Share

Bab 4. Senjata Makan Tuan

last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 16:49:44

*****

Tak terasa perjalanan  telah sampai. Kutepikan motorku di depan rumahnya, sengaja tak mengantarnya masuk ke halaman.

“Ok, sampai di sini, ya. Pokoknya, kalau Mama dan Papa mendesak mau kenal sama pacarku, aku akan bawa kamu. Tapi, aku pasti berusaha mendekati cewek yang kumaksud tadi. Mumpung lagi of, aku mau ke sana sekarang. Makin cepat makin baik, bukan?” kataku langsung memutar arah motor.

Lama gadis itu tercenung.  Dahinya mengernyit keras, sepertinya sedang sibuk berpikir dan menimbang-nimbang.

“Ok, aku pergi. Doakan, semoga sukses!” ucapku bersiap-siap melajukan motor.

“Mas .. tunggu!”

Aku bersorak. Mala-ku, menghentikanku.

Aku menoleh, Mala menatapku sekilas, lalu menunduk. Gadis yang selalu menggetarkan hatiku ini menggigit bibirnya bagian bawah. Aku tahu, dia ingin berucap, tapi masih ragu.

“Kenapa? Ada yang ketinggalan?” tanyaku pura-pura lugu.

“Anu, emh, kamu bilang butuh bantuan aku? Aku mau ikut … nemuin cewek itu. Nanti, aku kasih pendapat, cocok enggak dia sama kamu,” katanya kemudian.

Aku terdiam sejenak. Mencoba memahami maksud dan tujuannya. Apakah niatnya murni karena ingin membantuku, atau ada sesuatu? Jangan-jangan …

“Boleh, deh! Yuk!” kataku sedikit ragu.

Tentu saja aku bingung, perempuan mana yang akan kutunjukkan padanya nanti? Karena sesungguhnya perempuan itu tidak ada. Waduh! Kenapa senjata makan tuan jadinya? Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Mala langsung naik ke boncengan. Motorku kembali melaju membelah jalanan. Entah ke mana aku akan membawanya sekarang. Pusing! Tiba-tiba terlintas di kepala ide baru.

“La, kita singgah  ke rumah dulu, ya. Ada perlu bentar,” kataku setelah yakin dengan ideku.

“Lho, katanya ke rumah cewek itu?” protesnya kecewa.

“Singgah bentar, enggak lama.”

“Ketemu orang tua Mas Diky, dong?”

“Gak apa-apalah, sekalian kenalan. Ingat, kamu  gak boleh protes kalau aku bilang kalau kamu itu pacar aku!”

“Bilang aja teman, Mas! Gak usah pacar!”  tolaknya.

“Ya, sudahlah, terserah,” ucapku pasrah.

Sebuah mobil yang bukan milik keluargaku, terparkir di halaman ketika kami sudah sampai  di depan rumah.  Sepertinya sedang ada tamu. Agak kecewa,  karena niatku mendekatkan Mala dengan Mama terpaksa gagal. 

“Yuk, masuk!” kataku melihat Mala yang terlihat ragu.

“Aku, dag dig dug … gimana, dong?” katanya menolak  melangkah.

“Kenapa dag dig dug?”

“Karena mau jumpa orang tuamu,” jawabnya. Wajahnya memang berubah agak  pucat.

“Katamu kita hanya teman? Kalau teman,  biasa dong, bertemu orang tua. Seperti saat kamu bertemu orang tua Andi, gimana? Apakah kamu deg deggan  juga?” pancingku.

“Enggak, sih, itu beda.”

“Hehehe … aneh, padahal, orang tua Andi adalah orang tua Reno, cowok idaman kamu. Kenapa  bertemu dengan orang tuaku yang bukan siapa siapamu, kamu malah tegang gitu?” godaku.

“Em, iya … kenapa, ya?” katanya balik bertanya.

Salahkah, bila aku berpikir, sebenarnya Mala menyukaiku? Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, sebenarnya cinta itu ada buatku. Sengaja  dibiarkan tertimbun, karena pesona Reno jauh lebih menggetarkan.  Benih cinta untukku dibiarkannya layu dan mengering. Dengan bersatunya Reno dan Melur, semoga ada secercah harapan buatku.

“Udahlah! Masuk aja! Orang tuaku enggak nggigit, kok!” kataku sambil menggamit tangannya. Tangan  lembut, tapi terasa semakin dingin. Mala benar-benar deg-deggan, rupanya. Seperti biasanya, Mala tetap menolak kupegang, meski hanya bagian tangan. Segera ditariknya tangannya dari genggamanku.

“Mas masuk aja! Aku nunggu di sini!” tolaknya tetap bertahan.

“Ok, aku ke dalam sebentar, ya, “ kataku lalu melangkah masuk.

“Nah, ini orangnya udah datang,” teriak Mama begitu aku memasuki ruang tamu. 

“Diky! Ini Om Rijal, teman Pap saat masih bertugas dulu. Pangkatnya sama seperti Papa, jadi kamu harus  beri hormat dulu,  karena pangkat kami masih di atasmu, hehehehe …,” kata Papa menunjuk laki-laki yang memang terlihat sebaya dengannya.

“Siap, Pa,” jawabku langsung menyalami Om Rijal, wanita di sebelahnya, yang pasti istrinya, dan   seorang gadis yang terlihat malu-malu di samping Mama.

“Ini Diyah, putri Om Rijal, kenalan, dong!” kata Mama menyentuh bahu gadis itu.

Aku mengulurkan tangan. Disambutnya dengan masih malu-malu.

“Iya, Diky. Dia putri Om. Papamu hebat, punya anak laki-laki yang meneruskan cita-citanya. Kalau Om, hanya punya satu putri, enggak mau  disuruh jadi angkatan. Padahal, Om sangat ingin generasi penerus dan keturunan Om tetap ada darah angkatannya. Semoga Diyah mendapat jodoh orang angkatan juga seperti Papanya, hehehehe …” tutur Om Rijal tertawa, yang disambut oleh Papa.

“Kebetulan sekali, kamu datang berkunjung sore ini, ke sini. Karena Diky ada di rumah, jadi mereka bisa langsung kenalan, suatu kebetulan yang tak tak terduga, bukan? Kata Papa terlihat begitu bahagia.

“Wah, cocok kalau begitu. Kita yang tua-tua ini, hanya bisa mendoakan, bukan, begitu? Yang menjalani, kan, mereka. Semoga saja berjodoh.”

Mereka tertawa lagi.

Kulirik gadis itu, cukup manis. Sepertinya sifatnya juga bagus. Pendiam, penurut, enggak banyak tingkah, dan enggak banyak gaya. Tak ada kurangnya. Tetapi, hatiku tak berdebar melihatnya. Sepertinya mereka harus kecewa, tak  ada tempat lagi di hati ini  karena sudah ada seorang gadis yang mengisinya, Mala. Ops, Mala. Dia masih di luar.

“Sebentar, Ma, Pa, Om, Tante, Dek Diyah,”  kataku langsung bergegas ke luar.

Malaku masih berdiri di sana. Warna wajahnya berubah, tak lagi pucat, kini berubah memerah. Apakah dia marah? Kenapa? Apa yang salah?

“Aku pesan taksi online, ya? Kamu sedang ada tamu istimewa, kan? Aku gak mau ganggu, aku pulang,” sergahnya bergitu aku menghampiri.

“Jangan, dong! Kenapa buru-buru pulang? Belum juga kenalan sama Papa dan Mama?” tanyaku keheranan.

“Mereka tamu istimewa, bukan? Aku gak mau ganggu!” Suaranya  mulai meninggi.

“Tamu istimewa bagaimana? Itu teman Papa. Mungkin istimewa buat Papa, karena ketemu teman lama. Seperti kamu dengan Melur, atau Rani. Misalnya kalian udah lama enggak ketemu, apakah enggak istimewa sekali saat kalian tiba-tiba bisa ketemu?” kataku masih bingung, kenapa dia seperti merajuk.

“Iya, tapi aku enggak akan mau sembarangan menjodohkan anakku dengan dengan anak Melur, atau anak Rani!” ketusnya dengan suara mulai parau.

Ops, jadi dia marah karena hal perjodohan? Dia merajuk karena Papa dan temannya berniat menjodohkan akau dengan Diyah? Tapi, dari mana Mala tahu hal itu? Bukankah dia berada di teras? Jangan-janagn dia menguping  atau bahkan mengintip ke ruang tamu tadi?

“Ya, iyalah. Aku juga enggak mau nanti menjodohkan anak kita dengan anak sahabat-sahabat kamu itu, ogah banget,” kataku pura-pura ikut  kesal.

“Apa?” Mala menatapku lekat.

“Kubilang, aku enggak mau jodohin anak kita dengan anak sahabatmu, entah itu si Melur, atau si Rani, jelas? Nona?”

Wajah Mala bersemu, ada senyum samar di sudut bibirnya.

“Masuk, yuk! Aku kenalin sama Papa dan Mama!” ajakku setelah dia mulai tenang.

******

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 68. Ekstra part 2 (Tamat)

    ****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 67.  Ekstra Part 1

    *****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 66. Gerimis di Akhir Badai

    *****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 65. Tobatku Karena Kak Mala

    *****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 64.  Kenapa Kak Mala Melarang Aku Melihat  Kakiku?

    *****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal

  • Ketika Adikku Inginkan Suamiku   Bab 63. Pacar Adikku Memilih Pergi

    *****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status