Share

Cerita Burung

Author: YuRa
last update Last Updated: 2024-10-16 09:22:22

Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah.

Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.

Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.

Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag.

"Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam.

Tidak ada jawaban.

"Assalamu'alaikum, Mbah….Mbah," panggil Dina sambil membuka pintu rumah mbahnya.

"Waalaikumsalam, eh Dina, sini. Mbah sedang menggoreng pisang," kata Bu Murni, ibunya Novi yang muncul dari dapur.

Novi dan Dina mengikuti Bu Murni menuju ke dapur.

"Ini pisang gorengnya," kata Bu Murni sambil meletakkan pisang goreng ke meja.

"Pelan-pelan makannya, masih panas," kata Novi mengingatkan Dina.

"Iya, Bu."

Bu Murni mengambil piring kecil dan meletakkan pisang goreng pada piring itu. Kemudian memotong pisang goreng menjadi beberapa bagian dengan menggunakan sendok.

"Nah, ini pisangnya. Kalau dipotong kayak gini cepat dingin." Bu Murni memberikan piring kecil yang berisi pisang goreng pada Dina.

"Terima kasih, Mbah," ucap Dina.

"Sama-sama," jawab Bu Murni sambil tersenyum.

"Bapak kemana, Bu?" tanya Novi.

"Tadi ke sawah. Karena sudah mau panen."

Menjelang panen biasanya para petani ke sawah pada sore hari, untuk mengusir burung-burung yang memakan padi. Suasana di sawah pun ramai. Terkadang juga membuat orang-orangan sawah yang diberi tali panjang, yang selalu ditarik-tarik, untuk menakuti burung. Begitu hari mulai gelap, petani pulang ke rumah.

Bapaknya Novi merupakan seorang petani dengan memiliki beberapa petak sawah. Ia juga sering mengerjakan sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Bu Murni sering membantu suaminya bekerja di sawah, atau sekedar menemani. Bahkan sering menanam sayuran di galengan sawah, misalnya saja tanaman kacang panjang.

"Kamu dari mana? Kok hanya berdua saja?" tanya Bu Murni.

"Dari kontrol ke bidan, Bu."

"Gimana kondisi kandunganmu? Kok Ahmad tidak mengantarmu?"

"Posisi kepala bayi sudah mulai di bawah, Bu. Tapi bayinya bergerak sangat aktif. Mudah-mudahan tidak berubah lagi posisinya. Mas Ahmad belum pulang kerja."

"Syukurlah, semoga sehat sampai lahir nanti, ya?"

"Amin, Bu."

"Ini nanti pisang gorengnya dibawa pulang, ya? Untuk Ahmad." Bu Murni memberikan bungkusan pada Novi.

"Ya, Bu. Terima kasih."

***

Warung merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli. Dari warung inilah berbagai informasi Novi dapatkan. Tak perlu bercerita, cukup hanya mendengarkan saja.

"Mbak hati-hati lho dengan Bu Wanto, dia itu hobinya meminjam uang. Waktu meminjam, janjinya manis sekali, ketika ditagih, selalu berkelit. Banyak alasan," kata Asih pada Surti.

"Masa sih, Mbak? Kayaknya Bu Wanto itu uangnya banyak." Surti berkata dengan heran.

"Iya, katanya banyak. Tapi kok suka berhutang. Saya sampai capek menagihnya."

"Memangnya berapa ia meminjam uang?"

"Lima ratus ribu. Janjinya satu bulan. Ini sudah hampir dua bulan nggak dibayar-bayar. Giliran ditagih katanya besok. Besok ditagih lagi jawabannya tetap besok. Entah besok kapan," keluh Asih.

"Kalau disini gimana Mbak Novi? Apakah suka ngebon?" tanya Surti.

"Kadang-kadang, Mbak." Novi menjawab apa adanya.

Perbincangan pun dilanjutkan dengan membicarakan orang lain. Apalagi kemudian ada Bu Hardi yang hobi dengan kegiatan seperti ini. Novi hanya ikut mendengarkan saja, tanpa mau menambahi cerita walaupun terkadang ia tahu informasi.

"Wah pada ngumpul disini ya?" Tiba-tiba Erni datang membawa kantong plastik besar.

Semua yang sedang bergosip ria kaget mendengar suara Erni. Untung mereka tidak sedang menggosipkan Erni.

"Eh, Mbak Erni. Bawa apa tuh?" tanya Asih.

"Ini lho saya bawa baju. Ada daster, celana pendek untuk bapak-bapak dan anak-anak." Erni segera membuka dagangannya.

Semua sibuk membuka-buka pakaian yang dibawa Erni.

"Ini lho, ada celana untuk suaminya. Di rumah kan enak pakai celana pendek. Kalau di kamar nggak bercelana nggak apa-apa," kata Erni mengundang tawa para perempuan yang ada disini.

"Kalau di luar nggak pake celana, bahaya Mbak. Nanti burungnya terbang mencari sangkar baru, hihi," sahut Bu Hardi sambil cekikikan.

"Ih, Bu Hardi ini bisa saja." Surti menimpali.

"Ngomong-ngomong tentang burung, kabarnya di desa sebelah ada laki-laki yang didenda, gara-gara ketahuan melakukan "itu" dengan istri orang," kata Erni.

Semuanya langsung menghentikan kegiatan memilih pakaian, mata dan telinga tertuju pada Erni. Berita seperti ini yang membuat mereka sangat tertarik.

"Itu lho, suaminya biduan yang mendenda Pak Tejo, bos ikan, karena ketahuan sedang "wik-wik" dengan istrinya," lanjut Erni.

"Oh biduan yang bernama Asri itu ya? Itu sih sudah biasa, suaminya suka mendenda orang. Sepertinya Asri memang sengaja di umpan untuk menggoda laki-laki. Kemudian pura-pura suaminya menangkap basah istrinya sedang begituan dengan laki-laki." Surti buka suara.

"Kok begitu? Kata siapa, Mbak?" tanya Asih.

"Biasanya kalau ketahuan sedang selingkuh, si perempuan akan ketakutan kemudian menangis dan minta ampun atau berusaha menjelaskan sesuatu. Kalau Asri, begitu ketahuan, wajahnya biasa saja," lanjut Surti.

"Ckckck. Luar biasa." Bu Hardi berdecak heran.

"Memangnya didenda berapa?" tanya Asih.

"Katanya sih lima belas juta." Erni menjawab.

"Wow, banyak sekali? Kalau sering mendenda orang, pasti uangnya banyak, tapi kok kehidupan mereka biasa-biasa saja," celetuk Bu Hardi.

"Edi suaminya Asri itu kan suka judi, ya uangnya habis untuk judi." Erni berkata lagi.

Deg! Jantung Novi terasa berhenti berdetak. Memang yang namanya judi itu tidak pernah bisa kaya. Sama dengan Ahmad suaminya yang hobinya berjudi.

"Betul itu, untung suamiku nggak pernah berjudi," sahut Asih. Bu Hardi langsung menyenggol Asih. Novi jadi tidak enak hati, ia pun pura-pura tidak mendengar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Hati Mulai Lelah   Sah (Happy Ending)

    Hari ini Novi dan Farel mencari perlengkapan untuk mengisi rumah baru mereka. Hanya yang penting-penting dulu. Mereka berangkat dari rumah sekitar jam sembilan. Kebetulan Haikal tidak ikut, hanya mereka berdua, jadi bisa leluasa memilih furniture tanpa harus mengkhawatirkan Haikal yang bakal kecapekan. Sampailah mereka di toko furniture. Novi melihat-lihat tempat tidur untuk kamar mereka."Kasur ini bagus nggak untuk kamar Dina?" tanya Farel."Bagus, Mas. Tapi kita cari yang lain dulu," kata Novi. Sebenarnya Novi tadi sangat senang melihat kasur ini, tapi begitu melihat harganya, membuat Novi terperanjat."Kenapa?""Kita cari yang sebelah situ dulu, cari yang agak murah," bisik Novi."Tapi ini bagus." Farel tetap mempertahankan ini."Mas, kalau beli yang itu, terlalu mahal. Cari yang sederhana saja." Novi tetap pada pendiriannya.Akhirnya Farel mengalah. Mereka pun melihat-lihat lagi, mencari yang sesuai dengan keinginan dan budget."Nah kalau untuk kamar kita, yang ini saja. Ini kua

  • Ketika Hati Mulai Lelah   Menjaga Hati

    "Mas, semua ini membuatku sangat terharu. Terlalu berlebihan," kata Novi."Enggak Sayang. Ini semampuku, hanya mampu membuatkan rumah yang kecil untuk keluarga kecil kita. Tapi insyaallah rumah yang kita bangun ini akan menjadi rumah yang penuh dengan kebahagiaan.""Amin.""Aku juga nggak mau kita jauh dari Bapak Ibu. Lagi pula usahamu kan disini, jadi tidak repot.""Apa Mas nggak malu punya istri penjual ayam geprek?""Nggak usah dibahas yang seperti itu. Pokoknya aku sudah siap dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku nggak mau membatasi kegiatanmu. Yang penting kamu senang, dan ingat prioritasmu adalah menjadi istri dan ibu. Bukan mencari nafkah. Mencari Nafkah itu tugasku.""Siap, Bos!" kata Novi sambil cengengesan."Alhamdulillah ya Mas, tadi malam Bu Irma ikut datang," lanjut Novi."Bukan Bu Irma, tapi Mama.""Iya, Mama.""Sebenarnya Mama itu baik. Kita harus pintar-pintar mengambil hatinya. Suatu saat nanti Mama pasti akan luluh," kata Farel dengan menatap Novi."Kamu tahu

  • Ketika Hati Mulai Lelah   Rencana Masa Depan

    "Apa kalian sudah benar-benar mantap? Nanti kalian mau tinggal dimana setelah menikah?" tanya Pak Dewa."Nanti kami akan tinggal di bedengnya Novi, memulai semuanya dari nol."Novi memang memiliki bedengan untuk disewakan, kebetulan ada yang baru saja pindah, jadi ada bedeng yang kosong.Irma mencibir mendengar ucapan anaknya."Memang kamu bisa tinggal ditempat seperti itu," cemooh Irma."Insyaallah bisa, Ma. Namanya juga baru menikah dan belajar untuk memulai hidup baru, harus serba prihatin."Pak Dewa tersenyum dan manggut-manggut."Bagus! Itu namanya laki-laki sejati. Papa bangga sama kamu. Apa yang kamu butuhkan untuk menikah nanti? Bilang saja sama Papa! Mau pesta di gedung apa, biar Papa yang mengurusnya," kata Pak Dewa dengan antusias."Huh! Banyak gaya, masa mau pesta di gedung. Padahal setelah pesta tinggal di bedeng!" Irma berkata dengan sinis.Farel tersenyum dan sangat maklum dengan watak mamanya itu."Enggak usah, Pa! Acaranya hanya akad nikah saja di rumah Pak Budi. Meng

  • Ketika Hati Mulai Lelah   Menemui Calon Mertua

    "Mas, aku takut," kata Novi ketika berada di dalam mobil."Takut kenapa, aku kan nggak ngapa-ngapain kamu," goda Farel sambil tersenyum."Aku serius, Mas.""Aku juga serius," sahut Farel.Novi masih saja tampak gelisah, ia takut membayangkan hal-hal yang mungkin nanti terjadi.Hari ini Farel sengaja mengajak Novi untuk menemui kedua orang tua Farel. Awalnya Novi menolak, karena belum siap untuk diejek dan dihina mamanya Farel. Tapi Farel berhasil meyakinkan Novi kalua semua akan baik-baik saja. Farel sendiri sudah bertekad tetap akan menikah dengan Novi meskipun mamanya tidak setuju.Di sepanjang perjalanan, Novi hanya terdiam. Farel yang fokus menyetir melihat ke arah Novi yang sedang melamun."Nggak usah khawatir, ada aku di sampingmu," kata Farel. Tangan kiri Farel berusaha memegang tangan Novi. Farel tersenyum walaupun hatinya deg-degan, tangan Novi terasa sangat dingin."Dingin sekali tanganmu, grogi ya?" ledek Farel.Novi hanya tersenyum samar. Akhirnya sampai juga di rumah ora

  • Ketika Hati Mulai Lelah   Ikhlaskan

    "Jadi Novi akan menikah juga ya? Atau mereka sudah menikah? Syukurlah kalau begitu. Berarti Mas Ahmad tidak akan mengharapkan Novi lagi, karena Novi sudah bersuami. Dan hidupku akan damai," kata Indah dalam hati."Tapi aku heran, kenapa Novi begitu baik denganku, sampai ia rela menggendong Salsa? Apakah karena kebaikan Novi ini yang membuatnya begitu sering dipuji oleh seluruh keluarga Mas Ahmad. Sepertinya aku harus mencontoh Novi." Dari tadi Ahmad mengamati Novi, ada kerinduan di hatinya. Rindu akan omelan dan juga masakan Novi yang selalu cocok di lidahnya. "Andai waktu bisa terulang lagi, aku akan selalu menjadi suami yang baik untuk Novi. Tapi, ah sudahlah. Sekarang sepertinya Novi sedang bahagia bersama Farel," kata Ahmad dalam hati dengan pandangan mata masih menatap Novi dan Farel.Seketika Ahmad terkejut karena pandangan matanya bertatapan dengan Indah. Indah tampak tersenyum penuh kemenangan melihat Ahmad yang terlihat sendu menatap Novi. Ahmad segera mengalihkan pandangan

  • Ketika Hati Mulai Lelah   Tidak Mau Bermusuhan

    Pagi ini semua sudah bersiap-siap untuk datang ke acara akad nikah Alif. Novi pun sudah menyiapkan hati untuk bertemu dengan Ahmad dan Indah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi disana. Keluar di kamar, semua sudah siap, termasuk Farel yang sudah datang dari tadi. Entah apa yang sedang dibicarakan Farel dengan Pak Budi, mereka tampak serius. Akhirnya Farel selesai juga berbicara dengan Pak Budi."Semua sudah siap kan? Ayo kita berangkat," ajak Farel."Iya, sudah siap kok. Tadi kelamaan nunggu Ibu dandan," celetuk Dina.Farel dan orang tua Novi tersenyum, sedangkan Novi salah tingkah. Akhirnya mereka berangkat menuju ke rumah Alif. Semua tampak ceria, terutama Farel dan Novi, yang sama-sama bahagia dan hatinya berbunga-bunga.Sampai di rumah Alif, acara belum dimulai. Karena penghulu juga baru saja datang. Ia masih meneliti berkas-berkas pernikahan. Acara akad nikah Alif digelar secara sederhana, tidak ada pesta. Hanya keluarga, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Pak Harn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status