Share

Bab 10

                     2. Maafkan Aku Qilla

“Apa Kau sudah yakin akan pergi kesana?” tanya Ahmad.

“Entahlah, aku belum pastikan apa aku akan pergi atau tidak! Tapi melihat kondisiku yang sekarang, aku tidak bisa terus - terusan berdiam diri di kota ini. Kau sendiri tahukan! Sebulan terakhir ini kerjaanku hanya makan dan tidur. Aku merasa tidak enak denganmu, terutama Ayah dan Ibumu. Keluarga kalian sudah terlalu baik padaku. Aku harap suatu hari nanti aku bisa membalas kebaikan kalian.”

Sejak aku memutuskan berhenti kuliah, aku pindah ke rumahnya Ahmad. Tempat yang sangat nyaman untuk menenangkan diri. Letaknya di kebun cengkeh, Jl. Perempatan Batu Merah. Keluarga Ahmad sangat baik padaku. Ahmad adalah salah satu teman yang sudah cukup lama ku kenal.

Awal mula perkenalan kami terasa sedikit kaku. Saat itu aku sedang asyik latihan basket bersama teman - temanku. Kebetulan salah satu temanku datang bersama Ahmad__dengan alasan Ahmad ingin ikut latihan bersama kami jika di izinkan. Kami pun setuju, di saat itulah aku dan Ahamd mulai berteman baik.

Aku pindah ke rumahnya bukan tanpa alasan__hubungan yang awalnya memang sudah buruk__menjadi semakin memburuk. Ayahku mengusirku dari rumah. Ibuku juga sangat kecewa dengan keputusanku untuk berhenti kuliah.

Alasannya karena Beliau sudah mengeluarkan banyak uang. Kebiasaannya yang suka mengungkit masalah biaya semakin membuatku ingin benar – benar pergi dari rumah. Tanpa diusirpun__aku memang sudah berniat untuk pergi.

Selama aku tinggal bersama Ahmad__tak ada lagi rutinitas__hanya makan tidur. Sesekali juga keluar mencari angin. 2 minggu setelah kepindahanku, Ibuku menelfon ku__bertanya tentang kabarku.

Ternyata, Beliau sedikit khawatir selama aku meninggalkan rumah. Biar bagaimanapum beliau tetaplah Ibuku. Perasaan khawatirnya sedikit berkurang setelah mendengar ceritaku!! Beliau sudah mengenal keluarga Ahmad dengan baik__tidak ada masalah. Syukurlah, hubunganku dengan Ibu sudah membaik.

Sejak hari itu, Setiap minggu aku pergi berkunjung. Dan setiap aku datang, tak bosan – bosannya beliau memintaku untuk segera pulang. Aku hanya tersenyum, bukan sesuatu yang serius. setidaknya aku dan Ibu sudah berdamai. Itu yang terpenting.

Ayahku? Tak ada kata damai. Bahkan setelah aku meniggalkan kota Ambon, aku tidak menemuinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Tapi aku benar – benar membencinya, sangat membencinya.

Perlakuan kasar yang aku terima membuatku tidak melihatnya sebagai seorang Ayah. Bagiku, dia adalah monster. Itu yang aku rasakan saat masih Anak – Anak.

Bukankah seorang anak akan selalu merasa bahagia saat melihat Ayah mereka pulang kerumah dan selalu merasa terlindungi berada disamping sang Ayah! Tapi yang aku rasakan sangat berbeda, setiap kali melihatnya, perasaan takut menyelimuti diriku.

Aku benar – benar takut. Kesalahan sedikit saja akan membuatku dipukuli__tak ada ampun. Perlakuan yang kudapat membuatku mengalami gangguan psikis__mentalku rusak__meskipun tidak nampak__itu membuatku garang diluar.

Aku melampiaskan semua amarahku diluar. Setiap hari aku berkelahi, tak terkendali, layaknya sebuah mobil kehilangan kontrol, rem blong, kecepatan penuh, siap menabrak apapun yang ada didepan, terjun kejurang, sungai, bahkan lebih dari itu, bisa meledak.

Beruntung, Tuhan masih menolongku, 2 sahabat yang tidak akan pernah terlupakan. Membantu melewati hari – hari kelam dalam hidupku. Terima kasih Tuhan. Mereka berdua jugalah yang melepas kepergianku.

“Ciang! Ciang! Ciang! Hey, kau kenapa? Kau baik – baik saja kan?” Ahmad memutus lamunanku.

“Akhir – akhir ini aku perhatikan kau sering melamun, ada apa?”

“Ah, tidak ap-apa!” Aku menjawab datar.

“Terus gimana! Apa kau jadi pergi?”

Sambil tersenyum aku berdiri dari sofa, berjalan menuju halaman depan rumah, segera mengenekan sepatu futsal.

“Sudah sore, waktunya kita main bola" aku mencoba mengalihkan pembicaraan.  akhir – akhir ini Ahmad selalu mempertanyakan tentang apa aku jadi pergi atau tidak.

“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku Ciang.”

“Ahmad, bukannya aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, tapi untuk saat ini aku juga belum tahu apa aku jadi pergi atau tidak. Cepat pakai sepatumu. Aku duluan.” Aku segera berjalan menuju lapangan.

Di depan rumahnya__ada halaman luas__halaman itu dijadikan lapangan untuk bermain bola. Setiap sore kami selalu menghabiskan waktu untuk bermain. Bahkan teman-teman yang menetap dikota sesekali juga ikut bergabung.

Sangat menyenangkan, bukan karena permainannya, tapi lebih dari itu, aku merasa damai. Sejenak melepaskan beban di kepalaku.

Ahmad benar, akhir – akhir ini aku memang sering melamun, sebenarnya bukan dia saja yang mempertanyakan kepergianku. Aku sendiri mempertanyakan itu. Apa aku benar – benar akan pergi? Apa itu mungkin? Entahlah.

Kota ini adalah kota kelahiranku, terlepas dari semua masalah yang datang silih berganti, aku sangat mencintai kota ini.

Pikiran ini muncul setelah aku berdamai dengan Ibuku__Beliau memberiku saran agar aku menghubungi kakak ku. Barangkali saja aku bisa kesana dan mendapat pekerjaan.

Beliau tidak ingin aku berdiam diri, jika tidak ingin kuliah, aku harus kerja. Itulah yang di inginkannya. Usiaku sudah menginjak 20. Sesuatu yang lazim bagi seorang anak laki – laki untuk mencari pekerjaan.

Aku bukan lagi seorang mahasiswa. Mutlak bagiku untuk mencari pekerjaan. Aku bukan lagi anak kecil. Tidak mungkin aku terus – terusan mengharapkan keluarga Ahmad. Terutama mengharapkan kedua orang Tuaku. Ah, maksudku adalah Ibuku. Aku harus punya penghasilan sendiri untuk membiayai hidupku. Baiklah, sudah saatnya mebuat keputusan babak baru dalam hidupku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status