Beberapah hari kemudian tepatnya di malam hari, aku memutuskan menghubungi Kakak ku.
“Hallo!" Sudah lama aku tidak mendengar suara itu, suara yang entah kenapa membuatku merasa bangga menjadi adik kandungnya. Kisah perjalanan hidup yang membuatku kagum sekaligus merasa prihatin padanya, bukan karena aku kasihan, hanya saja semua terlalu rumit bagiku untuk memahami semua yang terjadi, terlalu menyedihkan. Aku masih terlalu mudah untuk memahami pikiran orang dewasa.
"Halo Kak, apa kabar?” Andai bisa jujur, setiap berbicara dengannya aku merasa seperti orang yang tidak tahu apa – apa di muka bumi ini, dia selalu unggul dalam segala hal, serba tahu, dan mmmm entahlah. Kadang dia seperti cerminan dari Ayahku.
“Baik, kau sendiri gimana? Apa kau baik – baik saja disitu setelah meninggalkan kuliahmu, kalau boleh jujur aku sangat kece__”dia menarik napas dalam - dalam, aku diam saja, aku tahu dia akan mengatakan itu. Aku sudah mendengar semuanya dari Ibu. Aku sempat di hubungi beberapa kali oleh dia tapi aku tidak pernah menjawab panggilan telfnonnya.Dia adalah orang pertama yang sangat menyayangkan keputusanku untuk berhenti kuliah. Itu sah – sah saja, mengingat, dialah yang membiayai pendidikanku. Hanya kata 'maaf' yang bisa ku katakan padanya, tapi aku masih terlalu malu dan bahkan egois untuk mengatakan kata yang bahkan hanya mengandung empat huruf.
“Ah, sudalah, lupakan saja, lagian kan kau masih mudah. Masih banyak waktu untuk merenungkan semuanya. Di lain waktu, kau bisa melanjutkan pendidikan yang sesuai dengan keinginanmu.”Aku mendongak keatas, perkataannya barusan membuatku semakin merasa bersalah. Ya Tuhan, manusia macam apa aku ini.
“Kau telfonan sama siapa?" Tiba – tiba aku mendengar suara. Suara yang tidak jauh, tepat berada disamping Kakak ku. Dia siapa? Itu suara perempuan. Apa itu Istrinya? Yang pernah diceritakan Ibuku.“Adikku, kau masih ingat! Orang yang sering kuceritakan padamu, dia adalah adik yang sangat ku banggakan, kau harus bertemu dengannya.” Jawab kakak ku.
“Oh, salam untuk dia!" Entah kenapa Suara perempuan itu terdengar dingin di telingah ku__
“Kau dengar Ciang, Istriku mengirim salam untukmu.”
Ya Tuhan, Secepatnya inikah waktu berlalu. Rasanya baru kemarin kami merasakan hidup sebagai anak – anak. Dan sekarang__ seakan tidak percaya__ Kakak ku satu – satunya orang yang aku banggakan telah menikah.
Ibuku pernah menceritakannya padaku, tapi saat itu aku tidak langsung mempercayai kabar itu, lebih tepatnya aku tidak yakin dia akan menikah secepat itu. Sangat tidak mungkin dia akan segera menikah. Ditambah lagi, kedua Orang Tuaku tidak merestui hubungan mereka.
Bukan hanya itu, kabar yang kudengar, keluarga dari Ibuku juga tidak ada seorang pun yang datang di pernikahan mereka.
Bukan karena tidak ingin menghadiri pernikahannya, tapi mendengar kabar bahwa kedua Orang Tua ku tidak memberikan restu, mereka memutuskan sepakat untuk tidak datang dihari pernikahan Kakak ku andai itu benar - benar terjadi dengan harapan itu tidak akan pernah terjadi.
Namun takdir berkata lain, Kakak ku tetap memutuskan untuk menikahi wanita pilihannya itu. Orang Tua ku tidak bisa berbuat apa –apa, semua sudah terjadi, lagi pula, memisahkan dua insan yang sedang di mabuk asmara sangatlah sulit. Benar – benar hubungan yang rumit.
Aku sendiri tidak mengerti mengapa pihak dari keluargaku tidak ada yang mendukung hubungan mereka! Sampai akhirnya aku tahu apa yang sebnarnya terjadi. Waktulah yang menjawab semuanya.
“Hallo,,,! Hallo,,,! Hallo,,! Ciang? Apa kau mendengarku!” Lamunanku terputus.
aku dikejutkan oleh suaranya."Eh, Ia Kak, maaf! Aku sedang melihat dan memperhatikan sesautu.” Aku mencoba mencari alasan.
“Ya ampun, kau melihat apa? Dari tadi aku terus memanggilmu, tapi kau hanya diam, aku hampir saja memutuskan panggilanmu.”“Maaf Kak, bukan apa – apa kok, hehehe”
“Ya sudah, Istriku kirim salam untukmu”
“Salam balik untuknya Kak.”
“Terus apa rencanamu selanjutnya? Tidak mungkin kan kau menelfonku tanpa ada sesuatu yang ingin kau katakan bukan?"Kakak ku benar, tidak mungkin aku menelfonnya tanpa ada sesuatu. Hubungan darah ini membuat segalanya mudah ditebak.__Tapi hanya untuk sementara, beberapa tahun kemudian, dialah orang yang paling aku benci setelah Ayahku__ Baiklah, aku rasa ini sudah waktunya!Alhamdulillah setibanya di Ambon, beliau langsung di bantu oleh Ayahnya Ahmad. Rumah pengungsi yang di janjikan pemerintah benar – benar dibangun, dengan ukuran 2×3m per unit. Sebagian orang mungkin akan bertanya – tanya mengapa rumah pengungsi yang dibangun terlalu kecil! Apa jadinya bila satu kepala keluarga berjumlah 4 atau 5 orang atau bahkan lebih. Karena ukurannya yang terbilang kecil, ada sebagian warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Entah itu dengan mengontrak rumah atau hanya sekedar mencari kerabat dekat. Meskipun terbilang kecil setidaknya ada hunian, bukan! Kebetulan saat itu Ayahnya Ahmad adalah kepala RT di komplek pengungsian. Ibuku diberikan satu unit. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah korban dari kerusuhan kota Ambon dan sudah seharusnya beliau mendapatkan bagiannya. *** Setelah Ibu menjelaskan keadaan kami. Alahamdulillah pamanku tidak keberatan, toh juga si Adit hanya mampir. Beliau meminta agar Ibuku tidak perlu repot – repot mengurus si
Sebelum matahari terbit, aku langsung menuju pasar. Pagi ini aku sendirian, aku tidak mengajak Fahri ataupun Umar. Mereka masih tidur. Terlalu pulas untuk dibangunkan. Lagipula tidak ada lagi taruhan diantara mereka. Juli juga tidak pernah lagi bermalam disini. Dan itu membuat Umar tidak mempunyai partner untuk bertaruh dengan Fahri. Orang – orang mulai memadati pasar. Dari pedagang, pembeli hingga orang – orang yang hanya sekedar mampir untuk memanjakan mata. Semuanya menyatuh dalam satu frame.Ratusan kata terdengar samar – samar ditelingaku. Ada yang sedang menawar harga barang karena ingin membeli, ada juga yang hanya sekedar iseng menawar seakan ingin membeli dan itu sudah menjadi seni layaknya musik pengantar. Seakan ingin memberikan sentuhan terakhir, suara roda dua dan empat tidak luput dari perhatianku. Bukan karena itu mobil sport atau harley davidson, akan sangat lucu jika itu benar - benar terjadi. Itu hanyalah angkutan umum dan ojek yang selalu setia menunggu penumpang.
“Apa istrimu memang selalu seperti itu! Atau,, apa karena aku membeli ini?” aku segera melontarkan pertanyaan saat aku turun dari motornya sambil menunjukan ponsel yang baru saja aku beli beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya aku sudah ingin bertanya sejak aku masih berada di rumahnya, tapi urung karena aku rasa itu akan terlihat sedikit tidak sopan, aku juga tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Dan aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Sejujurnya aku tidak akan terlalu perduli jika saja ini terjadi kepada orang lain. Tapi biar bagaimanapun dia adalah iparku, istri dari kakak kandungku. Aku tidak bisa diam saja sebagaimana biasanya aku bersikap. Kebetulan di halaman rumah ada beberapa kursi, kami segera duduk. Dia merabah sak celananya, meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang. Pangkal bibirnya mengapit bagian filter kemudian menyalahkan pematik sebelum satu tarikan itu menyemburkan asap yang cukup menutup sebagian wajahnya. “Aku rasa pertanyaanmu suda
Menerutku, pemicunya tidak lain adalah karena hubungan darah. Alih – alih memikirkan hubungan darah, skenario terburuknya bahkan kalian akan di peralat. Berbisnis dengan keluarga lebih cenderung berakhir dengan perselisihan. Rasa was – was tidak akan terhindarkan. Ya, tapi kembali lagi, selama bisa me_manage hubungan darah dalam bisnis, aku rasa semuanya akan baik – baik saja. Lain lagi ceritanya jika membangun sebuah bisnis dan bekerja sama dengan orang luar, kedua bela pihak akan saling terbuka dan berusaha meminimalisir kesalah pahaman. Pritoritasnya adalah kepercayaan. Dari pada hanya sekedar memanfaatkan keuntungan pribadi, mereka akan lebih cenderung meningkatkan progres usaha yang di jalankan. Kalaupun ada yang berani bermain di belakang, itu karena memang dari awal sudah di rencanakan. Tapi kemabli lagi kepada diri sendiri. Selama tidak ada niatan untuk memanfaat kerabat atau pun orang luar! Tidak akan ada keriguan yang berarti. Setidaknya semuanya akan baik – baik saja, buk
Aku tidak perduli bagaimana sistem gaji disini khususnya bagi pedagang orang buton yang menyimpan gaji karyawan dengan iming – iming akan di berikan saat mereka pulang kampung atau paling tidak harus bertahan selama 3 tahun dengan imbalan akan di bantu menjajaki usaha dengan bantuan modal. Jadi begini! Pertama, setelah karyawan kios mampu bertahan selama 3 tahun. Mereka akan diberikan tanggung jawab untuk menjalankan sebuah usaha. Dalam hal ini mereka akan di berikan kios untuk di jalankan sendiri tanpa campur tangan orang lain. Mulai dari biaya kontrak kios hingga barang – barang yang di perlukan sesuai dengan kebutuhan pasar. Kedua, mereka akan di minta untuk mengisi barang – barang yang di butuhkan. Karena baru akan memulai sebuah usaha. Mereka tidak di berikan pilihan selain mengambil barang dari sang Bos. Setelah semua keperluan sudah terlaksana, Barulah sang Bos dan karyawan akan menghitung semua biaya yang di keluarkan. Biasanya, seorang karyawan di gaji Rp. 300.000/bulan. K
Saat aku menatap salah satu di antara mereka, aku tersenyum sambil sedikit membungkukan badan, berlalu mengikuti Kakak Ku. Selanjutnya aku asyik menonton melihatnya memasak.Fahri sudah pernah memberitahuku soal Kakak ku yang jago memasak. Dia menyalahkan kompor, menyiapkan wajan, tak lupa juga menuangkan minyak goreng.Aku mengamatinya dengan cermat, barangkali saja aku bisa sedkit belajar. Sambil menunggu minyak di panaskan. Dia menuangkan tepung bumbu di baskom mini, sepertinya dia akan membuat filet udang.Pyak,, pyak,, pyak!Suara itu terdengar mendominasi saat udang yang memang sudah di baluri tepung bumbu berenang ke dalam minyak yang sudah panas. Sambil menunggu, Perhatiannya teralihkan, dia mengambil pisau dan talenan.Mengiris beberapa bawang, cabe dan tomat. Tidak akan berlebihan jika aku berkata bahwa aku sedang menyaksikan perlombaan memasak, hanya saja kontestan yang mengikuti lomba hanya dia sendiri. Hehehe!Dia mengambi