"Surya, istighfar!" Mak Nia berteriak kencang. Orang-orang yang ada di teras rumah pun, segera menghambur menghentikan Kang Surya yang seperti orang kesetanan. Sorot mata suamiku sangat tajam dan memerah, menatap pada mantan istrinya yang ketakutan.Pria yang sejak semalam bersama Teh Salsa, terlihat sangat panik ketika wanita itu diseret Kang Surya yang juga membawa benda tajam. "Akang, istighfar ...." Aku berucap pelan seraya berjalan mendekati suamiku. "Diam di sana, Syah!" ujar suamiku tegas. "Aku ingin membuat wanita ini merasakan sakit seperti yang anakku rasakan. Kalau bukan karena ulahnya, jika bukan karena kebodohan dia, Neng Rahma tidak akan meninggal. Wanita ini yang telah menjual anakku hingga dia hamil tanpa suami. Secara tidak langsung, dia juga yang telah membuat Neng Rahma mati muda. Semua kesulitan yang terjadi pada anakku, itu karena dia. Semua penderitaan yang dirasakan Neng Rahma, itu karena dia. Salsabila wanita durjana! Sekarang adalah kematianmu!""Akang!"
"Samudra! Jangan berenang terlalu jauh, nanti terbawa ombak!" "Tidak akan, Ibu! Aku, kan jagoan! Aku sudah besar, Bu!" Aku menarik sudut bibir ke samping seraya mengusap dada. Pandanganku tidak beralih dari dua anak lelaki yang saat ini tengah berenang di pantai. Sagara dan Samudra. Rasanya, baru kemarin aku menggendong mereka, mengayunnya saat akan tidur. Sekarang, kedua anak itu sudah besar. Perbedaan usia yang hanya satu tahun, membaut keduanya seperti anak kembar. Apalagi, tubuh Samudra yang lebih tinggi dari Sagara, mengikis perbedaan usia di antara mereka. Sepuluh tahun begitu cepat berlalu. Sekarang, mereka bukan lagi balita yang merengek minta digendong. Mereka sudah beranjak remaja. "Ibu, tadi aku hampir kelelep. Sagara menekan belakang kepala aku, Bu." Aku mengangkat kedua alis, melihat pada Samudra yang mengadu. "Aku enggak sengaja, Bu. Aku hampir kelelep juga, makanya tanganku meraba mencari pegangan." Sagara membela diri. Kalau sudah begini, aku pasti kebingunga
Dia duduk di lantai, melihatku yang tengah melihat televisi seraya berbaring di kursi. "Emangnya Amih kenapa lagi?" tanyaku. "Katanya, Amih sakitnya sudah parah. Sudah tidak bisa diobati, Bu.""Oh .... Yasudah, nanti sore kita ke sana, ya? Kita jenguk Amih." Aku tersenyum, yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Samudra.Amih adalah panggilan anak-anakku pada Teh Salsa. Aku memang tidak pernah menutup pintu untuk dia, jika ingin bertemu cucunya. Sejahat apa pun Teh Salsa di masa lalu, tidak akan membuat hatiku beku. Dia aku perbolehkan bertemu Samudra, tapi tidak dengan membawanya. Sedihnya, sudah tiga tahun ini Teh Salsa sakit. Kata tetangganya, dia sakit ... ah, aku tidak kuasa mengucapkannya. Yang jelas, katanya sudah parah dan tidak bisa diobati. Mungkin karena itu jugalah yang membuat Teh Salsa berhenti dari keperjakaannya di kota. Menurut kabar yang kudengar, dia diberhentikan karena sudah tidak bisa menghasilkan. Juga karena penyakit yang bisa menular pada pelanggannya.
"Minta uang, dong, Pak!" Kaki yang hendak melangkah masuk, kuurungkan saat mendengar suara seorang perempuan dari dalam rumah. Tadi, aku harus ke warung untuk membeli kopi. Dan saat kembali, ternyata rumah kami kedatangan tamu. "Rahma, Bapak belum punya uang. Hasil laut Bapak, juga sedang sepi. Nanti kalau sudah ada uang, Bapak sendiri yang akan antar uangnya ke sana. Sekarang kamu sabar dulu, ya?" "Sabar? Enggak bisa atuh, Pak! Seragam sama sepatuku sudah jelek!" Suara wanita itu meninggi. Neng Rahma namanya, anak kandung dari suamiku. Aku sampai memegangi dada karena kaget. Anak itu selalu saja pakai urat jika bicara dengan ayahnya. Padahal dia cantik, manis, tapi sayangnya cara bicara Neng Rahma sama seperti ibunya. "Pakai yang lama, kan masih bisa, Neng?""Udah jelek, Pak!" ujar Rahma lagi. "Bapak ini jadi pelit sejak nikah sama si pin cang itu. Jangankan ngasih uang banyak, untuk beli keperluan sekolah aja, Bapak perhitungan.""Bukan perhitungan, tapi saat ini memang belum
"Lauknya hanya dengan ikan, gak apa-apa, Neng?" lanjutku, setelah tadi menggantung ucapan. "Nggak apa-apa, Bu. Nasi tanpa lauk juga enggak apa-apa, kok." Neng Rahma menjawab cepat pertanyaanku. Sebagai seorang ibu, hatiku merasakan ada yang tidak beres dengan Neng Rahma. Aneh. Dia seperti bukan Neng Rahma yang sering aku jumpai. Mata tajam ketika dia melihatku, kini berubah sendu dengan penuh harap dan ratap. Ada apa sebenarnya dengan Neng Rahma? "Ya–yasudah, mari, ikut Ibu ke dapur." Aku berucap terbata. Tanpa berucap lagi, Neng Rahma langsung berdiri dan mengekor di belakangku. Dia aku persilakan duduk di kursi plastik yang menghadap ke meja kayu. Aku mengambil piring, mengeluarkan gulai ikan hasil tangkapan Kang Surya kemarin malam. Lalapan serta sambal pun turut aku suguhkan pada putri sambungku yang tengah diam seraya menatap makanan di atas meja. "Dimakan, Neng. Maaf, cuma ada ini di rumah Ibu," kataku. Neng Rahma mengalihkan pandangannya ke arahku. Matanya berkaca-kaca
"Tidak, tidak boleh seperti ini, Aisyah!" Aku memejamkan mata seraya terus beristighfar. Ini salah. Aku tidak boleh membuka sesuatu yang diamanahkan orang lain. Cepat aku berdiri, menyimpan amplop dari Neng Rahma ke dalam bufet agar tidak terlihat dan menghadirkan keinginan untuk membukanya. "Ya Allah ... astaghfirullahaladzim," ujarku lagi. Saga melihatku tak mengerti. Bayi itu masih anteng dengan mainan di tangannya, lalu merangkak mengambil mainan lainnya. Aku duduk, menyesali perbuatan yang hampir menjadikanku manusia munafik yang tidak bisa menjalankan amanah. Tidak seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, hari ini waktu terasa lambat. Aku terus saja melirik jam dinding, berharap malam segera datang. Apa lagi alasannya kalau bukan ingin suamiku cepat pulang. Dengan begitu, rasa penasaran akan pemberian Neng Rahma, akan segera aku ketahui. "Sah!" Suara seseorang memanggil, membuatku menoleh ke arah pintu. Dari suaranya aku sudah tahu jika Mak Nia lah yang memanggilku.
"Tadi Neng Rahma ke sini, Kang." Lelaki empat puluh tiga tahun itu melihat padaku sejenak, kemudian dia kembali menikmati makan malam yang aku suguhkan. "Minta uang?" tebaknya. "Minta makan."Kang Surya tertawa seraya melihat ke arahku yang menyipitkan mata. Masih dengan diiringi tawa Kang Surya, aku duduk di samping dia, menemaninya makan. "Kamu bisa aja jawabnya, Syah. Iya, sih, harusnya aku gak nanyain itu. Karena jawabannya pasti sudah sangat mudah ditebak. Uang memang jadi tujuan anak itu. Iya, kan?" lanjut Kang Surya. Aku mengembuskan napas kasar seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik. Sengaja aku menunda menceritakan tentang Neng Rahma, sampai suamiku itu selesai makan. Rasanya tidak tepat jika membicarakan sesuatu di saat suamiku tengah kelaparan. Makanya, aku menungguinya, setia berada di sampingnya sampai piring yang tadi aku isi, tidak menyisakan satu butir nasi pun. "Alhamdulillah .... Selalu tidak pernah gagal masakan istriku ini. Terima kasih,
"Mana amplop tadi, ya?" Mataku menyapu ke semua penjuru rumah, mencari amplop yang tadi malam dibuka separuh oleh Kang Surya. Rasa penasaran akan isi amplop tersebut, belum juga mereda, karena tadi malam Sagara putraku tiba-tiba menangis minta ASI. Sialnya, aku malah ketiduran sampai subuh dan tidak mengetahui dengan jelas apa isi di dalamnya. Jika harus menebak, sepertinya berisikan sebuah surat. Isi suratnya apa dan membicarakan apa, aku belum tahu. "Tanya Kang Surya aja kali, ya?" ujarku menyerah. Mungkin amplop itu sudah disimpan Kang Surya. Pekerjaan di dapur dan sumur sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Memang, kadang tidak selesai sampai Kang Surya berangkat ke laut. Selalu ada saja yang belum dikerjakan, karena Saga yang keburu bangun. Seperti sekarang ini, baru saja aku hendak mencuci pakaian, suara Saga mengalihkan perhatianku. Aku meninggalkan cucian yang sudah direndam, kemudian kembali ke kamar untuk mengambil anak itu. "Jam berapa ini, Syah?" tanya Kang Sury