Share

Bab 5 Catatan Utang Neng Rahma

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-11 14:28:22

"Mana amplop tadi, ya?"

Mataku menyapu ke semua penjuru rumah, mencari amplop yang tadi malam dibuka separuh oleh Kang Surya.

Rasa penasaran akan isi amplop tersebut, belum juga mereda, karena tadi malam Sagara putraku tiba-tiba menangis minta ASI. Sialnya, aku malah ketiduran sampai subuh dan tidak mengetahui dengan jelas apa isi di dalamnya.

Jika harus menebak, sepertinya berisikan sebuah surat. Isi suratnya apa dan membicarakan apa, aku belum tahu.

"Tanya Kang Surya aja kali, ya?" ujarku menyerah.

Mungkin amplop itu sudah disimpan Kang Surya.

Pekerjaan di dapur dan sumur sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Memang, kadang tidak selesai sampai Kang Surya berangkat ke laut.

Selalu ada saja yang belum dikerjakan, karena Saga yang keburu bangun.

Seperti sekarang ini, baru saja aku hendak mencuci pakaian, suara Saga mengalihkan perhatianku.

Aku meninggalkan cucian yang sudah direndam, kemudian kembali ke kamar untuk mengambil anak itu.

"Jam berapa ini, Syah?" tanya Kang Surya seraya menguap.

"Jam lima, Kang. Cepat bangun, nanti kesiangan solat."

"He'em."

Kang Surya beringsut duduk. Dia tidak langsung pergi ke kamar mandi, dan malah menggoda putranya yang tengah menikmati ASI.

Sagara beberapa kali menjerit marah karena dijauhkan dariku oleh ayahnya.

"Sudah atuh, jangan dikerjain terus. Cepetan ke air." Aku mendorong pundak Kang Surya.

Pria beralis tebal itu pun segera pergi, membiarkan putranya yang kehausan.

Kebiasaan buruk yang sering terjadi padaku ialah, selalu merasakan kantuk jika menyusui Saga seraya berbaring. Alhasil, aku malah ketiduran lagi dan sadar ketika Saga sudah tidak ada di sampingku.

Aku kaget. Cepat-cepat keluar dari kamar mencari bayiku yang baru bisa merangkak itu.

Dengan berjalan pincang, aku pergi ke dapur bahkan kamar mandi untuk mencari keberadaan Sagara. Namun, tidak aku temukan.

Kang Surya pun sudah tidak ada di rumah, dan aku yakini dia telah berangkat ke laut.

Lalu di mana putraku?

"Di Mak Nia, kali, ya?" kataku bergumam.

Pintu aku buka dengan tangan yang bergetar, lalu terpaku di ambang pintu ketika melihat seseorang yang aku cari berada dalam gendongan ayahnya seraya memegang biskuit di tangannya.

Lega sekali rasanya melihat Sagara baik-baik saja, dan ... Kang Surya belum pergi ke laut?

"Mau ke mana?" tanya Kang Surya seraya menurunkan putranya dari gendongan.

Aku duduk di ambang pintu, mengikuti suamiku yang bersila di lantai teras.

"Akang, kok gak bilang kalau Saga dibawa ke warung? Tadi aku nyariin, loh. Panik aku, Saga gak ada." Aku mengerutkan kening, mengerucutkan bibir.

"Aku gak tega bangunin kamu, Syah. Pas tadi selesai solat, lihat Saga udah duduk di atas kasur, ya langsung aku ambil aja. Daripada dia jatuh dari ranjang, kan?"

"Maaf, Kang. Harusnya tadi aku gak tidur lagi, ya?" kataku menyesal.

"Harusnya kamu gak nungguin aku pulang dari laut, Syah. Jadi gitu, paginya ngantuk. Aku gak ditungguin gak apa-apa, kok. Sudah biasa ini."

"Jangan disamain, lah."

"Loh .... Siapa yang nyamain?" ujar Kang Surya seraya terkekeh.

Kang Surya melihatku dengan kedua alis yang terangkat, dan bibir tersenyum mengandung arti. Aku yang merasa malu dipandang seperti itu, langsung mengalihkan tatapan ke arah Saga.

Entahlah, aku ini selalu saja menyambungkan sesuatu dengan masa lalu Kang Surya.

Sering cemburu, jika dia membahas kebiasaan, meskipun maksudnya bukan pada hubungan rumah tangganya dengan yang dulu.

Aku yang memiliki kekurangan ini, selalu saja merasa rendah diri dan tidak percaya diri.

"Kang."

"Hem?" Dia bergumam seraya fokus membuka plastik berisikan biskuit untuk putranya.

"Kok, jam segini Akang masih di rumah? Gak ke laut?" tanyaku kemudian.

"Enggak. Hari ini Akang mau ke sekolahan Neng Rahma. Oh, iya, Syah. Uang hasil laut kemarin, masih ada, nggak? Soalnya, uang yang ada padaku, mau aku pakai untuk bebayar di sekolah si Neng."

Aku mengangguk lemah seraya mencerna ucapan Kang Surya. Bukan keberatan, tapi merasa tidak paham dengan penuturan suamiku itu.

"Bayar apa, ya, Kang? Bukannya sekolahnya gratis?" tanyaku, setelah diam beberapa saat.

"Bukan ke sekolahnya, Syah. Tapi .... Ekhem!" Kang Surya berdehem seraya memperbaiki letak duduknya.

Aku melihat ada ketidaknyamanan dalam mengucapkan kata yang akan dia keluarkan selanjutnya. Apa itu sangatlah penting?

"Tapi apa, Kang?" Aku bertanya tak sabar.

"Itu, loh. Kebiasaan buruk Neng Rahma di sekolahnya."

Aku menyipitkan mata, lalu membulatkan mulut seraya mengangguk paham.

"Utang jajanan ke kantin?" ujarku kemudian.

"Iya. Jadi, surat yang dia berikan, itu tentang utang itu. Dia minta Akang buat bayar utangnya."

"Oh ...," kataku, "yaudah, mangga. Pake aja uang yang ada di Akang. Aku masih ada uang, kok."

Kang Surya berterima kasih karena aku sudah mengerti dan ikhlas uang yang seharusnya dipakai kebutuhan rumah tangga, malah dipakai bayar utang Neng Rahma.

Kebiasaan buruk putri sambungku itu, jajan sesuka hati di kantin sekolah, dan memberikan tagihannya pada Kang Surya.

Sebagai orang tua, tentu saja Kang Surya bertanggung jawab atas itu.

Sudah sering dikasih tahu, sering diperingatkan, tapi Neng Rahma tidak berubah. Seperti sengaja membuang-buang uang, agar suamiku tidak memberikan hasil kerjanya untukku, dan hanya untuk dia saja.

Jahat, memang. Tapi, yasudahlah. Mungkin sudah nasib diri menikah dengan seorang duda dengan anak gadis berusia tujuh belas tahun.

"Kang, apa tidak sebaiknya ditelepon dulu Neng Rahma-nya? Suruh ke sekolah bareng," kataku, saat melihat Kang Surya sudah bersiap untuk pergi.

"Sudah Akang coba, tapi tidak aktif terus. Sudahlah, sendiri aja. Kecuali, kalau kamu mau ikut ke sana. Ayo, kita pergi."

"Boleh, Kang?" tanyaku memastikan.

"Boleh, atuh. Sini, Saga biar aku ajak main dulu, kamu sekarang ganti baju. Akang tungguin di luar, ya?" ujar Kang Surya, lalu mengambil Sagara dari gendonganku.

Karena memang belum pernah datang ke sekolah Neng Rahma, aku pun merasa ada keinginan untuk pergi ke sana. Hingga akhirnya, tawaran Kang Surya tidak aku tolak sama sekali.

Aku mengganti pakaian dengan yang lebih bagus dan rapi, lalu memoles wajah ini dengan sedikit bedak dan lipstik di bibir.

Setelahnya, aku keluar menemui suamiku.

"Aduh ... cantiknya si Ibu. Coba lihat, cantik, 'kan?" ujar Kang Surya, seraya membalikkan tubuh Saga, agar melihat ke arahku.

Aku tersipu mendengar pujian yang terlontar dari bibirnya. Meskipun dia tidak pelit kata-kata manis untukku, rasanya tetap saja selalu membuat jantung ini berdebar.

"Jangan liatin aku kayak gitu, Kang. Ayo, berangkat. Keburu kakiku berubah jadi duyung, nih. Udah gak ada jari-jarinya sebelah."

"Eh, hus! Kalau ngomong suka diperjelas," ujar Kang Surya, membuatku menepuk lengannya seraya tertawa.

Kami pun berangkat bertiga ke sekolah Neng Rahma, dengan menunggangi kuda besi yang usianya tak lagi muda. Sama seperti pemiliknya.

Sesampainya di sekolah, kami tak langsung ke kantin, tapi menemui guru-guru untuk bersilaturahmi, juga menanyakan jika sekiranya ada biaya yang belum dibayarkan oleh Neng Rahma.

Alhamdulillah tidak ada, semuanya beres jika tentang sekolah. Maka kami pun pergi ke kantin, yang menjadi tujuan utama kami datang ke sini.

"Neng Rahma tidak aku lihat, Kang," kataku dengan mata menyapu pada beberapa kelompok siswi yang ada di sekitar sekolah.

"Palingan di rumahnya. Masih belajar rutin saja dia sering bolos, apalagi sudah bebas seperti ini? Pasti enggak ke sekolah dia." Kang Surya berucap dengan dingin.

"Ibu, Bapak, ini, loh catatan punya Neng Rahma selama beberapa bulan ini. Saya pernah, loh nagih ke rumahnya, tapi malah dimarahi sama ibunya. Aduh, saya kapok. Tadinya mau pasrah saja, tapi pas lihat Bapak dan Ibu datang, rasanya lega sekali. Silakan, dilihat dulu," ujar wanita yang tak lain pemilik kantin.

Aku dan Kang Surya mengalihkan pandangan dari murid yang ada di sini, pada buku yang wanita itu sodorkan.

Kulihat dengan teliti macam-macam makanan serta harga yang tertera dalam buku tersebut, hingga akhirnya sampai di bagian penjumlahan.

"Innalillahi ...!"

"Astaghfirullahaladzim ...!"

Aku dan Kang Surya berseru bersamaan.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 34 ENDING

    Dia duduk di lantai, melihatku yang tengah melihat televisi seraya berbaring di kursi. "Emangnya Amih kenapa lagi?" tanyaku. "Katanya, Amih sakitnya sudah parah. Sudah tidak bisa diobati, Bu.""Oh .... Yasudah, nanti sore kita ke sana, ya? Kita jenguk Amih." Aku tersenyum, yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Samudra.Amih adalah panggilan anak-anakku pada Teh Salsa. Aku memang tidak pernah menutup pintu untuk dia, jika ingin bertemu cucunya. Sejahat apa pun Teh Salsa di masa lalu, tidak akan membuat hatiku beku. Dia aku perbolehkan bertemu Samudra, tapi tidak dengan membawanya. Sedihnya, sudah tiga tahun ini Teh Salsa sakit. Kata tetangganya, dia sakit ... ah, aku tidak kuasa mengucapkannya. Yang jelas, katanya sudah parah dan tidak bisa diobati. Mungkin karena itu jugalah yang membuat Teh Salsa berhenti dari keperjakaannya di kota. Menurut kabar yang kudengar, dia diberhentikan karena sudah tidak bisa menghasilkan. Juga karena penyakit yang bisa menular pada pelanggannya.

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 33 Menuju Ending

    "Samudra! Jangan berenang terlalu jauh, nanti terbawa ombak!" "Tidak akan, Ibu! Aku, kan jagoan! Aku sudah besar, Bu!" Aku menarik sudut bibir ke samping seraya mengusap dada. Pandanganku tidak beralih dari dua anak lelaki yang saat ini tengah berenang di pantai. Sagara dan Samudra. Rasanya, baru kemarin aku menggendong mereka, mengayunnya saat akan tidur. Sekarang, kedua anak itu sudah besar. Perbedaan usia yang hanya satu tahun, membaut keduanya seperti anak kembar. Apalagi, tubuh Samudra yang lebih tinggi dari Sagara, mengikis perbedaan usia di antara mereka. Sepuluh tahun begitu cepat berlalu. Sekarang, mereka bukan lagi balita yang merengek minta digendong. Mereka sudah beranjak remaja. "Ibu, tadi aku hampir kelelep. Sagara menekan belakang kepala aku, Bu." Aku mengangkat kedua alis, melihat pada Samudra yang mengadu. "Aku enggak sengaja, Bu. Aku hampir kelelep juga, makanya tanganku meraba mencari pegangan." Sagara membela diri. Kalau sudah begini, aku pasti kebingunga

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 32 Namanya Samudra

    "Surya, istighfar!" Mak Nia berteriak kencang. Orang-orang yang ada di teras rumah pun, segera menghambur menghentikan Kang Surya yang seperti orang kesetanan. Sorot mata suamiku sangat tajam dan memerah, menatap pada mantan istrinya yang ketakutan.Pria yang sejak semalam bersama Teh Salsa, terlihat sangat panik ketika wanita itu diseret Kang Surya yang juga membawa benda tajam. "Akang, istighfar ...." Aku berucap pelan seraya berjalan mendekati suamiku. "Diam di sana, Syah!" ujar suamiku tegas. "Aku ingin membuat wanita ini merasakan sakit seperti yang anakku rasakan. Kalau bukan karena ulahnya, jika bukan karena kebodohan dia, Neng Rahma tidak akan meninggal. Wanita ini yang telah menjual anakku hingga dia hamil tanpa suami. Secara tidak langsung, dia juga yang telah membuat Neng Rahma mati muda. Semua kesulitan yang terjadi pada anakku, itu karena dia. Semua penderitaan yang dirasakan Neng Rahma, itu karena dia. Salsabila wanita durjana! Sekarang adalah kematianmu!""Akang!"

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 31 Sakitnya Kehilangan

    "Neng Rahma berhasil melahirkan buah hatinya, tapi dia gagal melawan perjanjiannya dengan Gusti Allah. Neng Rahma ... sudah kembali pada pemilik-Nya, Bu." "Tidak mungkin," ucapku lirih, kemudian kembali menggoyahkan tubuh Neng Rahma yang tidak terusik sedikit pun akan guncangan dariku. Tubuhku merosot, air mataku luruh seraya memegangi kaki ranjang yang di atasnya ada Neng Rahma. "Lakukan sesuatu, Bu Bidan! Lakukan sesuatu untuk mengembalikan detak jantung Neng Rahma!" ujarku meminta. Bidan itu segera lari ke luar ruangan, lalu kembali dengan dua perawat yang membawa alat kejut jantung. Sayang, beberapa kali benda itu ditempelkan pada dada Neng Rahma, tapi tidak sedetik pun jantung anak itu berdetak. Suara tangis bayi pun beriringan dengan suara tangisku yang pasrah akan kepergian Neng Rahma. Mendengar kegaduhan di dalam sini, tidak berapa lama kemudian Kang Surya masuk. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya ditutup selimut dari ujung kaki hingga kepala. "Tidak mungk

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 30 Melahirkan

    "Kenapa Teh Salsa ke sini?" "Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Tidak boleh, aku melihat anakku yang akan melahirkan?" jawabnya sewot. Teh Salsa langsung menerobos masuk setelah pintu rumah terbuka. Wanita yang tak lain adalah mantan istri suamiku itu mengetuk pintu kamar Neng Rahma seraya terus memanggil nama putrinya. "Punten, Teh. Tadi, saat saya sedang mencari mobil, ketemu Teh Salsa di jalan. Maaf, saya malah mengatakan yang sebenarnya saat dia bertanya." Yadi, lelaki uang aku mintai tolong, berujar seraya menunduk. Dia merasa bersalah karena secara tidak langsung, telah membawa Teh Salsa ke rumahku. "Tidak apa-apa, Di. Mungkin memang sudah jalannya," kataku. Teh Salsa yang masih berdiri di depan pintu kamar Neng Rahma, dia tak hentinya membujuk anak itu supaya mau keluar dan ikut bersamanya. Akan tetapi, Neng Rahma berulang-ulang menolak ajakan ibunya, dia merasa trauma karena pernah dipaksa untuk ikut ke kota. "Neng, Mama tidak akan membawa kamu ke kota, Mama mau memba

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 29 Apa Sekarang Waktunya?

    "Bu!""Ibu!"Suara Neng Rahma dari kamarnya membuatku membuka mata. Aku langsung keluar dari kamarku seraya mengikat rambut, lalu pergi melihat Neng Rahma. "Kenapa, Neng?" tanyaku, merendahkan tubuh seraya menempelkan telapak tangan di keningnya."Perutku sakit, Bu," katanya. "Sakit?" Aku terkejut. "Apa sekarang waktunya?" "Waktu apa, Bu? Apa aku akan melahirkan sekarang? Aku takut, Ibu. Aku harus apa?""Tenang, Neng. Tenang, ya? Kamu tunggu dulu di sini, Ibu mau ke rumah Mak Nia. minta dia untuk nemenin kita di sini."Neng Rahma mengangguk pelan seraya meringis mengusap-usap perutnya. Aku beranjak. Keluar dari rumah, dan berjalan tergesa menuju rumah Mak Nia. Waktu yang masih malam, membuat kampung terasa sepi dan sunyi. Hanya ada suara binatang malam yang menjadi irama di sekitar. "Mak! Mak Nia, buka pintunya, Mak!" Aku mengetuk pintu dengan pelan dan beruntun seraya memanggil wanita di dalam rumah panggung ini. "Siapa?" tanyanya dari dalam. "Aisyah, Mak! Cepet buka!" kataku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status