Share

Mengantar Liana

Author: DeealoF3
last update Last Updated: 2022-10-21 21:22:37

Mas Daffi dan Friska. Mereka berdiri angkuh sambil memandang rendah ke arahku. Hei, apa-apaan si Friska? Dia itu kan cuma tamu.

Ah, tapi apa yang bisa kulakukan?

Aroma parfum khas feminin yang berbau vanila, bercampur dengan aroma floral seketika terhidu olehku. Penampilan Friska kali ini juga lagi-lagi mampu membuatku seakan langsung terhujam ke dalam kerak bumi. Kulit seputih pualam yang khas seperti dewi kayangan dan hidung bangir, terpahat begitu cantik di wajahnya.

"Tante Friska, yuk, masuk!" Liana lalu menggandeng tangan Friska, kemudian mengajaknya ke dalam rumah. Ia melewatiku begitu saja.

"Eh, cucu nenek sudah pulang. Pasti capek, ya, habis pulang sekolah?" tanya Mama Juwita yang ikut bergabung bersama kami.

"Iya, Nek. Liana capek banget," jawab Liana manja. Ah, kenapa ia tidak bisa juga bermanja seperti itu padaku?

"Tapi Nek, tadi Liana seneng, deh, Nek. Tante Friska ikutan jemput, terus ngasih Liana boneka. Bagus banget."

"Oh, ya? Mana coba nenek lihat bonekanya."

Gadis kecil itu lalu mengeluarkan sebuah boneka barbie berbaju princess berwarna pink dari dalam tasnya.

"Wah, bagus banget. Jadi ngerepotin kamu ni, Friska, pake ngasih Liana hadiah segala."

"Nggak apa, nggak repot, kok, Tante. Saya senang bisa ngasih hadiah ke Liana." Wanita cantik itu berkata lalu tersenyum. Lubang kecil di salah satu sudut pipi semakin menambah pesona di wajahnya.

"Sini, Mas, tasnya biar Riana bantu letakkan di kamar," tukasku sambil mencoba untuk segera beranjak dari suasana yang sudah mampu membuat dadaku sesak itu.

Tanpa enggan menarik pandangannya sama sekali, Mas Daffi memberikan tas kerjanya. Ia kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya, memandangi wajah Friska.

***

"Mas, apa hari ini aku boleh ikut mengantar Liana les piano?" tanyaku pada Mas Daffi yang baru saja selesai mandi.

Iring semut di atas mata Mas Daffi seketika merapat. "Ngapain kamu mau pake nganter Liana segala? Udah kamu di rumah aja," ujarnya sambil menatap pantulan diri di cermin.

"Ya, sekali-sekali, Mas. Aku kan belum pernah ke tempat les Liana. Sebagai ibunya, ingin juga rasanya datang ke sana," tukasku dengan kalimat yang sudah kutata sebaik mungkin.

"Boleh, kan, Mas? Sekali aja, Mas."

"Terserah Liana saja! Kamu tanya dia baik-baik, kalau Liana nggak mau, kamu nggak usah maksa!"

Setelah selesai mematut diri, Mas Daffi langsung keluar kamar, menuju ruang makan. Aku yang ditinggalkannya begitu saja di kamar masih dapat merasakan aroma parfum maskulin yang Mas Daffi kenakan pagi ini.

Langsung kuhampiri Liana ke kamarnya. Nampak gadis kecil itu masih sibuk menata rambut panjangnya. "Sini, Nak, biar ibu bantu." Kuambil sisir dari tangan Liana lalu menyisiri rambutnya dengan penuh kasih. "Hari ini rambutnya mau diapakan, Nak? Kalau dikepang aja gimana?"

"Terserah," jawabnya sembari tangannya memainkan boneka pemberian Friska.

Gadis kecil di depanku terlihat cantik. Jika diperhatikan lebih lanjut garis wajahnya memiliki kemiripan dengan wajahku, tentu saja mirip dengan wajahku sebelum memiliki luka seperti sekarang. Dulu Papa Asmoro pun pernah menyatakan hal serupa.

"Dah, siap. Anak mama cantik sekali," pujiku pada gadis kecil itu seraya mengusap pelan kepalanya.

"Oh, iya, Liana, boleh nggak ibu ikut nganter ke tempat les?"

Liana merengut. "Mau ngapain?"

"Ibu cuma mau lihat tempat les Liana aja, Kok. Ibu, kan, belum pernah ke sana. Boleh ya, Sayang? Kata Papa, kalau Liana setuju, baru ibu boleh ikut."

Ia mengangguk pelan. Saking bahagianya, mataku sampai berkaca-kaca. Akhirnya aku bisa melihat tempat Liana menghabiskan sebagian besar waktunya di akhir minggu.

***

"Nanti kamu tunggu aja di deket mobil, nggak usah ikutan nganter Liana sampai pagar segala," ujar Mas Daffi yang sedang fokus menyetir.

"Loh, kenapa, Mas?"

"Apa perlu aku kasih tau alasannya?" Dia bertanya dengan tajam.

Aku menunduk, sudah memperkirakan apa yang akan keluar dari mulut Mas Daffi selanjutnya.

Baru saja aku akan menjawab Mas Daffi, ponselku berbunyi. Ada tanda pesan masuk di sana dari nomor yang tidak kukenal.

"Hai Riana. Udah lama ya kita nggak ketemu?"

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Candra Sinaga
cerita nya gak nyambung habisin data aja nih
goodnovel comment avatar
Vierzy Oktavia
tak suwir tu anak ,kurang ajar teman..
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gila yah tuh anak dibikin jd anak durhaka ke mamanya ndiri
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Kebahagiaan Seorang Ibu

    Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pertarungan Dua Saudara

    Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Keluarga Baru

    33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Penyesalan Damar

    Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Petunjuk

    "Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pengakuan Damar

    Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status