Rasa lega yang Arka rasakan saat ini, langkah awal yang baik untuk hubungannya dengan Dila. Setiap perjalanan menuju kantor, Arka selalu menampakkan senyum manisnya dan hal itu tak luput menjadi perhatian Dila.
“Dari tadi senyum terus Kak, lagi bahagia sepertinya,” ungkap Dila.
“Iya memang aku sedang bahagia Dil,” jawab Arka yang terus tersenyum.
“Waw ada kemanjuan sekarang tidak ngomong saya lagi,” balas Dila merasa senang karena Arka sudah berbicara seperti biasanya.
“Iya karena aku ingin kamu nyaman berbicara denganku,”
“Hmm baiklah,” sambung Dila yang tiba-tiba detak jantungnya berdebar.
“Tadi waktu di rumah, aku tidak melihat Vano. Kemana dia?” tanya Arka penasaran.
“Ah iya, Vano saat ini sudah mulai kuliah di Jepang Kak,” jawab Dila.
“Hebat sekali dia. Memang bibit orangtua kamu pintar-pintar,” S
Melia sangat bimbang dengan kerjasama ini, dari awal niatnya sudah licik. Ia berencana memangkas dana yang City Grup berikan untuk menutup hutang perusahaannya, namun karena kepintaran Dila sepertinya langkah Melia akan sulit. Namun jika kerjasama di antara kedua perusahaan tersebut, nantinya akan membuat perusahaan Mahendra semakin jatuh karena semakin sulit mendapatkan pemasukan. Dengan sangat terpaksa akhirnya Melia menyetujui perjanjian tersebut. Meskipun konsekuensi jika pabrik yang di bangun tidak sesuai, perusahaan Mahendra harus menyerahkan saham perusahaan sebesar lima puluh persen. Akhirnya pembahasan mereka telah selesai dengan sesuai harapan Dila berbeda dengan Melia yang tidak sesuai dengan harapannya. “Oke pembahasan kita selesai, aku akhiri dan aku pamit pergi. Satu yang perlu aku katakan, sebetulnya kerjasama ini sangat berguna untuk perusahaanmu karena jika perusahaanmu menyelesaikan proyek i
“Apakah kau bisu! Kenapa tidak bicara? Jawab pertanyaanku Melia!” teriak Satria. “Seandainya masalah ini terdengar sampai ke telinga Arka, kau akan habis Melia! Sebenarnya yang menyuruhku selalu berada di dekat Dila itu karena Arka!” ungkap Satria. Mendengar nama Arka di sebut membuat bola mata Melia melolot. Ia tak percaya bahwa Arka melakukan itu pada Dila. Yang ia tahu, dulu Arka seperti tidak peduli dengan Dila. “Apa kamu bilang, Arka?” tanya Melia memastikan. “Kenapa, kau tak percaya dengan semua perkataan aku?” senyum sinis Satria melihat wajah Melia yang terlihat takut. “Selain picik, kau juga wanita yang bodoh Melia!” “Maksudmu apa bicara seperti itu!” teriak Melia tidak terima dengan perkataan Satria. “Dulu sewaktu SMA, kau pernah kehilangan ponselmu yang katanya mahal itu bukan?” tanya Satria.
Sepanjang perjalanan Dila terus mengumpat karena ulah Melia yang membuatnya naik pitam. Kata demi kata yang di lontarkan Melia padanya selalu saja mengandung kemurkaan. Dila rasa lama kelamaan akan terkena darah tinggi jika terus terusan menghadapi Melia. Untungnya kini Dila mampu melawan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Tak terasa mobil Dila memasuki lataran perusahaannya, perjalanan yang menurut Dila terlalu cepat dari biasanya. Ah mungkin saja karena ia terus memikirkan soal Melia, wanita itu memang sangat hobi mengusik hidupnya dari dulu sampai sekarang. Setelah memakirkan mobilnya, Dila segera berjalan menuju lift lalu menekan tombol dua puluh delapan. Belum juga lift itu sampai di lantai yang di tuju, namun lift itu terbuka di lantai tiga belas karena ada seseorang yang akan menumpang lift tersebut. Seorang pria berwawakan tinggi yang membawa jas nya di tangan kanannya, dan kemeja yang di gulung me
Sepanjang perjalanan kedua insan itu selalu menampakkan senyum di wajahnya. Hari itu menjadi hari bahagia untuk mereka karena akan menjadi moment yang langka. Perbincangan ringan di dalam mobil membuat suasana tidak canggung dan sepi. “Kak kita mau kemana?” tanya Dila pada Arka yang sedang fokus menyetir. “Rencana aku mau ke Saggara Ancol Dil,” jawab Arka. “Mau ngapain kesana Kak?” “Jualan cilok sepertinya ide yang bagus untuk bisnis Dil,” jawab Arka asal. “Serius kamu mau jualan cilok Kak?” tanya Dila serius dengan perkataan Arka. “Kamu ikut saja Dil, nanti kamu akan tahu tujuan aku ajak kamu ke sana,” jawab Arka tertawa heran karena Dila menganggapnya serius. “Hmm baiklah,” sambung Dila memutar bola matanya malas karena pertanyaannya justru di tertawakan oleh Arka. Membutuhkan waktu tiga puluh menit
“Ish Ibu sangat tega sekali tidak memberitahuku,” lirih Dila yang masih di dengar oleh Arka. “Dan sekarang kamu tidak bisa mengelak lagi Dila,” ucap Arka yang kembali menggoda Dila. “Hmm tapi Kak, bagaimana mungkin Kakak bisa mempunyai rasa padaku. Bahkan keluargaku dari kalangan ke bawah,” ungkap Dila sambil menunduk karena merasa ia tidak pantas bersanding dengan Arka yang terlahir dari keluarga terpandang. “Kau ini merendah sekali Dila. Itu bukan alasan jika kamu ingin menolakku Dil,” balas Arka yang mulai kesal karena alasan yang menurutnya tidak masuk akal. Arka sangat malas jika seseorang hanya memikirkan harta dan jabatan. “Lalu bagaimana dengan Pak Dhanu dan Bu Rosa Kak. Mereka pasti tidak setuju jika Kakak menjalin hubungan denganku,” sahut Dila yang kembali mencari alasan untuk menerima Arka karena ketidak yakinnya ia pada keluarga Arka. “Bagaimana mungkin mer
“Jadi bagaimana Dila, masihkah kamu punya pertanyaan lain untuk menjawab perasaan aku? Jika memang niat baikku tidak berati bagimu, tak mengapa. Aku hanya menyampaikan perasaanku yang sesungguhnya, setelah bertahun-tahun rasa ini aku pendam,” ungkap Arka yang menantap Dila seperti wanita bingung. “Bertahun-tahun? Sejak kapan itu Kak?” tanya Dila berganti menantap Arka karena pernyataannya yang membuat Dila terkejut. “Sejak kita di bangku SMA,” balas Arka mantap tanpa ragu. Dila kembali tercengang atas perkataan Arka. Tak di sangka mereka berdua dahulu sama-sama saling menyukai namun perasaan mereka masih terpendam sampai saat ini. Perasaannya terhadap Arka ternyata tidak bertepuk sebelah tangan, ahh betapa bahagianya Dila mendengar penyataan yang keluar dari mulut Arka, sampai ia sudah terlalu lama berdiam diri menatap Arka namun pikirannya berfantasi. “Hey Dila, mengapa kamu hanya diam. Apak
Seorang pria sedang berjalan cepat menuju rumahnya. Pria bernama Alex itu sepanjang jalan selalu waspada tak kala ada sekelompok laki-laki yang berjumlah empat orang berjalan di belakangnya. Alex yang baru saja belanja di salah satu minimarket di dekat rumahnya, merasa ada beberapa pasang mata yang selalu melihat gerak gerik Alex. Alex yang mulai curiga dengan beberapa laki-laki itu, segera mungkin menyelesaikan belanjaannya lalu meninggalkan minimarket itu dengan perasaan gelisah. Dan benar saja beberapa laki-laki tersebut mengikutinya sampai berjalan sejauh itu. Alex sampai saat ini masih waspada karena beberapa minggu yang lalu, ada sekelompok laki-laki yang mencoba mendekamnya. Namun dengan cerdik, Alex mampu mengelabuhinya lalu ia berhasil kabur sampai ke daerah jawa yaitu Cilacap. Tak ingin terus di ikuti, Alex berlari dengan melewati gang sempet supaya sekelompok orang tersebut kehilangan jejaknya. Saat ia melewati gang sempit per
Setelah kurang lebih menempuh waktu enam jam, mereka telah sampai di Jakarta. Faldo yang merupakan orang suruhan Arka segera menghubungi nya lewat telefon untuk menyampaikan informasi jika Alex telah bersamanya. “Hallo Do,” ucap Arka di balik telefon. “Hallo Ka, gue mau kasih tahu kalau Alex sudah sama gue sekarang. Baru saja kita sampai Jakarta. Kira-kira, Alex langsung di bawa ke rumah lu apa sama gue dulu?” tanya Faldo untuk mengetahui kepastian Alex akan di bawa kemana. Alex yang duduk di samping Faldo, mencoba mendengar pembicaraan mereka. Ia dengar dalam diam dan mencerna siapa nama di balik penangkapannya. Ka adalah nama yang di ucapkan Faldo saat itu, dan nama itu sangat asing di telinga Alex. Alex sangat penasaran dengan sosok di balik telefon tersebut. “Syukurlah kalau Alex udah sama lu sekarang Do. Gue minta tolong sama lu, bawa Alex sekarang ke rumah gue Do. Sekarang gue lagi di k