Home / Rumah Tangga / Ketika Adikku Inginkan Suamiku / Bab 2. Jemput Malamu, Mas!

Share

Bab 2. Jemput Malamu, Mas!

last update Last Updated: 2024-12-10 16:47:42

*****

Aku selalu menasehati Melur agar bersikap dewasa, logika, tegas,  jangan naif dan jangan bodoh. Jujur, aku hanya bisa menasehati. AKu hanya bisa bicara. Sesungguhnya, aku sendiri memiliki sifat itu. Aku naif. Aku tidak bisa menggunakan logika. Aku begitu bodoh.  Tetap mencintai kekasih sahabatku sendiri. Meski sakit tak henti mendera hati.

Hari ini, adalah puncak  rasa sakit itu. Mas Reno sudah sah melamar pilihan hatinya. Melur berhasil mendapatkan cinta sejatinya. Aku turut memperjuangkan  proses lamaran ini. Aku bahkan ikut menyusun segala sesuatunya demi tercapainya hari bahagia mereka ini.

Kukira aku kuat. Kukira hatiku seperti hati Melur yang seperti malaikat. Ternyata aku tak sanggup. Aku juga mansia biasa. Aku sakit. Saat Mas Reno memakaikan kalung di leher jenjang Melur, aku bahagia, dan sangat lega. Tetapi, ada rasa ngilu teramat sangat menusuk ulu hati. Aku tak sanggup lagi. Aku pergi meninggalkan acara..

Kutumpahkan air mata sederas-derasnya. Aku meraung sekuatnya. Derasnya air yang mengali dari keran kamar mandi toko ini, tak mampu menyaingi derasnya air mata yang tumpah dari mataku. Biarlah, biarkan sampai kering. Agar tak ada lagi air mata yang akan tumpah saat menyaksikan Ijab Kabul mereka nanti.  Biarlah kukuras hari ini.

Tangisan ini, sesak ini, sakit ini, cemburu ini, amarah ini, harus kutumpahkan semuanya. Di sini, di kamar mandi sempit ini.

Ada rasa lega, sesaat setelahnya. Kubasuh seluruh wajah. Kucuci bekas air mata tumpah. Gegas aku keluar. Untunglah toko dalam keadaan sepi. Hanya Pak Basir kulihat sibuk di gudang. Pasti dia tidak mendengar tangisan dan raunganku barusan.

Setelah mengeringkan wajah, lalu kukeluarkan peralatan make up sederhana dari dalam tas.  Kutaburi bedak agak tebal di wajah, sengaja menutupi mendung yang masih bergelayut di sana. Kuhias  bagian mata. Bagian mata adalah yang paling utama agar tak terlihat sembab karena baru saja airnya terkuras. Sekarang pewarna bibir. Kupatut pantulan wajah dari cermin kecil di tangan. Ok, sempurna. Sekarang tinggal mengukir senyum semanis mungkin untuk kutunjukkan di depan Melur sahabatku dan Mas Reno cinta matiku.

Aku melangkah keluar dari toko. Kedua sejoli itu ada di halaman. Kenapa mereka di luar? Mas Reno menyentuh wajah Melur, seperi menghapus air mata. Melur menangis? Kenapa?

Gegas kudekati mereka.

“Hey, kalian di luar? Kenapa?” sapaku mengagetkan keduanya.

Segera Mas Reno menarik jemarinya dari pipi Melur. 

“Selamat, ya! Akhirnya … duh, yang mau jadi pengantin baru … eh, kamu menangis, ya? Kok, matamu basah?”  Kuseka tetes bening yang masih tersisa di sudut mata sahabatku.

“Menagis haru, La. Aku sangat terharu,” lirihnya memelukku. Aku balas memeluknya. Semoga Melur bahagia. Semoga tak akan pernah  ada lagi duka yang mendera hidupnya.

“Iya, perjalanan cinta kalian penuh liku, aku juga ikut terharu. Tapi, semuanya sudah berakhir dengan bahagia, kan, Mel? Sekali lagi, selamat, ya!”

Melur melonggarkan pelukan.  “Sama Mas Reno,kamu enggak ngucapin selamat juga? Masa aku aja?” protesnya mengerucutkan bibir ranumnya.

“Iya, dong, pasti,” sahutku menoleh kepada Mas Reno.

Pemuda tampan itu rupanya sedang memandangiku. Kumis tipis yang menghiasi bibir bagusnya bergerak halus, mungkin karena angin, atau embusan nafasnya yang terdengar di hela.

Sorot mata itu menembus sampai ke dalam jantung. Kembali hatiku berdebar. Kenapa debaran ini tak juga sirna …! Ah, aku harus bisa menyembunyikannya. Harus.

“Selamat, ya, Mas …!” ucapku sambil mengukir senyum.

*

VOP Diky

“Jemput Mala-mu, Mas!”

Kalimat perintah dari Melur persis seperti perintah Komandan yang harus segera aku laksanakan. Bedanya, kalau perintah Komandan kulaksanakan penuh keikhlasan dan rasa tanggung jawab. Sedangkan perintah Melur mengisyaratkan luka dan rasa was-was. Malaku sedang menangis? Di kamar mandi toko tempat dia bekerja. Apa yang terjadi? Apa yang dia tangisi?

Bekerja? Bukan, Mala di toko sahabatnya bukan bekerja. Tetapi, membimbing. Dia bekerja di sana bukan untuk mengharapkan gaji atau penghasilan. Semua dilakukannya murni karena rasa persahabatan.

Gegas kusambar kunci motor, langsung tancap gas menuju rumah sahabat karibnya, Melur.

Beruntung jadwalku hari ini sedang of. Aku bisa langsung bergerak begitu di telepon. Padahal tadi pagi, aku sempat meminta izin pada Mala, agar ikut menyaksikan proses lamaran sahabatnya, yang kini harus jadi sahabatku juga. Bahkan dia telah mengultimatum, kalau Melur adalah orang yang paling istimewa baginya.

Tujuan utamanya saat ini adalah kebahagiaan Melur. Apapun akan dilakukannya untuk mewujudkan itu. Termasuk mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

“Sampai kapan kamu akan menjadi pembantu Melur?” protesku suatu kali. Saat itu dia minta aku menjadi pacar sandiwaranya.

Awalnya aku menolak, kenapa mesti bersandiwara, kalau toh, aku sangat mencintainya? Aku bisa menadi pacar yang sesungguhnya.  Bahkan, kalau dia bersedia keluargaku datang melamarnya, saat itu juga bisa. Namun, dia tak pernah menganggapku. Cinta yang kutawarkan hanya angin lalu baginya. Aku tau dia masih sangat mencintai Reno, kekasih sahabatnya itu. Sahabat yang sedang diperjuangkannya.

“Sampai Melur menemukan kebahagiaan sejatinya. Bila saat itu tiba, aku akan menyingkir dari kehidupannya. Saat ini dia sedang rapuh. Sama rapuhnya dengan Mas Reno. Mereka berdua adalah korban. Orang-orang terdekatnya berkhianat. Termasuk kasir di tokonya. Aku harus menggantikan kasir itu untuk sementara. Jika keadaan sudah membaik, aku akan segera melepasnya. Untuk pacaran sungguhan, aku tidak bisa. Tetapi aku sangat membutuhkan dirimu saat ini, berpura-puralah menjadi kekasihku. Agar Melur percaya, bahwa aku sudah bisa melupakan Mas Reno,” tuturnya kala itu.

Tanpa canggung, Mala mengungkapkan rasa cinta yang begitu besar kepada kekasih sahabatnya sendiri. Dia mengakui itu kepadaku, padahal jelas-jelas aku menaruh hati padanya.

Sebenarnya ada rasa kecewa, marah, dan cemburu. Tetapi, aku tak berhak melakukannya. Cinta tak bisa dipaksa. Namun, boleh berharap tentu saja. Aku tak akan pernah berhenti berharap. Menunggu sampai pintu hatinya terbuka. Meski kutahu, pintu hati itu telah tertutup rapat, dikuncinya dengan gembok yang maha kuat. Anak kuncinya telah dibuang jauh entah ke mana. Bisa saja sudah hancur atau berkarat.

Namun, kuyakin kesempatan itu tetap ada. Yang di atas, Dialah zat yang Maha Tahu segalanya. Dia juga Zat yang Maha Mebolak-balikkan hati manusia. Dengan kebesaran-Nya, kuyakin kelak suatu saat, hati Mala akan terbuka juga.

Kuparkirkan sepeda motorku di halaman toko, langsung berlari menuju kamar mandi. Kuketuk kasar. Deburan air di dalam, sedikit menenangkan hati. Malaku baik-baik saja, begitu pikirku.

“Eh, Pak Polisi, maaf, ada apa, Pak? Sebentar saya masih nanggung.” Seorang karyawan toko membuka pintu sedikit, dan mengeluarkan kepalanya.

“Oh, maaf. Saya kira Mala ada di dalam,” ucapku kaget.

“Mbak Mala di dalam rumah, Pak Pol! Silahkan ke sana aja! Hari ini lamaran Mbak  Melur.”

“Iya – iya --, baik. Terima kasih.”

 Mala ternyata sudah tak ada di toilet toko. Semoga dia baik-baik saja.

******

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 68. Ekstra part 2 (Tamat)

    ****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 67.  Ekstra Part 1

    *****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 66. Gerimis di Akhir Badai

    *****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 65. Tobatku Karena Kak Mala

    *****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 64.  Kenapa Kak Mala Melarang Aku Melihat  Kakiku?

    *****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 63. Pacar Adikku Memilih Pergi

    *****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status