Share

Sainganku

"Masak yang enak, ya. Sebentar lagi, Friska, calon mantu saya yang cantik, mau datang. Ia mau ikut makan siang di sini bersama Daffi dan Liana."

Degup jantungku bertabuh kencang mendengar kalimat Mama Juwita barusan. Friska--wanita cantik itu--mau makan siang di sini? Walaupun selama ini aku selalu berusaha untuk bersikap santai, tapi tak kupungkiri kehadiran Friska di rumah ini selalu mampu membuatku merasa ingin menghilang saja. Pesonanya selalu saja membuat pandangan Mas Daffi tidak dapat beralih. Bahkan ia juga sudah mampu mengambil hati Liana, anakku.

Mama Juwita yang paham betul bagaimana sikap Mas Daffi dan Liana, semakin gigih saja memperjuangkan agar Mas Daffi bisa segera memperistri Friska, terlebih sepeninggal Papa Asmoro. Friska yang dulu tidak pernah berani datang ke rumah, kini bisa dengan leluasa datang ke sini, sesuka hati. Tak dipedulikannya status Mas Daffi yang masih beristri. Ia merasa mendapatkan dukungan penuh dari Mama Juwita.

"Iya, Nyonya," jawab Bik Sumi seraya memperhatikan raut wajahku yang mulai berubah.

"Umm, dan kamu juga Riana, jangan lupa juga masak sup ikan gurame favorit Friska. Kata dia hari ini lagi ingin makan sup buatan kamu. Saya mau dia merasa diterima dengan baik di rumah ini," perintah Mama yang hanya kutanggapi dengan anggukan pelan.

Setelah selesai bicara, Mama Juwita lalu meninggalkan dapur, kembali menuju kamarnya.

Bik Sumi kembali mengusap pelan punggungku. Tanpa bisa kutahan, air mata sudah memenuhi kedua pelupuk mata. "Ibu ga papa? Atau biar saya saja yang menyelesaikan masaknya, ya. Ibu istirahat aja di kamar."

Aku menggeleng pelan. "Ga apa, Bik. Mata saya cuma pedih terkena bawang, kok. Nih, lihat, hidung saya juga ikutan berair," jawabku sambil mencoba tersenyum lalu menyambungnya dengan tawa hambar.

"Oh iya, Bik. Ikan guramenya udah disisikkan? Tinggal dipotong aja, kan? Bibik tolong bantu masakkan ikannya ya. Saya mau masak ayam goreng kesukaan Liana dulu."

Bik Sumi mematuhi perintahku. Dengan cekatan, ia langsung mengambil ikan gurame dari dalam kulkas, lalu memotongnya menjadi empat bagian. Setelah dicuci bersih, lalu ditaburinya dengan perasan air jeruk nipis dan sedikit garam, kemudian ia diamkan beberapa saat agar bumbunya meresap.

"Non Friska itu sebenarnya cantik, tapi sayang, ga ada laki-laki yang tertarik padanya." Bik Sumi memulai pembicaraan lagi sambil meneruskan aktivitas memasaknya.

"Hush, Bik. Ga boleh bicara begitu. Lagi pula dari mana Bibik tau kalau ga ada yang mau sama Friska?"

"Eh, Bu. Memang kenyatannya begitu, kok. Kalau ada laki-laki yang mau, mana mungkin sampai sekarang dia belum nikah? Sampai rela nunggu tujuh tahun hanya demi Pak Daffi jadi duda."

Aku hanya tersenyum mendengar celotehan dari Bik Sumi yang sedikit mampu membuatku terhibur. "Yah, mungkin, jodohnya belum ketemu, Bik. Jodoh itu kan, udah diatur."

"Bener si, Bu, tapi gimana mau cepet ketemu jodohnya, wong, tiap hari dia nempelin Pak Daffi mulu."

Tidak kupungkiri, perkataan Bik Sumi ada benarnya. Jika saja Friska tidak menghabiskan sebagian waktunya bersama Mas Daffi, bisa jadi saat ini ia sudah memiliki pasangan.

***

Jarum jam sudah terlihat segaris. Setelah menyelesaikan aktivitas di dapur, aku segera membersihkan diri. Agar saat Liana pulang nanti, ia tidak risih saat berdekatan denganku.

Beberapa menit kemudian terdengar suara bel pintu berbunyi.

"Sudah Bik, biar saya saja yang buka," ucapku memotong langkah Bik Sumi yang sedang menuju ke pintu. "Bibik tolong siapkan meja makan saja, ya."

Setelah handle pintu terbuka, nampak Liana sudah berdiri di depan sambil merengut.

"Lama banget, si, Bu, buka pintu nya!"

"Eh, anak ibu sudah pulang, capek ya, Nak?"

"Udah tau, masih nanya!" Gadis kecil itu bicara dengan ketus. Sabar, sabar, Riana.

Pandangan mataku kemudian beralih kepada dua sosok manusia yang berdiri di belakang Liana.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status