Setelah Seline menjawab dengan anggukan mantap, Elang kembali mencium bibirnya. lebih dalam, lebih yakin. Seline merespons dengan pelan tapi pasti, tangannya naik ke dada Elang, meraba kancing yang masih tersisa di kemejanya. Jemarinya sempat gemetar, berusaha membuka satu per satu, tapi gerakannya tak cukup cepat. Elang membiarkannya sebentar, sebelum akhirnya mengambil alih dengan cekatan. Beberapa detik kemudian, kancing-kancing itu terlepas, dan kemejanya meluncur ke lantai, dibiarkan begitu saja. Tubuh mereka makin dekat. Nafas makin berat. Tak ada kata-kata, hanya suara napas yang mengisi ruangan. Dengan gerakan lembut, Elang menggiring Seline untuk rebah di atas ranjang. Ia tidak tergesa. Tak sekalipun memaksa. Jari-jari Elang menyapu rambut Seline ke samping, lalu meraih resleting di punggung gaun yang Seline kenakan. Ia menurunkannya perlahan. Hanya cukup untuk mengekspos kulit bahu yang pucat dan hangat. Lalu bibirnya mendarat di sana, satu ciuman pelan yang terasa le
Acara pernikahan usai dengan segala gemerlapnya, dan kini hanya keheningan yang menyelimuti kamar hotel mewah tempat mereka menginap.Seline berdiri di tengah ruangan, perlahan melepas jas milik Elang yang masih melingkupinya. Ia tidak langsung meletakkannya, melainkan menyampirkannya di lengannya, seperti memeluk sesuatu yang tak ingin dilepas terlalu cepat.Di sisi lain ruangan, Elang berdiri membelakangi Seline, tengah membuka kancing bajunya satu per satu. Namun gerakannya terhenti ketika sebuah suara lirih memanggil namanya.“Elang.”Nada itu bukan sekadar panggilan. Ada keberanian yang diselipkan di balik ragu. Keberanian untuk bertanya tentang sesuatu yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Elang menoleh pelan, menatap Seline."Arlena itu... mantan kekasihmu?" tanya Seline akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada getar yang sulit disembunyikan.Elang tak terlihat terkejut. Ia sudah menduga Seline tahu. Tapi yang tidak ia sangka, Seline memilih untuk menanyakannya secara langsung.“
Begitu mereka sampai di kamar mandi, Karina menutup pintu dengan tenang.Dan seketika, topeng ramah yang tadi ia kenakan lenyap.Wajahnya berubah dingin. Sorot matanya tajam. Cara berdirinya, bersedekap di ambang pintu, menciptakan jarak yang terasa menekan.Seline berjalan ke wastafel tanpa banyak bicara. Ia membasahi tangannya, lalu mulai mengusap bagian bajunya yang terkena noda minuman. Gerakannya tenang, tapi ada kegelisahan tipis di matanya yang memantul lewat cermin.Sementara itu, Karina hanya berdiri diam. Mengamatinya terang-terangan.“Kau memang miskin,” ucapnya akhirnya, nadanya ringan tapi penuh sindiran. “Tapi aku yakin kau tidak sebodoh itu untuk tidak paham situasi... dan tahu siapa Arlena sebenarnya.”Seline terdiam. Tangannya berhenti bergerak sejenak. Ia menatap Karina dari pantulan kaca, wajahnya tetap tenang.“Aku tidak tahu kau sedang bicara apa,” balasnya datar.Karina tersenyum miring. “Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Ia melangkah masuk perlahan, suaranya te
Arlena menatap punggung Elang yang kini menjauh, masih menggenggam tangan istrinya dengan sikap posesif yang sulit diabaikan.Sorot matanya tajam. Bibirnya mengatup rapat.Langkah Elang begitu cepat, seolah tak ingin memberi ruang apa pun untuk interaksi—apalagi nostalgia.“Maaf, aku telat,” ucap seseorang yang datang dengan tergesa-gesa dari arah belakang.Arlena menoleh, tatapannya langsung tertuju pada perempuan itu. Sorot matanya masih menyiratkan kekesalan yang belum reda.“Kau tidak bilang Elang datang bersama istrinya,” katanya dingin, penuh protes.Karina berdiri tenang di sampingnya. Ekspresinya datar, suaranya tenang seperti biasa. “Kau tidak bertanya tentang itu.”Jawabannya sederhana. Tanpa pembelaan. Tanpa nada bersalah.Karina memang menjawab setiap pertanyaan Arlena dengan jujur. Tapi selalu singkat, to the point, dan tidak lebih dari yang ditanyakan. Ia memberi informasi, ya. Tapi hanya sebatas yang dibayar.Dan informasi dari Karina… tidak murah.Arlena tahu itu. Tapi
Hari keberangkatan ke Bali akhirnya tiba.Seline sudah menyiapkan semua sejak malam sebelumnya. Dua koper—satu untuknya, satu lagi milik Elang. Isinya tidak banyak, hanya pakaian secukupnya untuk perjalanan tiga hari dua malam. Bukan untuk liburan juga, pikirnya. Mereka ke sana hanya untuk menghadiri pernikahan, bukan bulan madu.Pagi itu, mereka diantar oleh sopir pribadi Elang. Saat sampai di bandara, Seline tidak perlu repot-repot menarik koper sendiri. Orang-orang Elang sudah mengurus semuanya, dari bagasi hingga akses masuk khusus.Tiket mereka kelas bisnis. Seline sempat mengernyit saat tahu detailnya. Elang memang tidak pernah setengah-setengah dalam hal kenyamanan.Dan saat mereka melangkah di area boarding, barulah Seline benar-benar merasa… ini seperti potongan adegan dari drama.Suaminya, Elang adalah CEO muda, sekaligus produser musik ternama, berjalan tenang di sampingnya. Dengan setelan kasual elegan, jam tangan mahal di pergelangan, dan kacamata hitam yang menggantung
Beberapa hari terakhir, hidup Seline hanya berputar di dalam apartemen.Bangun pagi, memasak, membersihkan ruangan seperlunya, lalu membiarkan waktu berlalu begitu saja. Kadang ia pergi ke swalayan kecil di dekat gedung untuk membeli kebutuhan harian. Tapi selebihnya, hari-harinya terasa datar dan sepi.Semua rutinitas itu mulai membuatnya bosan.Ia butuh melakukan sesuatu. Bukan untuk mengisi waktu, tapi untuk menjaga kewarasannya.Akhirnya, di suatu siang yang terasa terlalu lengang, Seline memutuskan keluar. Ia mengambil jaket tipis dan dompet kecil, lalu melangkah pergi tanpa tujuan yang pasti. Hingga langkahnya berhenti di depan sebuah toko alat kerajinan yang baru ia sadari keberadaannya.Seline berdiri sejenak di depan etalase, matanya menangkap gulungan-gulungan benang berwarna pastel dan rak berisi berbagai ukuran jarum rajut.Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba terasa familiar.Merajut.Hobi lamanya yang dulu begitu ia sukai, namun perlahan terkubur karena kesibukan dan kebutuha