Share

Bab 10

Author: Ciang #17
last update Last Updated: 2021-09-07 10:36:39

                     2. Maafkan Aku Qilla

“Apa Kau sudah yakin akan pergi kesana?” tanya Ahmad.

“Entahlah, aku belum pastikan apa aku akan pergi atau tidak! Tapi melihat kondisiku yang sekarang, aku tidak bisa terus - terusan berdiam diri di kota ini. Kau sendiri tahukan! Sebulan terakhir ini kerjaanku hanya makan dan tidur. Aku merasa tidak enak denganmu, terutama Ayah dan Ibumu. Keluarga kalian sudah terlalu baik padaku. Aku harap suatu hari nanti aku bisa membalas kebaikan kalian.”

Sejak aku memutuskan berhenti kuliah, aku pindah ke rumahnya Ahmad. Tempat yang sangat nyaman untuk menenangkan diri. Letaknya di kebun cengkeh, Jl. Perempatan Batu Merah. Keluarga Ahmad sangat baik padaku. Ahmad adalah salah satu teman yang sudah cukup lama ku kenal.

Awal mula perkenalan kami terasa sedikit kaku. Saat itu aku sedang asyik latihan basket bersama teman - temanku. Kebetulan salah satu temanku datang bersama Ahmad__dengan alasan Ahmad ingin ikut latihan bersama kami jika di izinkan. Kami pun setuju, di saat itulah aku dan Ahamd mulai berteman baik.

Aku pindah ke rumahnya bukan tanpa alasan__hubungan yang awalnya memang sudah buruk__menjadi semakin memburuk. Ayahku mengusirku dari rumah. Ibuku juga sangat kecewa dengan keputusanku untuk berhenti kuliah.

Alasannya karena Beliau sudah mengeluarkan banyak uang. Kebiasaannya yang suka mengungkit masalah biaya semakin membuatku ingin benar – benar pergi dari rumah. Tanpa diusirpun__aku memang sudah berniat untuk pergi.

Selama aku tinggal bersama Ahmad__tak ada lagi rutinitas__hanya makan tidur. Sesekali juga keluar mencari angin. 2 minggu setelah kepindahanku, Ibuku menelfon ku__bertanya tentang kabarku.

Ternyata, Beliau sedikit khawatir selama aku meninggalkan rumah. Biar bagaimanapum beliau tetaplah Ibuku. Perasaan khawatirnya sedikit berkurang setelah mendengar ceritaku!! Beliau sudah mengenal keluarga Ahmad dengan baik__tidak ada masalah. Syukurlah, hubunganku dengan Ibu sudah membaik.

Sejak hari itu, Setiap minggu aku pergi berkunjung. Dan setiap aku datang, tak bosan – bosannya beliau memintaku untuk segera pulang. Aku hanya tersenyum, bukan sesuatu yang serius. setidaknya aku dan Ibu sudah berdamai. Itu yang terpenting.

Ayahku? Tak ada kata damai. Bahkan setelah aku meniggalkan kota Ambon, aku tidak menemuinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Tapi aku benar – benar membencinya, sangat membencinya.

Perlakuan kasar yang aku terima membuatku tidak melihatnya sebagai seorang Ayah. Bagiku, dia adalah monster. Itu yang aku rasakan saat masih Anak – Anak.

Bukankah seorang anak akan selalu merasa bahagia saat melihat Ayah mereka pulang kerumah dan selalu merasa terlindungi berada disamping sang Ayah! Tapi yang aku rasakan sangat berbeda, setiap kali melihatnya, perasaan takut menyelimuti diriku.

Aku benar – benar takut. Kesalahan sedikit saja akan membuatku dipukuli__tak ada ampun. Perlakuan yang kudapat membuatku mengalami gangguan psikis__mentalku rusak__meskipun tidak nampak__itu membuatku garang diluar.

Aku melampiaskan semua amarahku diluar. Setiap hari aku berkelahi, tak terkendali, layaknya sebuah mobil kehilangan kontrol, rem blong, kecepatan penuh, siap menabrak apapun yang ada didepan, terjun kejurang, sungai, bahkan lebih dari itu, bisa meledak.

Beruntung, Tuhan masih menolongku, 2 sahabat yang tidak akan pernah terlupakan. Membantu melewati hari – hari kelam dalam hidupku. Terima kasih Tuhan. Mereka berdua jugalah yang melepas kepergianku.

“Ciang! Ciang! Ciang! Hey, kau kenapa? Kau baik – baik saja kan?” Ahmad memutus lamunanku.

“Akhir – akhir ini aku perhatikan kau sering melamun, ada apa?”

“Ah, tidak ap-apa!” Aku menjawab datar.

“Terus gimana! Apa kau jadi pergi?”

Sambil tersenyum aku berdiri dari sofa, berjalan menuju halaman depan rumah, segera mengenekan sepatu futsal.

“Sudah sore, waktunya kita main bola" aku mencoba mengalihkan pembicaraan.  akhir – akhir ini Ahmad selalu mempertanyakan tentang apa aku jadi pergi atau tidak.

“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku Ciang.”

“Ahmad, bukannya aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, tapi untuk saat ini aku juga belum tahu apa aku jadi pergi atau tidak. Cepat pakai sepatumu. Aku duluan.” Aku segera berjalan menuju lapangan.

Di depan rumahnya__ada halaman luas__halaman itu dijadikan lapangan untuk bermain bola. Setiap sore kami selalu menghabiskan waktu untuk bermain. Bahkan teman-teman yang menetap dikota sesekali juga ikut bergabung.

Sangat menyenangkan, bukan karena permainannya, tapi lebih dari itu, aku merasa damai. Sejenak melepaskan beban di kepalaku.

Ahmad benar, akhir – akhir ini aku memang sering melamun, sebenarnya bukan dia saja yang mempertanyakan kepergianku. Aku sendiri mempertanyakan itu. Apa aku benar – benar akan pergi? Apa itu mungkin? Entahlah.

Kota ini adalah kota kelahiranku, terlepas dari semua masalah yang datang silih berganti, aku sangat mencintai kota ini.

Pikiran ini muncul setelah aku berdamai dengan Ibuku__Beliau memberiku saran agar aku menghubungi kakak ku. Barangkali saja aku bisa kesana dan mendapat pekerjaan.

Beliau tidak ingin aku berdiam diri, jika tidak ingin kuliah, aku harus kerja. Itulah yang di inginkannya. Usiaku sudah menginjak 20. Sesuatu yang lazim bagi seorang anak laki – laki untuk mencari pekerjaan.

Aku bukan lagi seorang mahasiswa. Mutlak bagiku untuk mencari pekerjaan. Aku bukan lagi anak kecil. Tidak mungkin aku terus – terusan mengharapkan keluarga Ahmad. Terutama mengharapkan kedua orang Tuaku. Ah, maksudku adalah Ibuku. Aku harus punya penghasilan sendiri untuk membiayai hidupku. Baiklah, sudah saatnya mebuat keputusan babak baru dalam hidupku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 35

    Alhamdulillah setibanya di Ambon, beliau langsung di bantu oleh Ayahnya Ahmad. Rumah pengungsi yang di janjikan pemerintah benar – benar dibangun, dengan ukuran 2×3m per unit. Sebagian orang mungkin akan bertanya – tanya mengapa rumah pengungsi yang dibangun terlalu kecil! Apa jadinya bila satu kepala keluarga berjumlah 4 atau 5 orang atau bahkan lebih. Karena ukurannya yang terbilang kecil, ada sebagian warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Entah itu dengan mengontrak rumah atau hanya sekedar mencari kerabat dekat. Meskipun terbilang kecil setidaknya ada hunian, bukan! Kebetulan saat itu Ayahnya Ahmad adalah kepala RT di komplek pengungsian. Ibuku diberikan satu unit. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah korban dari kerusuhan kota Ambon dan sudah seharusnya beliau mendapatkan bagiannya. *** Setelah Ibu menjelaskan keadaan kami. Alahamdulillah pamanku tidak keberatan, toh juga si Adit hanya mampir. Beliau meminta agar Ibuku tidak perlu repot – repot mengurus si

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 34

    Sebelum matahari terbit, aku langsung menuju pasar. Pagi ini aku sendirian, aku tidak mengajak Fahri ataupun Umar. Mereka masih tidur. Terlalu pulas untuk dibangunkan. Lagipula tidak ada lagi taruhan diantara mereka. Juli juga tidak pernah lagi bermalam disini. Dan itu membuat Umar tidak mempunyai partner untuk bertaruh dengan Fahri. Orang – orang mulai memadati pasar. Dari pedagang, pembeli hingga orang – orang yang hanya sekedar mampir untuk memanjakan mata. Semuanya menyatuh dalam satu frame.Ratusan kata terdengar samar – samar ditelingaku. Ada yang sedang menawar harga barang karena ingin membeli, ada juga yang hanya sekedar iseng menawar seakan ingin membeli dan itu sudah menjadi seni layaknya musik pengantar. Seakan ingin memberikan sentuhan terakhir, suara roda dua dan empat tidak luput dari perhatianku. Bukan karena itu mobil sport atau harley davidson, akan sangat lucu jika itu benar - benar terjadi. Itu hanyalah angkutan umum dan ojek yang selalu setia menunggu penumpang.

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 33

    “Apa istrimu memang selalu seperti itu! Atau,, apa karena aku membeli ini?” aku segera melontarkan pertanyaan saat aku turun dari motornya sambil menunjukan ponsel yang baru saja aku beli beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya aku sudah ingin bertanya sejak aku masih berada di rumahnya, tapi urung karena aku rasa itu akan terlihat sedikit tidak sopan, aku juga tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Dan aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Sejujurnya aku tidak akan terlalu perduli jika saja ini terjadi kepada orang lain. Tapi biar bagaimanapun dia adalah iparku, istri dari kakak kandungku. Aku tidak bisa diam saja sebagaimana biasanya aku bersikap. Kebetulan di halaman rumah ada beberapa kursi, kami segera duduk. Dia merabah sak celananya, meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang. Pangkal bibirnya mengapit bagian filter kemudian menyalahkan pematik sebelum satu tarikan itu menyemburkan asap yang cukup menutup sebagian wajahnya. “Aku rasa pertanyaanmu suda

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 32

    Menerutku, pemicunya tidak lain adalah karena hubungan darah. Alih – alih memikirkan hubungan darah, skenario terburuknya bahkan kalian akan di peralat. Berbisnis dengan keluarga lebih cenderung berakhir dengan perselisihan. Rasa was – was tidak akan terhindarkan. Ya, tapi kembali lagi, selama bisa me_manage hubungan darah dalam bisnis, aku rasa semuanya akan baik – baik saja. Lain lagi ceritanya jika membangun sebuah bisnis dan bekerja sama dengan orang luar, kedua bela pihak akan saling terbuka dan berusaha meminimalisir kesalah pahaman. Pritoritasnya adalah kepercayaan. Dari pada hanya sekedar memanfaatkan keuntungan pribadi, mereka akan lebih cenderung meningkatkan progres usaha yang di jalankan. Kalaupun ada yang berani bermain di belakang, itu karena memang dari awal sudah di rencanakan. Tapi kemabli lagi kepada diri sendiri. Selama tidak ada niatan untuk memanfaat kerabat atau pun orang luar! Tidak akan ada keriguan yang berarti. Setidaknya semuanya akan baik – baik saja, buk

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 31

    Aku tidak perduli bagaimana sistem gaji disini khususnya bagi pedagang orang buton yang menyimpan gaji karyawan dengan iming – iming akan di berikan saat mereka pulang kampung atau paling tidak harus bertahan selama 3 tahun dengan imbalan akan di bantu menjajaki usaha dengan bantuan modal. Jadi begini! Pertama, setelah karyawan kios mampu bertahan selama 3 tahun. Mereka akan diberikan tanggung jawab untuk menjalankan sebuah usaha. Dalam hal ini mereka akan di berikan kios untuk di jalankan sendiri tanpa campur tangan orang lain. Mulai dari biaya kontrak kios hingga barang – barang yang di perlukan sesuai dengan kebutuhan pasar. Kedua, mereka akan di minta untuk mengisi barang – barang yang di butuhkan. Karena baru akan memulai sebuah usaha. Mereka tidak di berikan pilihan selain mengambil barang dari sang Bos. Setelah semua keperluan sudah terlaksana, Barulah sang Bos dan karyawan akan menghitung semua biaya yang di keluarkan. Biasanya, seorang karyawan di gaji Rp. 300.000/bulan. K

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 30

    Saat aku menatap salah satu di antara mereka, aku tersenyum sambil sedikit membungkukan badan, berlalu mengikuti Kakak Ku. Selanjutnya aku asyik menonton melihatnya memasak.Fahri sudah pernah memberitahuku soal Kakak ku yang jago memasak. Dia menyalahkan kompor, menyiapkan wajan, tak lupa juga menuangkan minyak goreng.Aku mengamatinya dengan cermat, barangkali saja aku bisa sedkit belajar. Sambil menunggu minyak di panaskan. Dia menuangkan tepung bumbu di baskom mini, sepertinya dia akan membuat filet udang.Pyak,, pyak,, pyak!Suara itu terdengar mendominasi saat udang yang memang sudah di baluri tepung bumbu berenang ke dalam minyak yang sudah panas. Sambil menunggu, Perhatiannya teralihkan, dia mengambil pisau dan talenan.Mengiris beberapa bawang, cabe dan tomat. Tidak akan berlebihan jika aku berkata bahwa aku sedang menyaksikan perlombaan memasak, hanya saja kontestan yang mengikuti lomba hanya dia sendiri. Hehehe!Dia mengambi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status