“Aku ingin datang kesitu.”
“H-ha, apa? Apa aku tidak salah dengar? Kau ingin datang kesini? Yang benar saja Ciang! Bagaimana mungkin seorang Ciang yang sangat mencintai kota kelahirannya ingin datang kesini!” Dia terkejut, lebih tepatnya merasa heran atau mmm entahlah.“Aku serius Kak, aku ingin kesitu, aku ingin mencari pekerjaan. Dan lagian aku rasa tidak ada yang bisa kulakukan di kota ini.” Aku mencoba meyakinkannya. Setidaknya__untuk sementara__
“Kau yakin? Aku khawatir kau tidak akan merasa nyaman disini!"
“Aku sudah yakin dan aku akan berusaha bertahan selama yang aku bisa” Aku menjawab tanpa keraguan__ sejujurnya dari di lubuk hati, aku tidak siap, tapi aku merasa tidak punya pilihan, aku harus berangkat.“Mmmmmm baiklah kalau begitu, kapan kau kesini?”
“Secepatnya Kak”
Aku segera mematikan telfon setelah semua obrolanku dengan Kakak ku selesai. Obrolan kami di malam itu berjalan dengan baik. Dia setuju, dia memintaku untuk menghubunginya lagi jika aku sudah menentukan tanggal keberangkatanku.
Sekarang semuanya tergantung padaku. Apa aku jadi pergi atau tidak!__ dan tanpa sepengetahuanku, di malam aku menelfon Kakak ku, ternyata diam – diam Ahmad menguping pembicaraan kami. Dan itulah kenapa seminggu terkahir ini dia selalu mempertanyakan kepergianku. Sungguh teman yang perhatian.
Setelah kami selasai bermain bola, aku segera mandi untuk membersihkan diri. Hari itu juga aku memutuskan pergi ke kota. Aku meminjam motornya Ahmad. Aku mendongak menatap langit, malam yang indah, bintang - bintang terlihat terang sejauh mata memandang.
Hanya perlu beberapa menit, aku segera memacu motor menuju kantor cabang pelni, letaknya di pelabuhan besar kota Ambon. Kebetulan di depan kantor pelni ada jadwal papan informasi dari setiap kapal.
Aku perhatikan setiap tanggal dan waktu keberangkatan dari setiap jadwalnya, barangkali saja ada kapal yang menuju kesana untuk beberapah hari kedepan.
Dan akhirnya ketemu, 3 hari lagi KM Nggapulu akan tiba di pelabuhan kota Ambon dan berlayar menuju tempat tujuanku. Ya, 3 hari! 3 hari lagi aku akan meninggalkan kota kesayanganku.
Aku segera menemui Ibuku, menjelaskan semuanya. Saat aku pulang, Ahmad sudah menungguku di depan rumah. Terlihat jelas di wajahnya, seperti ada kata ‘PENASARAN’ di jidatnya.
Baiklah, aku sudah membuat keputusan. Cepat atau lambat dia juga akan tahu. Malam itu aku menjelaskan semuanya. Dia terlihat serius mendengar semua kata demi kata yang ku ucapkan. Benar – benar teman yang baik.
Anehnya! Beberapa tahun kemudian, hubungan pertemanan kami sedikit berubah! Kami tidak bermusuhan, tapi aku hanya merasa ada yang aneh dengan proses pendewasaankami, bukan hanya Ahmad, teman – teman yang lain juga seperti itu. Sampai – sampai aku merasa seperti orang asing bagi mereka.
Hanya beberapa menit setelah mendengar penjelasan ku, dia segera memberitahu teman – teman yang lain. Mereka sepakat ingin membuat acara kecil – kecilan untukku. Tak ada alasan untuk menolak.
Aku juga menghubungi Kakak ku, memberitahu bahwa 3 hari lagi aku akan berangkat. Ok, semua urusan ini selasai, tinggal menghitung hari aku akan meninggalkan kota ini.
Aku berjalan menuju kamar, bersiap untuk memanjakan tubuh. Malam ini, tidurku harus berkualitas. Tak ada lagi beban pikiran__setidaknya untuk saat ini.
Sejak memutuskan berhenti kuliah, aku tidak pernah terlelap dalam tidur. Pkiranku kemana – kemana. Dan itu sangat mengganggu.
Waktunya tidur____
Ya ampun, aku menepuk jidatku, segera mengumpat diriku_ Bagaimana mungkin aku bisa melupakan hal penting ini. Bagaiman bisa, bukankah seharusnya dia adalah orang pertama yang harus kuberitahu. Ia, dia yang seharusnya pertama tahu.
Dialah gadis yang selalu setia menemaniku. Dialah gadis pertama yang mau menerima semua kekuranganku. Dialah gadis yang selalu mendukungku dari belakang. Selama ini, jika bukan karena dirinya, belum tentu aku bisa melewati semua masalah yang kuhadapi.
Astaga, kenapa aku bisa lupa, aku mengumpat diriku lagi yang bahkan membuatku tidak percaya bisa lupa untuk memberitahunya hal sepenting ini. Aku segera meraih ponselku.Alhamdulillah setibanya di Ambon, beliau langsung di bantu oleh Ayahnya Ahmad. Rumah pengungsi yang di janjikan pemerintah benar – benar dibangun, dengan ukuran 2×3m per unit. Sebagian orang mungkin akan bertanya – tanya mengapa rumah pengungsi yang dibangun terlalu kecil! Apa jadinya bila satu kepala keluarga berjumlah 4 atau 5 orang atau bahkan lebih. Karena ukurannya yang terbilang kecil, ada sebagian warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Entah itu dengan mengontrak rumah atau hanya sekedar mencari kerabat dekat. Meskipun terbilang kecil setidaknya ada hunian, bukan! Kebetulan saat itu Ayahnya Ahmad adalah kepala RT di komplek pengungsian. Ibuku diberikan satu unit. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah korban dari kerusuhan kota Ambon dan sudah seharusnya beliau mendapatkan bagiannya. *** Setelah Ibu menjelaskan keadaan kami. Alahamdulillah pamanku tidak keberatan, toh juga si Adit hanya mampir. Beliau meminta agar Ibuku tidak perlu repot – repot mengurus si
Sebelum matahari terbit, aku langsung menuju pasar. Pagi ini aku sendirian, aku tidak mengajak Fahri ataupun Umar. Mereka masih tidur. Terlalu pulas untuk dibangunkan. Lagipula tidak ada lagi taruhan diantara mereka. Juli juga tidak pernah lagi bermalam disini. Dan itu membuat Umar tidak mempunyai partner untuk bertaruh dengan Fahri. Orang – orang mulai memadati pasar. Dari pedagang, pembeli hingga orang – orang yang hanya sekedar mampir untuk memanjakan mata. Semuanya menyatuh dalam satu frame.Ratusan kata terdengar samar – samar ditelingaku. Ada yang sedang menawar harga barang karena ingin membeli, ada juga yang hanya sekedar iseng menawar seakan ingin membeli dan itu sudah menjadi seni layaknya musik pengantar. Seakan ingin memberikan sentuhan terakhir, suara roda dua dan empat tidak luput dari perhatianku. Bukan karena itu mobil sport atau harley davidson, akan sangat lucu jika itu benar - benar terjadi. Itu hanyalah angkutan umum dan ojek yang selalu setia menunggu penumpang.
“Apa istrimu memang selalu seperti itu! Atau,, apa karena aku membeli ini?” aku segera melontarkan pertanyaan saat aku turun dari motornya sambil menunjukan ponsel yang baru saja aku beli beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya aku sudah ingin bertanya sejak aku masih berada di rumahnya, tapi urung karena aku rasa itu akan terlihat sedikit tidak sopan, aku juga tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Dan aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Sejujurnya aku tidak akan terlalu perduli jika saja ini terjadi kepada orang lain. Tapi biar bagaimanapun dia adalah iparku, istri dari kakak kandungku. Aku tidak bisa diam saja sebagaimana biasanya aku bersikap. Kebetulan di halaman rumah ada beberapa kursi, kami segera duduk. Dia merabah sak celananya, meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang. Pangkal bibirnya mengapit bagian filter kemudian menyalahkan pematik sebelum satu tarikan itu menyemburkan asap yang cukup menutup sebagian wajahnya. “Aku rasa pertanyaanmu suda
Menerutku, pemicunya tidak lain adalah karena hubungan darah. Alih – alih memikirkan hubungan darah, skenario terburuknya bahkan kalian akan di peralat. Berbisnis dengan keluarga lebih cenderung berakhir dengan perselisihan. Rasa was – was tidak akan terhindarkan. Ya, tapi kembali lagi, selama bisa me_manage hubungan darah dalam bisnis, aku rasa semuanya akan baik – baik saja. Lain lagi ceritanya jika membangun sebuah bisnis dan bekerja sama dengan orang luar, kedua bela pihak akan saling terbuka dan berusaha meminimalisir kesalah pahaman. Pritoritasnya adalah kepercayaan. Dari pada hanya sekedar memanfaatkan keuntungan pribadi, mereka akan lebih cenderung meningkatkan progres usaha yang di jalankan. Kalaupun ada yang berani bermain di belakang, itu karena memang dari awal sudah di rencanakan. Tapi kemabli lagi kepada diri sendiri. Selama tidak ada niatan untuk memanfaat kerabat atau pun orang luar! Tidak akan ada keriguan yang berarti. Setidaknya semuanya akan baik – baik saja, buk
Aku tidak perduli bagaimana sistem gaji disini khususnya bagi pedagang orang buton yang menyimpan gaji karyawan dengan iming – iming akan di berikan saat mereka pulang kampung atau paling tidak harus bertahan selama 3 tahun dengan imbalan akan di bantu menjajaki usaha dengan bantuan modal. Jadi begini! Pertama, setelah karyawan kios mampu bertahan selama 3 tahun. Mereka akan diberikan tanggung jawab untuk menjalankan sebuah usaha. Dalam hal ini mereka akan di berikan kios untuk di jalankan sendiri tanpa campur tangan orang lain. Mulai dari biaya kontrak kios hingga barang – barang yang di perlukan sesuai dengan kebutuhan pasar. Kedua, mereka akan di minta untuk mengisi barang – barang yang di butuhkan. Karena baru akan memulai sebuah usaha. Mereka tidak di berikan pilihan selain mengambil barang dari sang Bos. Setelah semua keperluan sudah terlaksana, Barulah sang Bos dan karyawan akan menghitung semua biaya yang di keluarkan. Biasanya, seorang karyawan di gaji Rp. 300.000/bulan. K
Saat aku menatap salah satu di antara mereka, aku tersenyum sambil sedikit membungkukan badan, berlalu mengikuti Kakak Ku. Selanjutnya aku asyik menonton melihatnya memasak.Fahri sudah pernah memberitahuku soal Kakak ku yang jago memasak. Dia menyalahkan kompor, menyiapkan wajan, tak lupa juga menuangkan minyak goreng.Aku mengamatinya dengan cermat, barangkali saja aku bisa sedkit belajar. Sambil menunggu minyak di panaskan. Dia menuangkan tepung bumbu di baskom mini, sepertinya dia akan membuat filet udang.Pyak,, pyak,, pyak!Suara itu terdengar mendominasi saat udang yang memang sudah di baluri tepung bumbu berenang ke dalam minyak yang sudah panas. Sambil menunggu, Perhatiannya teralihkan, dia mengambil pisau dan talenan.Mengiris beberapa bawang, cabe dan tomat. Tidak akan berlebihan jika aku berkata bahwa aku sedang menyaksikan perlombaan memasak, hanya saja kontestan yang mengikuti lomba hanya dia sendiri. Hehehe!Dia mengambi