****
Gegas aku keluar dari toko. Agak ragu, untuk melangkah menuju rumah.
“Hey, Diky! Ke sini!”
Aku menoleh, Andi dan Rani berjalan menuju mobil. Di belakangnya Bik Yerti.
Aku mendekat, Andi mengeluarkan berbagai wadah dari dalam mobil.
“Kok, telat? Prose lamarannya sudah selesai. Sekarang acara makan siang bersama. Bantuin ngangkat makanan ini ke dalam rumah, tolong!” kata Andi.
“Maaf, aku telat,” ucapku menerima wadah yang paling besar, dan membawanya ke dalam.
Kupindai seluruh ruangan tengah. Mereka duduk di atas tikar yang dihamparkan di atas lantai. Mungkin karena jumlah orangnya banyak, sehingga makan siang itu dihidangkan di atas tikar, bukan di meja makan.
Wajah Mala tak terlihat, hanya Melur yang menyambutku dengan senyuman.
“Dia sudah enggak nangis. Dia ada di dapur, mengambil piring dan gelas, temui sana!” keta Melur berbisik.
Aku menurut, setelah menyalami semuanya. Melur sempat memperkanalkanku kepada Rehan abangnya. Cepat aku berjalan menuju dapur.
Malaku sedang mengeluarkan piring dari dalam lemari kaca, ditumpuknya jadi satu. Aku melangkah mengendap, lalu berdiri tepat di belakangnya. Pelan kupeluk pinggangnya dari belakang.
“Eh … Mas! Kamu …?” sergahnya berbalik setelah berhasil melepaskan pelukanku.
“Aku kangen … enggak tahan … makanya aku nyusul, maaf, ya?” kataku dengan suara yang kubuat-buat. Persis seperti anak kecil yang meminta dibelikan sesuatu oleh ibunya.
“Aneh! Pacar bukan, istri bukan, dikangenin!” katanya meneruskan pekerjaannya.
“Lho, kita pacaran, kan? Semua orang taunya kita pacaran, lho? Kalau orang pacaran pasti kangen-kangenan, dong!” tuntutku tetap tersenyum menggodanya.
“Mas, kita pacarannya cuma bohongan, kalau di depan orang banyak aja. Dan satu lagi, hanya sampai Melur dan Reno sah lamaran. Hari ini mereka sudah sah lamaran, kan? Berarti kontrak pacaran kita selesai. Ok, kita putus!”
“Ok, kita putus, sekarang kita enggak pacar kontrak lagi, kan? Aku mau cari pacar yang sesungguhnya sekarang. Boleh, kan?” tantangku sengaja ingin tahu reaksinya.
“Boleh, dong. Silahkan!” jawabnya terlihat semringah.
“Kamu enggak cemburu, misal aku jalan sama cewek lain?” tantangku.
“Enggak bakal, justru aku akan senang sekali. Bisa terbebas dari kejaranmu. Tapi, aku mau ucapin terima kasih dulu, ya, beberapa bulan ini sudah jadi pacar pura-puraku. Usaha kita juga tidak sia-sia, Melur dan Reno sudah bersatu. Tugasmu sudah selesai. Semoga kamu segera menemukan kekasih yang sesungguhnya, ya, Mas!”
Bah! Mala bisa berkata seperti itu? Oh, benar-benar, berarti tak ada harapan untukku. Tapi, masa iya, sih, sedikitpun tak ada rasa di hatinya? Ok, meskipun tak sebesar rasa cintanya kepada Reno, aku yakin sekali dia memiliki rasa sedikit saja untukku. Buktinya dia memilih aku yangmenjadi pacar pura-puranya.
Bukankah banyak cowok lain di sekitarnya. Kenapa dia memilih aku, coba? Aku yakin dia memilihku, karena ada sesuatu di hatinya. Hanya saja, dia tidak mau mengakuinya, atau memang sengaja dihilangkannya. Ok, akan kupikirkan nanti, bagaimana cara mengujinya.
“Piringnya mana?” Rani menyusul ke dapur.
“Oh, iya. Ini, udah selesai.”
“Yuk, angkat!”
Makan siang itu berlangsung dengan santai penuh kekeluargaan. Melur dan Reno terlihat begitu bahagia. Malaku juga sama, dia terlihat ikut berbahagia, keikhlasan terpancar nyata. Senyumannya begitu tulus, meski ada duka di hatinya.
*
Setelah acara bubar, semua kembali pulang ke Medan. Untuk menyempurnakan sandiwara kami, Mala terpaksa pulang denganku. Saat pamit, dipesankannya kepada Melur, agar segera mencari tenaga kasir baru. Alasanya karena mulai sibuk menyambut Ujian Semester kuliahnya.
Alasan yang sangat masuk akal. Melur mungkin percaya. Tapi, aku tidak. Itu hanyalah alasan agar segera menjauh dari kehidupan sahabatnya. Menghindar dari Reno cinta matinya. Tujuannya sudah tercapai, menyatukan Melur dan Reno. Tugasku sebagai pacar pura-pura pun, sudah berakhir.
“Pegangan yang kencag, dong!” perintahku saat motor yang kami kendarai mulai memasuki jalan raya padat kendaraan.
“Ini udah!” tukasnya tetap tak mau merapatkan tubuh.
“Gimana kesan-kesannya selama menjadi pacar pura-puraku?” tanyaku melambatkan laju motor.
“Biasa aja,” jawabnya datar.
“Kira-kira apa ya, yang kurang dariku,agar bisa kuperbaiki saat menjalin hubungan yang benar-benar nanti?”
“Mungkin, apa, ya? Aku enggak tahu, bagiku enggak ada yang kurang. Entah kalau sama pacar kamu yang sungguhan nanti.”
“Jadi kita udah enggak ada hubungan sekarang, ya?” pancingku.
“Enggak. Kita hanya teman sekarang,” jawabnya dengan nada sangat tegas.
Sakit hatiku mendengarnya. Aku tak boleh putus asa. Cinta perlu diperjuangkan. Reno dan Melur saja, penuh perjuangan hingga berhasil sampai proses lamaran. Aku akan berbuat yang sama. Masing-masing pasangan, tentu berbeda-beda tantangannya.
“Mala, aku udah nolongin kamu menyatukan sahabatmu. Aku sebenarnya enggak minta konpensasi, sih. Aku ikhlas menolongmu. Tapi, kalau aku butuh bantuanmu juga, kira-kira, mau enggak bantu aku?” tanyaku mulai memasang strategi.
“Boleh, asal tidak memberatkan.”
“Enggak berat, sih. Tapi, bagiku penting banget.”
“Bilang aja! Aku enggak kerja lagi di toko Melur, artinya aku punya banyak waktu luang sekarang. Aku bisa bantu kamu, asal itu enggak berat banget.”
“Gini, keluargaku maksa aku terus cepat-cepat nikah. Kata mereka umurku hampir kepala tiga. Duh! Aku pusing ngadapin tuntutan mereka.”
“Ya, udah, nikah aja! Susah amat?” jawabnya enteng.
“Masalahnya aku belum nemukan cewek yang aku cintai, La. Cuma kamu satu-satunya pilihanku. Tapi, karena kamu tetap enggak mau nerima aku, terpaksa, aku akan cari cewek lain,” pancingku.
“Ya, udah, cari aja! Banyak, kok, cewek lain yang cantik-cantik, yang seperti apa pun yang kamu mau, ada. Kamu tinggal pilih.”
“Nah, itu yang susah.”
“Terus, kamu minta tolong apa? Carikan cewek buatmu, gitu?”
“Bukan! Aku mau kamu pura-pura jadi pacar aku di hadapan keluargaku. Sama seperti saat aku pura-pura jadi pacarmu di hadapan Melur.”
“Pacar pura-pura lagi?” sergahnya.
“Iya, biar Mama dan Papa enggak cerewet terus. Nanti kalau dituntut nikah, aku punya alasan kamu belum kelar kuliah. Aku janji, akan segera cari pacar yang sebenarnya. Mau, ya!” rengekku meniru rengekannya dulu saat memintaku jadi pacar bohongannya.
“Ok, deh. Tapi jangan lama, ya. Aku bosan berpura-pura terus,” katanya kemudian.
“Janji, enggak akan lama. Sebenarnya sekarang aku udah ada target, sih. Anaknya cantik dan baik. Tapi aku ragu, takut di tolak lagi, seperti kamu menolakku. Sakit tau, ditolak cewek terus,” kataku mulai memasang umpan.
“Oh, ya? Kamu udah ada target, Mas? Maksudnya, kamu naksir dia, begitu?” tanyanya agak merapatkan tubuh ke punggungku. Mungkin dia takut tidak bisa mendengar dengan jelas ucapanku.
“Aku enggak naksir. Udah kubilang, aku cintanya cuma sama kamu. Dia jadi target, demi keluargaku yang udah enggak sabar aku nikah. Toh, ngarapkan kamu, enggak ada harapan, bukan? Jadi aku coba deh, deketin dia meski tak cinta, biar udah nikah aja, memenuhi harapan ortu.”
Mala diam, aku juga diam. Sengaja kubiarkan dia berpikir dan merenungi ucapanku. Aku mau tau reaksinya, bila aku menyerah mencintainya.
*****
****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj
*****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal
*****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama
*****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n
*****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal
*****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e