Share

Bab 4 Ekspresi Kang Surya

"Tadi Neng Rahma ke sini, Kang."

Lelaki empat puluh tiga tahun itu melihat padaku sejenak, kemudian dia kembali menikmati makan malam yang aku suguhkan.

"Minta uang?" tebaknya.

"Minta makan."

Kang Surya tertawa seraya melihat ke arahku yang menyipitkan mata.

Masih dengan diiringi tawa Kang Surya, aku duduk di samping dia, menemaninya makan.

"Kamu bisa aja jawabnya, Syah. Iya, sih, harusnya aku gak nanyain itu. Karena jawabannya pasti sudah sangat mudah ditebak. Uang memang jadi tujuan anak itu. Iya, kan?" lanjut Kang Surya.

Aku mengembuskan napas kasar seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik.

Sengaja aku menunda menceritakan tentang Neng Rahma, sampai suamiku itu selesai makan.

Rasanya tidak tepat jika membicarakan sesuatu di saat suamiku tengah kelaparan. Makanya, aku menungguinya, setia berada di sampingnya sampai piring yang tadi aku isi, tidak menyisakan satu butir nasi pun.

"Alhamdulillah .... Selalu tidak pernah gagal masakan istriku ini. Terima kasih, ya?"

Aku mengangguk seraya tersenyum membalas ucapan Kang Surya yang disertai usapan lembut di kepala.

"Kang, capek, gak?" tanyaku, membuat kedua mata Kang Surya melebar, lalu tersenyum penuh arti.

"Enggak, enggak capek. Masih kuat, masih semangat. Mau sekarang?" Kang Surya menaikturunkan alisnya.

"Apa, sih? Orang aku mau bicara penting sama kamu, Kang. Bukan mau ngapa-ngapain."

"Ah, ngapa-ngapain juga gak apa-apa, Syah. Hayu atuh sekarang."

"Ih, Akang mah. Orang aku mau bicara tentang Neng Rahma, juga."

Aku mengerucutkan bibir seraya menekuk wajah, merasa kesal karena suamiku malah terus becanda.

"Iya, hayu kita bicara maksud Akang. Emang kamu pikirnya apa? Hayu, bicara di depan saja," ujar Kang Surya seraya beranjak mendahuluiku.

Aku pun mengikuti Kang Surya yang sekarang duduk di depan televisi.

Di depan kami, sudah ada tape singkong pemberian Mak Ina sore tadi. Masih utuh, karena niatku ingin menikmatinya bersama Kang Surya.

"Kenapa lagi dengan Neng Rahma, Syah? Dia hina-hina kamu lagi?" Dua pertanyaan keluar dari bibir suamiku. "Lain kali, kalau dia datang ke sini dan membuat sakit hatimu, kamu usir saja dia. Aku tidak akan marah jika kamu tidak membukakan pintu untuknya. Sudah capek aku memberikan pengertian pada dia, tapi tidak pernah mau mengerti juga. Semakin besar, malah semakin ngelunjak."

"Kang ...." Aku memegang tangannya. Menghentikan Kang Surya yang terus bicara tanpa jeda. "Neng Rahma tidak menghinaku tadi. Dia juga tidak meminta uang seperti yang selalu dia lakukan. Dia hanya minta makan. Dan itu yang membuat aku kepikiran, Kang."

"Kamu serius, Syah?" tanya Kang Surya, menatapku lekat.

Kepala aku anggukan. Aku menceritakan kondisi anaknya itu kepada suamiku. Neng Rahma yang datang dengan wajah pucat serta tubuh yang terlihat lemah.

Aku juga mengatakan bagaimana putrinya makan seperti orang kelaparan. Bahkan, sesuatu yang tidak pernah Neng Rahma ucapkan selama ini pun, aku ceritakan pada Kang Surya. Ucapan terima kasih, yang membuatku nyaris tak percaya kata itu keluar dari bibir putri sambungku.

"Ada apa dengan Neng Rahma, ya Kang? Aku jadi gak enak hati." Aku berucap lagi.

Kang Surya terlihat berpikir. Kedua tangannya bertumpu pada lantai di samping kiri dan kanannya, dengan pandangan lurus ke depan.

Bukan pada televisi yang menyala. Lebih tepatnya, suamiku seperti mantap kosong tanpa tujuan.

"Mungkin di rumah ibunya gak ada makanan, makanya dia datang ke sini minta makan."

"Ah, rasanya enggak biasa aja, Kang. Bukannya aku keberatan, ya Kang. Jujur, aku seneng banget kalau Neng Rahma datang dan makan di sini. Jangankan cuma makan, tidur dan tinggal di sini pun aku tidak akan menolak. Tapi ... ada yang aneh dari dia kalau menurut aku mah, Kang. Enggak tahu kenapa, rasanya si Neng sedang tidak baik-baik saja."

"Itu hanya pikiran kamu saja, Syah. Kalau besok atau lusa dia datang minta makan lagi, sekalian kamu ajarin dia masak. Biar kalau di rumahnya gak ada makanan, dia bisa masak sendiri, enggak harus jauh-jauh ke sini."

"Ih, Akang mah malah gitu ngomongnya. Bukannya khawatir sama anaknya, malah digituin."

Aku semakin menekuk wajah mendengar ucapan Kang Surya yang tidak merasa cemas dengan keadaan putrinya sendiri.

Iya, Neng Rahma sering menyakiti hati dan membuat kesal kami. Akan tetapi, tidak kah sedikit pun dia simpati?

Masa, aku saja yang sebagai ibu tiri, merasakan sesuatu yang tidak biasa dari Neng Rahma, tapi kenapa Kang Surya tidak?

"Kamu itu terlalu polos. Terlalu lugu, Syah. Aku justru lebih mengkhawatirkan kamu dibandingkan Neng Rahma, Syah. Kamu tidak ingat, gimana anak itu pernah mengatakan pada semua orang kalau kamu mukul dia waktu minta uang ke sini?" Mata Kang Surya menatapku tajam.

Aku mengangguk. Masih ingat akan kejadian dua tahun yang lalu, yang membuatku jadi gunjingan satu desa berkat ucapan anak sambungku itu.

"Yang aku khawatirkan, dia kembali memfitnahmu. Mengatakan sakit pada semua orang setelah makan masakanmu. Apa nanti orang-orang enggak mikir kamu telah meracuni anak tirimu? Pasti jelek kamu di mata orang, Syah. Gara-gara siapa? Gara-gara Neng Rahma yang selalu cari gara-gara," ujar Kang Surya semakin emosi.

Aku diam tidak berani bicara lagi. Suamiku itu mengambil sebatang rokok, lalu menyalakan korek api hingga membakar ujung rokok yang menempel di bibirnya.

Kepulan asap membuatku sedikit sesak. Namun, tidak bisa menghentikan dia yang masih dalam keadaan marah.

Melihatku yang mengibaskan tangan menghindari kepulan asap, membuat suamiku beranjak dan keluar dari rumah. Dia duduk seorang diri di teras seraya menikmati sebatang rokok di tangannya.

Selalu seperti itu.

Membahas Neng Rahma, membuat Kang Surya selalu naik darah. Dan aku berada pada posisi yang serba salah.

Membela salah, karena dianggap bodoh dan lugu. Menghujat juga salah, karena pasti dibilang jahat.

"Astaghfirullah ...." Aku beristighfar seraya beranjak dari dudukku.

Saat akan pergi ke kamar, aku baru ingat jika ada amanah yang belum kusampaikan pada suamiku itu.

Segera aku mengambil amplop berwarna putih dari Neng Rahma, lalu membuka pintu dan menghampiri suamiku.

"Kang, ini ada titipan dari si Neng." Aku mengulurkan tangan padanya.

"Apa itu? Tagihan?"

"Aku gak tahu, Kang. Enggak berani buka," kataku.

Kang Surya menerima amplop putih dariku. Dia membuka tutup amplop tersebut, lalu ....

"Ah ... sudah aku duga!" ujar Kang Surya seraya menyimpan amplop itu ke lantai.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status