama, dan saya merasa cocok dengannya,” ucapnya dengan santai sambil sesekali menunjukkan kemesraannya kepada mereka dengan gestur tubuhnya. Refaldi yang terlihat semakin geram beranjak dari duduknya. “Sofyan! Apa maksud semua ini? Kamu mau mempermalukan kami?” Sofyan tidak dapat menutupi kepanikannya. Ia melirik Reno dengan tajam, menyalahkan putranya itu dengan apa yang terjadi. “Pak Refaldi, saya tidak bermaksud seperti itu. Hubungan mereka tidak seperti itu…” “Apa maksud Papa? Kami sangat serius dengan hubungan kami, dan aku akan menikahinya.” Bagai menyiram minyak pada api, Reno sengaja memperkeruh suasana dengan tatapan polos yang ia perlihatkan. “Reno!” Sofyan menegurnya dengan keras. “Cukup!” teriak Refaldi dengan geram. Teriakan bernada tinggi itu tidak hanya menarik perhatian Reno, Cora dan Sofyan, namun juga banyak pasang mata yang ada di restoran itu. “Mama, Laura! Ayo!” Merasakan tatapan mata orang-orang di sekitar mereka, Refaldi memerintahkan istri dan putrinya untuk keluar dari restoran itu. “Pak Refaldi, tunggu! Biar saya jelaskan…” Sofyan berusaha membujuk Refaldi untuk tinggal. “Jelaskan apa? Sudah jelas Reno datang bersama tunangannya! Berani-beraninya kamu mengundang kami datang untuk menjodohkan dia dengan putri kami!” sergah Refaldi dengan geram. “Tapi Pak Refaldi. Ini tidak seperti yang terlihat. Percayalah…” Sofyan masih berusaha mencegah pengusaha dari kota Eastern Spring itu untuk tinggal. Ia bahkan melirik Reno dan Cora dengan tajam menunjukkan betapa kesalnya ia akan apa yang kedua orang itu lakukan. Namun Refaldi dan istrinya sudah begitu kesal, sehingga mereka tidak menggubris Sofyan dan pergi. Setelah tidak berhasil mempertahankan keluarga Refaldi, Sofyan terang-terangan memberi tatapan tajam pada Reno dan Cora. Ia mendengus kasar. “Kalian pasti sengaja melakukan ini kan? Tidak mungkin kalian benar-benar akan menikah!” sergahnya dengan memicingkan mata. Reno terkekeh pelan, ia menunduk sebelum mengangkat wajahnya dan menatap Papanya itu dengan menantang. “Terserah apa kata Papa. Yang pasti aku akan menikahi Cora.” Sofyan menatap Cora dengan kilatan di matanya. “Beraninya kamu mendekati Reno kembali…” Cora menelan ludahnya. Tatapan mata licik itu selalu membuatnya bergidik. Akan tetapi ia berusaha menguatkan dirinya. “Maaf Om, tapi… saya mencintai Reno…” Cora berbicara dengan sedikit menunduk sebelum ia mengangkat wajahnya dan memberi Reno tatapan yang lembut. Bagaikan gayung bersambut, Reno juga melakukan hal yang sama, meneruskan sandiwara mereka. “Aku juga mencintaimu, Cora…” Sofyan mendengus tidak percaya. Ia lalu bertepuk tangan. “Bagus sekali sandiwara kalian!” sindirnya sambil menatap mereka berdua. “Kalian pikir aku akan percaya?” tanyanya sebelum menatap Reno. “Kamu lupa bagaimana dia meninggalkanmu demi laki-laki lain?” Sofyan sengaja mengungkit masa lalu hubungan Reno dan Cora. Dengan mengingatkan Reno akan kejadian itu, ia harap Reno akan memperlihatkan padanya hubungan mereka yang sebenarnya. “Dan kamu!” sergahnya sambil beralih pada Cora. “Jangan pikir kamu akan lolos begitu saja!” Ekspresi wajah Cora berubah mendengar ancaman Sofyan. Apa yang akan dia lakukan kali ini?Kedua bola mata Cora membesar. Jantungnya berdebar tidak menentu. Apa yang harus ia lakukan?Tidak, tidak! Ia tidak bisa lari! Jika ia lari, semua akan sia-sia!Dengan sisa keberanian yang ada, Cora memberanikan diri menoleh!Dan di sana, berjarak kurang dua meter darinya, seorang pria berjalan dengan tatapan mata tajam yang tertuju padanya.Cora mengerutkan keningnya, heran bercamput terkejut dan takut. Dia bukan pria yang ia pikirkan! Siapa dia? Cora belum pernah melihat atau bertemu dengannya. Dia bahkan bukan pria yang ia lihat ada di dalam rekaman CCTV di mall!Pria itu berjalan semakin dekat. Dan dia menyeringai mengetahui Cora menatapnya.Meskipun Cora merasakan teror, namun nalurinya menyuruhnya memperhatikan gerak-gerik pria itu. Tatapan matanya bukanlah tatapan mata yang ramah. Jelas dia memeiliki maksud tidak baik!Insyingnya menyuruhnya untuk berlari saat itu juga, namun kakinya seakan tidak mau beranjak. Dan bahkan keingintahuannya akan sosok pria itu semakin besar. Co
Wijaya Corporation.Eric berjalan memasuki ruangan kantornya. Namun ia dikejutkan dengan kehadiran Leon—Papanya.Ia berhenti tepat di depan pintu sebelum melanjutkan berjalan dan berkata, “Mau apa Papa ke sini?”Melewati Leon yang duduk di kursi roda, Eric berjalan langsung menuju meja kerjanya.“Eric, Papa tahu Papa salah karena tidak pernah hadir selama beberapa tahun belakangan ini. Tetapi Papa punya alasan,” ujar Leon dengan wajah murung. Ia lalu menggulir kursi rodanya mendekati Eric.“Dan alasan apa yang membenarkan orang tua untuk meninggalkan anak-anaknya?” tanya Eric sambil melitik Leon. Ia lalu duduk di kursinya dan dengan terang-terangan menatap Leon.Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh ayahnya itu.“Papa tidak punya pembelaan. Apapun alasan Papa, Papa tetap salah. Maafkan Papa.” Leon tidak berusaha membela diri. Apapun masalah yang dihadapinya di masa lampau, tidak seharusnya ia melepaskan Eric dan Tania dari pengawasannya. “Maaf…” Eric menghela nafas. “Apakah semuda
“Aku hanya menginginkan hak paten Adorable Glam, dan sekarang, Adorable Glam adalah milik—Janet…” “Kurang ajar! Kalian berdua bersekongkol mencuri karyaku! Aku akan menuntut kalian!” Cora menutup mulutnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Apa yang dilihatnya di layar laptop itu begitu jelas seperti baru kemarin terjadi. Ia tahu apa yang akan terjadi setelah setiap adegan itu. Karena ia yang mengalaminya. Saat video itu berakhir dengan mereka menyeretnya keluar, Cora masih saja menatap layar laptopnya. Sebuah rekaman CCTV kejadian beberapa bulan yang lalu di rumah keluarga Wijaya ada di hadapannya. Dan ia tidak tahu siapa yang memberikannya, atau alasan kenapa orang itu memberikannya. CCTV di rumah itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Jadi siapa pun yang memberinya rekaman itu punya akses untuk terhadap rumah dan CCTV di sana. Tapi siapa? Eric? Rasanya tidak mungkin. Eric tidak akan mengirimkan video yang bisa membuka tabir keburukannya sendiri. Dan buat apa dia mel
Cora memperhatikan flash disk di tangannya. Ia tidak ingat memiliki benda itu. Ia kembali duduk di kursi sambil mengingat-ingat, di mana ia pernah melihatnya.Dan ingatan Cora kembali pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Cukup lama sebenarnya. Saat itu ia ingat menemukan flash disk itu di dalam kantong belanja bersama dengan pil kontrasepsi yang ia beli dari apotik di mall.Ia pikir USB Flash drive itu milik Fendi atau Rina—kedua rekan kerjanya di Lumiere, yang tidak sengaja terbawa olehnya. Ia berniat mengembalikanya kepada mereka. Namun karena kesibukan, ia benar-benar lupa, hingga saat ini.“Ahh… bagimana mungkin aku lupa!” umpatnya pada diri sendiri.Fendi atau Rina pasti telah lama mencari benda ini, batin Cora sambil ia menggenggam benda pipih itu. Ia lalu beranjak dan berjalan keluar ruangan untuk mencari kedua rekan kerjanya.Untungnya, ia menemukan mereka tengah berkumpul bersama beberapa karyawan Lumiere lainnya. “Kalian sedang apa?” Cora heran melihat mereka sangat ser
“A-apa maksudmu? Aku— aku tidak mengenalnya. Aku hanya kebetulan berpapasan saja!” Rita menyangkal dengan terbata-bata.“Jangan bohong!” bentak Leon. “Katakan terus terang! Apa— kamu yang menyuruh mereka?” tanya Leon. Nafasnya mulai terlihat berat.“Sudah kubilang, aku tidak mengenal orang itu! Lagipula, polisi sudah mengatakan itu kecelakaan! Kenapa kamu tiba-tiba menuduhku?” sergah Rita dengan kesal sambil menatap Leon.“Karena mereka mengakuinya! Mereka—mengaku ada orang yang membayar mereka untuk menenggelamkan Aphrodite. Dan aku ingin tahu apakah kamu—terlibat hal ini?!”Rita menatap Leon dengan terkejut. “Me-mengakui? Dia mengaku? Dari mana kamu mendengar berita ini?” Rita mengacungkan foto di tangannya.“Jadi—kamu—mengakuinya?” Leon melotot. Nafasnya mulai tersenggal.Rita seperti tidak menyadari kondisi Leon. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba saja ia memicingkan matanya penuh selidik. “Cora! Dia yang memberitahukanmu?” Leon memegangi dadanya dan tangannya berusah
“Tugasmu…Pastikan perempuan itu tidak lagi menjadi masalah!” Eric terdiam. Ia lalu mengangguk pelan. “Baik Mah…”Rita menatap putranya itu dengan mengerutkan keningnya. “Eric, apa kamu—ragu?” Eric mundur selangkah lalu berbalik badan. “Tidak Mah, aku hanya lelah saja. Aku—baru pulang dari Ascot, masalah Janeta, lalu Noval…” ia menghela nafas berat.“Eric!” Rita menahan lengan Eric dan membalikkan badan putranya itu. “Kamu harus ingat! Semua masalah itu adalah ulah Cora dan suaminya! Mereka yang memenjarakan Janeta, dan sekarang menuduh perusahaanmu menyuap pegawai pemerintah!”“Itu sebabnya kamu harus melakukan sesuatu!” ucap Rita satu persatu dengan perlahan dan tatapan serius.“Berhenti menyuruh putramu melakukan keinginanmu!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah pintu.Rita dan Eric menoleh bersamaan dan melihat Leon dengan kursi rodanya di depan pintu kantor.“Papa?” Eric menatap Leon dengan terkejut sekaligus heran melihat Papanya itu datang ke kantornya. Sementara