Share

Sainganku

Penulis: DeealoF3
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-21 21:21:26

"Masak yang enak, ya. Sebentar lagi, Friska, calon mantu saya yang cantik, mau datang. Ia mau ikut makan siang di sini bersama Daffi dan Liana."

Degup jantungku bertabuh kencang mendengar kalimat Mama Juwita barusan. Friska--wanita cantik itu--mau makan siang di sini? Walaupun selama ini aku selalu berusaha untuk bersikap santai, tapi tak kupungkiri kehadiran Friska di rumah ini selalu mampu membuatku merasa ingin menghilang saja. Pesonanya selalu saja membuat pandangan Mas Daffi tidak dapat beralih. Bahkan ia juga sudah mampu mengambil hati Liana, anakku.

Mama Juwita yang paham betul bagaimana sikap Mas Daffi dan Liana, semakin gigih saja memperjuangkan agar Mas Daffi bisa segera memperistri Friska, terlebih sepeninggal Papa Asmoro. Friska yang dulu tidak pernah berani datang ke rumah, kini bisa dengan leluasa datang ke sini, sesuka hati. Tak dipedulikannya status Mas Daffi yang masih beristri. Ia merasa mendapatkan dukungan penuh dari Mama Juwita.

"Iya, Nyonya," jawab Bik Sumi seraya memperhatikan raut wajahku yang mulai berubah.

"Umm, dan kamu juga Riana, jangan lupa juga masak sup ikan gurame favorit Friska. Kata dia hari ini lagi ingin makan sup buatan kamu. Saya mau dia merasa diterima dengan baik di rumah ini," perintah Mama yang hanya kutanggapi dengan anggukan pelan.

Setelah selesai bicara, Mama Juwita lalu meninggalkan dapur, kembali menuju kamarnya.

Bik Sumi kembali mengusap pelan punggungku. Tanpa bisa kutahan, air mata sudah memenuhi kedua pelupuk mata. "Ibu ga papa? Atau biar saya saja yang menyelesaikan masaknya, ya. Ibu istirahat aja di kamar."

Aku menggeleng pelan. "Ga apa, Bik. Mata saya cuma pedih terkena bawang, kok. Nih, lihat, hidung saya juga ikutan berair," jawabku sambil mencoba tersenyum lalu menyambungnya dengan tawa hambar.

"Oh iya, Bik. Ikan guramenya udah disisikkan? Tinggal dipotong aja, kan? Bibik tolong bantu masakkan ikannya ya. Saya mau masak ayam goreng kesukaan Liana dulu."

Bik Sumi mematuhi perintahku. Dengan cekatan, ia langsung mengambil ikan gurame dari dalam kulkas, lalu memotongnya menjadi empat bagian. Setelah dicuci bersih, lalu ditaburinya dengan perasan air jeruk nipis dan sedikit garam, kemudian ia diamkan beberapa saat agar bumbunya meresap.

"Non Friska itu sebenarnya cantik, tapi sayang, ga ada laki-laki yang tertarik padanya." Bik Sumi memulai pembicaraan lagi sambil meneruskan aktivitas memasaknya.

"Hush, Bik. Ga boleh bicara begitu. Lagi pula dari mana Bibik tau kalau ga ada yang mau sama Friska?"

"Eh, Bu. Memang kenyatannya begitu, kok. Kalau ada laki-laki yang mau, mana mungkin sampai sekarang dia belum nikah? Sampai rela nunggu tujuh tahun hanya demi Pak Daffi jadi duda."

Aku hanya tersenyum mendengar celotehan dari Bik Sumi yang sedikit mampu membuatku terhibur. "Yah, mungkin, jodohnya belum ketemu, Bik. Jodoh itu kan, udah diatur."

"Bener si, Bu, tapi gimana mau cepet ketemu jodohnya, wong, tiap hari dia nempelin Pak Daffi mulu."

Tidak kupungkiri, perkataan Bik Sumi ada benarnya. Jika saja Friska tidak menghabiskan sebagian waktunya bersama Mas Daffi, bisa jadi saat ini ia sudah memiliki pasangan.

***

Jarum jam sudah terlihat segaris. Setelah menyelesaikan aktivitas di dapur, aku segera membersihkan diri. Agar saat Liana pulang nanti, ia tidak risih saat berdekatan denganku.

Beberapa menit kemudian terdengar suara bel pintu berbunyi.

"Sudah Bik, biar saya saja yang buka," ucapku memotong langkah Bik Sumi yang sedang menuju ke pintu. "Bibik tolong siapkan meja makan saja, ya."

Setelah handle pintu terbuka, nampak Liana sudah berdiri di depan sambil merengut.

"Lama banget, si, Bu, buka pintu nya!"

"Eh, anak ibu sudah pulang, capek ya, Nak?"

"Udah tau, masih nanya!" Gadis kecil itu bicara dengan ketus. Sabar, sabar, Riana.

Pandangan mataku kemudian beralih kepada dua sosok manusia yang berdiri di belakang Liana.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Kebahagiaan Seorang Ibu

    Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pertarungan Dua Saudara

    Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Keluarga Baru

    33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Penyesalan Damar

    Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Petunjuk

    "Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pengakuan Damar

    Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status