"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi.
"Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan. Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja. "Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali. "Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha." Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar. "Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas seperti toko emas berjalan." "Enak kali ya punya suami bos ikan, uangnya banyak." "Hush jangan seperti itu. Bersyukur dengan apa yang kita punya." "Astaghfirullahaladzim. Benar juga ya, harus bersyukur banyak bersyukur." "Kalau uang habis untuk biaya sekolah anak nggak masalah. Tapi ini untuk membayar lon*e sekali main. Mahal juga ya harga apem Asri." "Haha…" "Berarti laki-laki yang sering nyawer Asri juga harus hati-hati ya? Nanti waktu nyawer menyenggol paha atau dada langsung didenda." "Uang kayak gitu nggak berkah. Yang namanya cantik, bodi bahenol,kalau sudah tua ya pasti keriput juga." "Kok malah asyik ngobrol saja, ayo dipilih, mau ambil pakaian yang mana?" potong Erni, membuat ibu-ibu yang sedang mengghibah tadi langsung terdiam. Kemudian kembali memilih daster yang dibawa Erni. "Aku naksir daster yang ini, berapa, Mbak?" tanya Asih. "Lima puluh ribu saja," sahut Erni. "Mbak Novi nggak ngambil? Kalo lagi hamil, pakai daster enak lho," celetuk Asih. "Nggak hamil juga enak kok pakai daster, kalau suami minta jatah tinggal singkap saja," sambung Bu Hardi sambil tertawa. Diiringi tawa yang lainnya. "Contohnya Mbak Novi itu kan korban menyingkap daster, jadi hamil kan?" Bu Hardi melanjutkan. Novi hanya tersenyum. "Aku yang ini saja, Mbak." Novi sudah memilih daster. "Mbak Novi, kapan HPLnya?" tanya Surti. "Ini baru delapan bulan kok, Mbak? Sekitar satu setengah bulan lagi HPLnya." "Normal atau Cesar?" "Maunya normal, Mbak." "Semoga lancar sampai melahirkan nanti, ya Mbak?" "Amin, terima kasih untuk doanya." Setelah terjadi transaksi jual beli, akhirnya semua membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. *** "Mas, apa Pak Edi itu mendenda Pak Tejo ya?" tanya Novi pada Ahmad, malam hari ketika habis makan malam. "Tahu dari siapa?" Ahmad mengernyitkan dahi. "Tadi ada yang bercerita disini." "Kalau ada yang bercerita apapun, dengarkan saja. Jangan dikomentari, apalagi sampai diceritakan pada orang lain. Itu kan aibnya orang. Kita juga nggak mau kan aib kita diceritakan oleh orang lain." Ahmad berkata dengan serius, apa yang diucapkan itu memang benar. "Iya, Mas." Novi menjawab sambil mengangguk. Novi segera membereskan meja makan, sedangkan Ahmad menunggu warung sambil merokok. "Untung uang warung sudah aku simpan, kalau masih disini bisa lenyap," kata Novi dalam hati. Novi kemudian menemani Dina menonton acara di televisi. Terdengar suara ponsel berbunyi, ternyata ponsel Ahmad. Ahmad segera mengambil ponselnya dan membaca pesan. "Mau kemana, Mas?" tanya Novi ketika melihat Ahmad mengambil kunci motor. "Keluar sebentar." "Kemana?" "Sebentar saja." Ahmad langsung pergi dengan mengendarai motornya. Hati Novi sedih, seharian sudah ditinggal kerja, eh malam hari juga ditinggal pergi. Novi hanya bisa beristighfar. *** Siang ini Bu Wulan, ibu mertua Novi datang berkunjung ke rumah Novi. Ia membawa buah-buahan untuk cucunya, Dina. Bu Novi memang sangat sayang pada cucu-cucunya, termasuk dengan anaknya Alif, Irvin dan Elisa. "Terima kasih, Nek," kata Dina ketika menerima buah anggur dan jeruk dari neneknya. Kemudian Dina memakan anggur sambil menonton televisi. Novi kebelakang untuk membuatkan teh mertuanya. "Sudah berapa bulan kandunganmu Nov?" tanya Bu Wulan. Novi sedang menghidangkan teh di meja. "Delapan bulan, Bu." "Laki-laki atau perempuan?" "Kemarin di USG terlihat laki-laki." "Laki-laki atau perempuan, sama saja. Yang penting sehat. Toh kita tidak bisa memilih laki-laki atau perempuan." "Benar, Bu." Bu Wulan mengambil gelas berisi teh yang dihidangkan oleh Novi. Kemudian meminumnya. Novi mengamati ibu mertuanya yang menurutnya sangat cantik dan anggun. Sepadan dengan bapak mertuanya yang bijaksana. "Ahmad masih sering keluar malam? Kumpul dengan teman-temannya?" tanya Bu Wulan. Novi bingung mau menjawabnya. Ia tidak mau mengadukan kelakuan suaminya. Walaupun ia yakin kalau mertuanya akan berpihak padanya. Tapi nanti kalau mertuanya memarahi Ahmad, kemudian Ahmad akan melampiaskan kepada Novi. Sebagai istri yang baik, Novi akan selalu berusaha menutupi aib suaminya. "Kadang-kadang, kok, Bu." "Benar?" selidik Bu Wulan, karena ia yakin kalau Novi menutupi kelakuan Ahmad. "Iya, Bu." Novi menjawab dengan tegas, walaupun yang ia katakan itu tidak benar. "Mudah-mudahan ia berubah ya? Ibu pusing memikirkan kelakuan Ahmad. Beda sekali dengan masmu Alif. Tapi kalau Alif, yang banyak tingkah itu malah si Vera." Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif.Hari ini Novi dan Farel mencari perlengkapan untuk mengisi rumah baru mereka. Hanya yang penting-penting dulu. Mereka berangkat dari rumah sekitar jam sembilan. Kebetulan Haikal tidak ikut, hanya mereka berdua, jadi bisa leluasa memilih furniture tanpa harus mengkhawatirkan Haikal yang bakal kecapekan. Sampailah mereka di toko furniture. Novi melihat-lihat tempat tidur untuk kamar mereka."Kasur ini bagus nggak untuk kamar Dina?" tanya Farel."Bagus, Mas. Tapi kita cari yang lain dulu," kata Novi. Sebenarnya Novi tadi sangat senang melihat kasur ini, tapi begitu melihat harganya, membuat Novi terperanjat."Kenapa?""Kita cari yang sebelah situ dulu, cari yang agak murah," bisik Novi."Tapi ini bagus." Farel tetap mempertahankan ini."Mas, kalau beli yang itu, terlalu mahal. Cari yang sederhana saja." Novi tetap pada pendiriannya.Akhirnya Farel mengalah. Mereka pun melihat-lihat lagi, mencari yang sesuai dengan keinginan dan budget."Nah kalau untuk kamar kita, yang ini saja. Ini kua
"Mas, semua ini membuatku sangat terharu. Terlalu berlebihan," kata Novi."Enggak Sayang. Ini semampuku, hanya mampu membuatkan rumah yang kecil untuk keluarga kecil kita. Tapi insyaallah rumah yang kita bangun ini akan menjadi rumah yang penuh dengan kebahagiaan.""Amin.""Aku juga nggak mau kita jauh dari Bapak Ibu. Lagi pula usahamu kan disini, jadi tidak repot.""Apa Mas nggak malu punya istri penjual ayam geprek?""Nggak usah dibahas yang seperti itu. Pokoknya aku sudah siap dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku nggak mau membatasi kegiatanmu. Yang penting kamu senang, dan ingat prioritasmu adalah menjadi istri dan ibu. Bukan mencari nafkah. Mencari Nafkah itu tugasku.""Siap, Bos!" kata Novi sambil cengengesan."Alhamdulillah ya Mas, tadi malam Bu Irma ikut datang," lanjut Novi."Bukan Bu Irma, tapi Mama.""Iya, Mama.""Sebenarnya Mama itu baik. Kita harus pintar-pintar mengambil hatinya. Suatu saat nanti Mama pasti akan luluh," kata Farel dengan menatap Novi."Kamu tahu
"Apa kalian sudah benar-benar mantap? Nanti kalian mau tinggal dimana setelah menikah?" tanya Pak Dewa."Nanti kami akan tinggal di bedengnya Novi, memulai semuanya dari nol."Novi memang memiliki bedengan untuk disewakan, kebetulan ada yang baru saja pindah, jadi ada bedeng yang kosong.Irma mencibir mendengar ucapan anaknya."Memang kamu bisa tinggal ditempat seperti itu," cemooh Irma."Insyaallah bisa, Ma. Namanya juga baru menikah dan belajar untuk memulai hidup baru, harus serba prihatin."Pak Dewa tersenyum dan manggut-manggut."Bagus! Itu namanya laki-laki sejati. Papa bangga sama kamu. Apa yang kamu butuhkan untuk menikah nanti? Bilang saja sama Papa! Mau pesta di gedung apa, biar Papa yang mengurusnya," kata Pak Dewa dengan antusias."Huh! Banyak gaya, masa mau pesta di gedung. Padahal setelah pesta tinggal di bedeng!" Irma berkata dengan sinis.Farel tersenyum dan sangat maklum dengan watak mamanya itu."Enggak usah, Pa! Acaranya hanya akad nikah saja di rumah Pak Budi. Meng
"Mas, aku takut," kata Novi ketika berada di dalam mobil."Takut kenapa, aku kan nggak ngapa-ngapain kamu," goda Farel sambil tersenyum."Aku serius, Mas.""Aku juga serius," sahut Farel.Novi masih saja tampak gelisah, ia takut membayangkan hal-hal yang mungkin nanti terjadi.Hari ini Farel sengaja mengajak Novi untuk menemui kedua orang tua Farel. Awalnya Novi menolak, karena belum siap untuk diejek dan dihina mamanya Farel. Tapi Farel berhasil meyakinkan Novi kalua semua akan baik-baik saja. Farel sendiri sudah bertekad tetap akan menikah dengan Novi meskipun mamanya tidak setuju.Di sepanjang perjalanan, Novi hanya terdiam. Farel yang fokus menyetir melihat ke arah Novi yang sedang melamun."Nggak usah khawatir, ada aku di sampingmu," kata Farel. Tangan kiri Farel berusaha memegang tangan Novi. Farel tersenyum walaupun hatinya deg-degan, tangan Novi terasa sangat dingin."Dingin sekali tanganmu, grogi ya?" ledek Farel.Novi hanya tersenyum samar. Akhirnya sampai juga di rumah ora
"Jadi Novi akan menikah juga ya? Atau mereka sudah menikah? Syukurlah kalau begitu. Berarti Mas Ahmad tidak akan mengharapkan Novi lagi, karena Novi sudah bersuami. Dan hidupku akan damai," kata Indah dalam hati."Tapi aku heran, kenapa Novi begitu baik denganku, sampai ia rela menggendong Salsa? Apakah karena kebaikan Novi ini yang membuatnya begitu sering dipuji oleh seluruh keluarga Mas Ahmad. Sepertinya aku harus mencontoh Novi." Dari tadi Ahmad mengamati Novi, ada kerinduan di hatinya. Rindu akan omelan dan juga masakan Novi yang selalu cocok di lidahnya. "Andai waktu bisa terulang lagi, aku akan selalu menjadi suami yang baik untuk Novi. Tapi, ah sudahlah. Sekarang sepertinya Novi sedang bahagia bersama Farel," kata Ahmad dalam hati dengan pandangan mata masih menatap Novi dan Farel.Seketika Ahmad terkejut karena pandangan matanya bertatapan dengan Indah. Indah tampak tersenyum penuh kemenangan melihat Ahmad yang terlihat sendu menatap Novi. Ahmad segera mengalihkan pandangan
Pagi ini semua sudah bersiap-siap untuk datang ke acara akad nikah Alif. Novi pun sudah menyiapkan hati untuk bertemu dengan Ahmad dan Indah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi disana. Keluar di kamar, semua sudah siap, termasuk Farel yang sudah datang dari tadi. Entah apa yang sedang dibicarakan Farel dengan Pak Budi, mereka tampak serius. Akhirnya Farel selesai juga berbicara dengan Pak Budi."Semua sudah siap kan? Ayo kita berangkat," ajak Farel."Iya, sudah siap kok. Tadi kelamaan nunggu Ibu dandan," celetuk Dina.Farel dan orang tua Novi tersenyum, sedangkan Novi salah tingkah. Akhirnya mereka berangkat menuju ke rumah Alif. Semua tampak ceria, terutama Farel dan Novi, yang sama-sama bahagia dan hatinya berbunga-bunga.Sampai di rumah Alif, acara belum dimulai. Karena penghulu juga baru saja datang. Ia masih meneliti berkas-berkas pernikahan. Acara akad nikah Alif digelar secara sederhana, tidak ada pesta. Hanya keluarga, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Pak Harn