*****
“Masuk, yuk! Aku kenalin sama Papa dan Mama!” ajakku setelah dia mulai tenang.
“Enggak mau, aku berdebar. Takut juga iya,” katanya tetap menolak.
“Berdebar kenapa? Takut apa?”
“Kamu masuk aja! Aku nunggu di sini!”
“Enggak bisa! Paling kamu ngintip lagi!”
“Mas …!” Mala menatapku, kubalas menatap tepat di manik-manik matanya. Gadis itu menunduk. Baru kali ini, dia menunduk saat kutatap. Biasanya balas menatap, lalu membuang pandangannya. Sama sekali tak ada respon dari sorot matanya. Kenapa kali ini berbeda? Apakah sesuatu telah terjadi padanya?
“Mala … kenapa?” tanyaku lembut. Ingin sekali kuraih tanganya, meremas lembut jemarinya. Tetapi aku takut, pasti dia akan segera menolak seperti biasanya.
“Mas, gadis yang bernama Dyah itu, manis, ya?” lirihnya tiba-tiba. Dia berkata masih dengan menunduk.
“Kamu melihatnya?” tanyaku dengan dada berdebar. Entah kenapa, aku begitu bahagia, mendengar kalimatnya. Sepertinya harapan baru telah mekar, karena kulihat rona cemburu di wajah jelitanya.
“Maaf, aku tadi sempat mengintip dari balik jendela,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
“Hemh, dia manis,” ucapku segaja memuji putri teman Papa itu, ingin memperjelas dugaanku akan perasaan Mala.
“Kau menyukainya?” Mala mendongah, menatapku tak berkedip. Kulihat sorot mata jernihnya mulai redup.
“Enggak penting saat ini, masalah perasaaku. Papa dan Mama ingin agar aku segera menikah. Biar bagaimanapun, aku tak akan bisa menikahi gadis yang aku cintai. Kalau mereka setuju, untuk apa aku menolak lagi. Mau nunggu juga, toh, enggak ada yang mau ditunggu.”
“Kau mau menikahi orang yang tak kau cintai?” cecarnya. Sudut matanya mulai mengembun.
“Enggak penting lagi memikirkan perasaanku. Karena perasaanku memang sudah enggak ada, Mala. Semua rasa itu sudah habis. Tida ada lagi yang tersisa meski sedikit saja. Rasa itu semuanya sudah kuberikan padamu. Jadi, enggak masalah lagi sekarang, aku enggak suka, aku enggak cinta, atau apa pun itu. Yang penting Papa dan Mama bahagia. Masalah perasaanku, enggak penting.”
“Diky! Kenapa di sini? Hey siapa gadis ini?”
Aku dan Mala tersentak. Mama sudah berdiri di depan pintu.
“Oh, iya, Ma. Ini Mala, Dia ….”
“Sore, Tante … saya Mala,” kata Mala mengulurkan tangan.
“Kenapa enggak masuk?” Mama menerima uluran tangan Mala dengan ramah.
“Iya, Tante. Ada tamu, enggak enak ganggu. Saya pulang aja. Mas Diky, masuk aja, sana! Aku pulang naik taksi online aja. Permisi, Tante!” Mala tersenyum sekai lagi, sebelum akhirnya membalikkan badan dan berjalan menuju gerbang.
“Sebentar, La!” panggilku menghentikan langkahnya.
“Iya, Mas?” Mala menyahut tanpa berbalik.
“Kalau ada barang-barangku yang masih tertinggal di rumahmu, tolong kirimkan lewat Go Jek aja, ya! Sepertinya aku tidak akan pernah punya waktu lagi untuk mengambilnya,” kataku lembut, namun sangat dalam maknanya.
Gadis itu segera membalikkan badan. Menatapku dan Mama sekilas, lalu menunduk dalam.
“Aku tak bisa berbelit-belit lagi. Sudah capek, La. Enggak tahu lagi harus bagaimana menyikapimu. Segala cara sudah kulakukan. Segala permintaamu sudah kuturuti. Aku tahu isi hatimu yang sebenarnya saat ini. Aku sudah tahu, Mala! Tapi, kau tetap sengaja menyiksaku seperti ini. Kau bisa begi … tu baik, pada sahabat-sahabatmu, kau rela mengorbankan apa saja demi mereka. Tapi, kenapa padaku tidak! Semakin aku berusaha mengalah padamu, semakin bersemangat kau menyiksaku. Ok, sukup sudah! Pergilah!”
Suaraku parau, ada tangis di sela sela ucapanku. Beberapa titik air bahkan tanpa segan bergulir di pipi. Aku laki-laki, aku seorang polisi, menangis untuk seorang perempuan. Bah! Ini sudah keterlaluan.
“Ini … ini … maksudnya apa? Ada apa di antara kalian?” tanya Mama kebingungan.
“Mas Diky, Tante…. Saat Tante bertanya saya siapa, dia enggak mau mengatakan kalau saya adalah pacarnya.”
“Apa?” sergahku tak percaya.
“Benarkah? Kamu, pacar anak Tante? Secantik ini? Diky …! Kenapa enggak pernah kau kenali pada Mama!”
Kedua wanita itu berpelukan. Aneh! Perempuan memang aneh! Untuk mendengar pengakuannya, aku mesti menitikkan air mata terlebih dahulu.
*
Kedua bidadariku itu masi berpelukan, seolah-olah mereka sudah lama saling kenal, terpisah, dan hari ini baru bertemu lagi. Aku dianggurin seperti kambing congek. Mama juga, kenapa sok akrab gitu sama Mala, coba. Peluk-pelukannya lama banget. Drama. Aku aja yang udah lima tahun mengengejarnya, enggak pernah sekalipun memeluknya. Pernah beberapa kali mencuri kesempatan, itu pun peluk dari belakang. Tapi, tidak sampai lima detik, aku langsung di tendang.
“Siapa tadi namanya, Sayang. Mala, ya?”tanya Mama setelah mereka kelelahan. Eh, bukan, mungkin sadar ada aku di sini.
“Iya, Tan. Mala. Tepatnya Malahayati. Papa Aceh, Mama Batak, Tan,” jawab Mala sok akrab lagi. Siapa juga nanya keturunanya?
“Oh, blasteran, dong? Orang tuanya di Medan, kan? Mama boru apa?” tanya Mama lagi. Lanjut, deh arisannya.
“Lubis, Tante.”
“Oh, iya! Lubis? Dia Paribanmu, Diky! Ya, Allah, kok bisa kebetulan sekali. Kamu pinter banget cari istri, Nak!”
Baru Mama ingat aku.
Segera kuseka air yang membasahi sudut mata. Lalu tersenyum sekilas kepada Mama. Tanpa menoleh kepada Mala, aku bergerak masuk ke dalam rumah.
“Diky, kadang seperti perempuan. Cengeng! Jangan ambil hati, ya! Yuk kita masuk!”
Sempat kudengar Mama mengatai aku seperti itu. Biarlah. Seperti perempuan? Mungkin, ya? Secara aku ini anak bontot, anak laki satu-satunya. Tiga kakakku perempuan semua. Hari-hari, mainnya sama perempuan. Untung aku memilih jadi angkatan, karakter cowok machoku terbentuk sempurna. Eit, macho? Maaf, kepedean saya.
“Dari mana kalian? Lama banget di luarnya?” tegur Papa begitu kami masuk kembali ke dalam rumah.
“Ini, lho, Pa. Si Diky rupanya datang bareng pacarnya. Tapi, gadis ini ditinggal di luar. Perempuan mana yang enggak merajuk, coba?” jawab Mama menggandeng hangat tangan Mala. Kulihat wajah Mala memerah. Sepertinya dia merasa malu dan gugup.
“Pacar? Gadis ini pacar Diky?” tanya Papa seolah tak percaya.
“Iya! Kenalkan, ini Papanya Diky, Nak Mala!” kata Mama menunjuk Papa.
Mala melangkah mendekati Papa, menyalaminya dengan sopan. Semua tamu yang sedang menatapnya juga tak luput dia salam. Mala memang gadis yang baik, sopan, pintarnya membuat hati orang tua kepincut.
“Duduk-duduk! Jadi kalian ini pacaran, ya? Udah berapa lama kenal dengan Diky?” tanya Papa setelah Mala duduk di samping kanan Mama. Diyah menunduk di samping kiri Mama. Kulihat wajahnya mengeruh. Sepertinya dia kecewa dengan keberadaan Mala. Kedua orang tuanya juga sama.
“Udah lima tahun, Pa. Maaf, baru sekarang Diky berani bawa ke hadapan Papa dan Mama,” jawabku mendahului Mala.
“Hem, kalau boleh tahu, apakah orang tua gadis ini angkatan juga, nak Diky? Sayang, lho. Kalau ternyata mereka masyarakat biasa.”
Aku, Papa, Mama dan Mala jelas sangat kaget. Kalimat Om Rizal menunjukkan rasa tidak senang. Untung Malaku punya sifat penyabar, enggak gampang terpengaruh.
“Papa dan Mama saya dagang, Om. Kami masyarakat biasa. Bukan angkatan seperti Om berdua, juga Mas Diky.” Mala menjawab dengan begitu tenang.
*****
****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj
*****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal
*****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama
*****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n
*****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal
*****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&