Kelakuan Ahmad semakin hari semakin membuat Novi lelah. Kebiasaannya main judi sudah tidak bisa dibendung lagi. Ditambah dengan perselingkuhannya dengan beberapa perempuan. Apalagi ketika Ahmad salah sebut nama disaat mereka sedang memadu kasih, membuat mental Novi berada di titik terendah dalam hidupnya. Sanggupkah Novi bertahan dengan pernikahannya? Ataukah ia memilih untuk menyerah? Ikuti kisahnya!
Lihat lebih banyak"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan.
Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya. "Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi. "Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi. "Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga. "Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati. Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya tinggal sedikit. Padahal tadi ia menghitung uangnya lumayan banyak. Biasanya uang tersebut Novi simpan sebagian, tapi karena tadi sibuk, Novi tidak sempat menyimpannya. Novi menyalahkan dirinya sendiri, kenapa bisa lupa. Berarti Ahmad mengambil uangnya ketika Novi tadi mandi atau ketika ia sedang salat Magrib. "Ya bayar pakai uang, dong. Masa pakai daun! Pakai dulu uang yang ada." Ahmad masih menjawab dengan ketus. "Memang uangnya dipakai untuk apa?" tanya Novi lagi. "Untuk bayar hutang!" Jawaban singkat dari Ahmad membuat kening Novi berkerut. "Hutang apa?" tanya Novi dengan nada agak tinggi. "Kemarin main kalah." jawab Ahmad dengan singkat, padat dan jelas. "Mas, yang namanya judi itu nggak ada untungnya. Menang baru sekali, kalahnya sepuluh kali," kata Novi memberi pengertian pada Ahmad. Ahmad memang suka berjudi bersama teman-temannya. Novi sudah sering mengingatkan untuk menghentikan kebiasaan itu. Tapi sepertinya ucapan Novi hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Orang tua Ahmad juga sering mengingatkan, tapi tetap saja Ahmad susah untuk berhenti berjudi. Entahlah sudah berapa banyak uang yang dihabiskan untuk berjudi. Mungkin karena ia tidak merasakan bagaimana susahnya mencari uang, jadi seenaknya saja menghabiskan uang yang ada. "Cerewet kamu, jangan sok menasehati aku. Jangan mencampuri urusanku." Ucapan Ahmad membuat Novi kaget. "Mas, aku ini istrimu dan yang Mas ambil itu kan uang warung, aku berhak ikut campur." Novi menjawab dengan pelan. "Nih uangnya aku kembalikan," kata Ahmad sambil melempar uang ke muka Novi. Novi kaget, tidak siap memegang uang itu. Akhirnya uang berhamburan ke lantai. Air mata Novi menetes, perlakuan Ahmad membuat Novi merasa sangat terhina. Ingin rasanya Novi melawan suaminya sendiri, tapi karena Novi sedang hamil, Novi berusaha untuk bersabar. Dengan menghela nafas panjang, Novi mengambil uang yang berserakan di lantai. Sebenarnya dia sudah sangat lelah dengan sikap Ahmad selama ini. Ingin rasanya ia berpisah dari Ahmad, tapi lagi-lagi alasan klasik yang selalu menghambat langkahnya mengambil keputusan itu. Ia tidak mau anaknya nanti kehilangan kasih sayang dari ayahnya. Lagi pula ia tidak sanggup menyandang status janda. "Nggak usah cengeng. Kayak gitu aja pake nangis segala. Ingat, kamu buka warung ini kan juga modal dari orang tuaku. Kamu masuk rumah ini hanya membawa badan dan pakaian yang melekat di badan. Ingat itu!" Ahmad berkata lagi. Novi paling benci kalau Ahmad mengungkit-ungkit itu terus. Memang, modal awal warung ini dari mertua Novi. Tapi kalau Novi tidak mengelola dengan baik, nggak bakalan maju warung ini. Novi menghitung uang yang sudah diambil dari lantai. "Tapi ini kurang, Mas," kata Novi pada Ahmad. "Sisanya besok." Ahmad langsung pergi keluar dengan sepeda motornya. "Mau kemana Mas?" teriak Novi. "Ngilangin stress. Di rumah cuma dengerin kamu ngomel terus!" teriak Ahmad, kemudian melajukan kendaraannya. Novi hanya bisa mengelus dada dengan kelakuan Ahmad. Selalu ribut masalah uang. Ahmad merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Berbeda dengan kakaknya, Alif, memiliki usaha bengkel dan toko sparepart motor. Usahanya cukup maju. Ahmad terbiasa hidup manja dan foya-foya, tidak pernah merasakan susahnya mencari uang. Novi terlahir dari keluarga sederhana. Ia memiliki satu kakak perempuan yang juga sudah menikah. Lulus SMA Novi bekerja di toko baju, karena Pak Budi, bapaknya Novi, tidak mampu membiayai kuliah. Keluarga Ahmad merupakan pindahan dari pulau Jawa. Mereka mendapatkan uang ganti rugi, ketika daerah mereka digusur untuk membangun sebuah bandara. Akhirnya mereka merantau ke Sumatera dan membuka usaha disini. *** Azan Subuh berkumandang, Novi terbangun dari tidur. Terdengar ada yang membuka pintu depan, pasti Ahmad yang baru pulang dari main judi, pikir Novi. Ahmad memasukkan motor kemudian langsung masuk ke kamar dan tidur. Salat subuh yang selalu terlewatkan. Novi hanya bisa menghela nafas panjang. Sudah capek ia menasehati Ahmad untuk salat lima waktu. Ahmad memang tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi anak dan istri. Boro-boro jadi imam ketika salat berjamaah, salat lima waktu saja hampir tidak pernah ia kerjakan. Selesai salat, Novi sibuk dengan kegiatan di dapur, menyiapkan sarapan untuk Ahmad dan Dina yang berusia lima tahun. Setelah semua beres, Novi mandi kemudian membangunkan Dina. Jam setengah tujuh pagi warung Novi sudah buka. Kadangkala pagi-pagi ada orang beli gula, kopi atau keperluan lainnya. "Bu, Dina berangkat sekolah ya?" kata Dina yang sekolah TK. "Sudah sarapan belum?" tanya Novi sambil mendekati Dina. "Sudah Bu!" "Bekalnya sudah ada di tas ya? Ini uang untuk jajan." "Terima kasih Bu, Assalamualaikum," pamit Dina, yang kemudian melambaikan tangannya. "Waalaikumsalam." Dina berangkat sekolah dengan jalan kaki karena sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Ia berangkat bersama teman-temannya. Kadang-kadang ia berangkat naik sepeda. Novi mulai menyapu lantai sambil menunggu pembeli yang datang. Tampak Ahmad yang sudah rapi bersiap hendak berangkat kerja. "Dek, Mas berangkat ya?" pamit Ahmad sambil mengelus perut Novi. Ahmad memang seperti itu, kalau sedang romantis membuat hati Novi bahagia. Dia lupa kalau tadi malam dia marah-marah. Padahal Novi masih merasa sakit hati, Ahmad sudah lupa. "Iya Mas, hati-hati," kata Novi pada Ahmad. "Ya Allah, sampai kapan aku harus seperti ini? Menghadapi suami yang mau menang sendiri. Aku sudah lelah," kata Novi dalam hati.Hari ini Novi dan Farel mencari perlengkapan untuk mengisi rumah baru mereka. Hanya yang penting-penting dulu. Mereka berangkat dari rumah sekitar jam sembilan. Kebetulan Haikal tidak ikut, hanya mereka berdua, jadi bisa leluasa memilih furniture tanpa harus mengkhawatirkan Haikal yang bakal kecapekan. Sampailah mereka di toko furniture. Novi melihat-lihat tempat tidur untuk kamar mereka."Kasur ini bagus nggak untuk kamar Dina?" tanya Farel."Bagus, Mas. Tapi kita cari yang lain dulu," kata Novi. Sebenarnya Novi tadi sangat senang melihat kasur ini, tapi begitu melihat harganya, membuat Novi terperanjat."Kenapa?""Kita cari yang sebelah situ dulu, cari yang agak murah," bisik Novi."Tapi ini bagus." Farel tetap mempertahankan ini."Mas, kalau beli yang itu, terlalu mahal. Cari yang sederhana saja." Novi tetap pada pendiriannya.Akhirnya Farel mengalah. Mereka pun melihat-lihat lagi, mencari yang sesuai dengan keinginan dan budget."Nah kalau untuk kamar kita, yang ini saja. Ini kua
"Mas, semua ini membuatku sangat terharu. Terlalu berlebihan," kata Novi."Enggak Sayang. Ini semampuku, hanya mampu membuatkan rumah yang kecil untuk keluarga kecil kita. Tapi insyaallah rumah yang kita bangun ini akan menjadi rumah yang penuh dengan kebahagiaan.""Amin.""Aku juga nggak mau kita jauh dari Bapak Ibu. Lagi pula usahamu kan disini, jadi tidak repot.""Apa Mas nggak malu punya istri penjual ayam geprek?""Nggak usah dibahas yang seperti itu. Pokoknya aku sudah siap dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku nggak mau membatasi kegiatanmu. Yang penting kamu senang, dan ingat prioritasmu adalah menjadi istri dan ibu. Bukan mencari nafkah. Mencari Nafkah itu tugasku.""Siap, Bos!" kata Novi sambil cengengesan."Alhamdulillah ya Mas, tadi malam Bu Irma ikut datang," lanjut Novi."Bukan Bu Irma, tapi Mama.""Iya, Mama.""Sebenarnya Mama itu baik. Kita harus pintar-pintar mengambil hatinya. Suatu saat nanti Mama pasti akan luluh," kata Farel dengan menatap Novi."Kamu tahu
"Apa kalian sudah benar-benar mantap? Nanti kalian mau tinggal dimana setelah menikah?" tanya Pak Dewa."Nanti kami akan tinggal di bedengnya Novi, memulai semuanya dari nol."Novi memang memiliki bedengan untuk disewakan, kebetulan ada yang baru saja pindah, jadi ada bedeng yang kosong.Irma mencibir mendengar ucapan anaknya."Memang kamu bisa tinggal ditempat seperti itu," cemooh Irma."Insyaallah bisa, Ma. Namanya juga baru menikah dan belajar untuk memulai hidup baru, harus serba prihatin."Pak Dewa tersenyum dan manggut-manggut."Bagus! Itu namanya laki-laki sejati. Papa bangga sama kamu. Apa yang kamu butuhkan untuk menikah nanti? Bilang saja sama Papa! Mau pesta di gedung apa, biar Papa yang mengurusnya," kata Pak Dewa dengan antusias."Huh! Banyak gaya, masa mau pesta di gedung. Padahal setelah pesta tinggal di bedeng!" Irma berkata dengan sinis.Farel tersenyum dan sangat maklum dengan watak mamanya itu."Enggak usah, Pa! Acaranya hanya akad nikah saja di rumah Pak Budi. Meng
"Mas, aku takut," kata Novi ketika berada di dalam mobil."Takut kenapa, aku kan nggak ngapa-ngapain kamu," goda Farel sambil tersenyum."Aku serius, Mas.""Aku juga serius," sahut Farel.Novi masih saja tampak gelisah, ia takut membayangkan hal-hal yang mungkin nanti terjadi.Hari ini Farel sengaja mengajak Novi untuk menemui kedua orang tua Farel. Awalnya Novi menolak, karena belum siap untuk diejek dan dihina mamanya Farel. Tapi Farel berhasil meyakinkan Novi kalua semua akan baik-baik saja. Farel sendiri sudah bertekad tetap akan menikah dengan Novi meskipun mamanya tidak setuju.Di sepanjang perjalanan, Novi hanya terdiam. Farel yang fokus menyetir melihat ke arah Novi yang sedang melamun."Nggak usah khawatir, ada aku di sampingmu," kata Farel. Tangan kiri Farel berusaha memegang tangan Novi. Farel tersenyum walaupun hatinya deg-degan, tangan Novi terasa sangat dingin."Dingin sekali tanganmu, grogi ya?" ledek Farel.Novi hanya tersenyum samar. Akhirnya sampai juga di rumah ora
"Jadi Novi akan menikah juga ya? Atau mereka sudah menikah? Syukurlah kalau begitu. Berarti Mas Ahmad tidak akan mengharapkan Novi lagi, karena Novi sudah bersuami. Dan hidupku akan damai," kata Indah dalam hati."Tapi aku heran, kenapa Novi begitu baik denganku, sampai ia rela menggendong Salsa? Apakah karena kebaikan Novi ini yang membuatnya begitu sering dipuji oleh seluruh keluarga Mas Ahmad. Sepertinya aku harus mencontoh Novi." Dari tadi Ahmad mengamati Novi, ada kerinduan di hatinya. Rindu akan omelan dan juga masakan Novi yang selalu cocok di lidahnya. "Andai waktu bisa terulang lagi, aku akan selalu menjadi suami yang baik untuk Novi. Tapi, ah sudahlah. Sekarang sepertinya Novi sedang bahagia bersama Farel," kata Ahmad dalam hati dengan pandangan mata masih menatap Novi dan Farel.Seketika Ahmad terkejut karena pandangan matanya bertatapan dengan Indah. Indah tampak tersenyum penuh kemenangan melihat Ahmad yang terlihat sendu menatap Novi. Ahmad segera mengalihkan pandangan
Pagi ini semua sudah bersiap-siap untuk datang ke acara akad nikah Alif. Novi pun sudah menyiapkan hati untuk bertemu dengan Ahmad dan Indah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi disana. Keluar di kamar, semua sudah siap, termasuk Farel yang sudah datang dari tadi. Entah apa yang sedang dibicarakan Farel dengan Pak Budi, mereka tampak serius. Akhirnya Farel selesai juga berbicara dengan Pak Budi."Semua sudah siap kan? Ayo kita berangkat," ajak Farel."Iya, sudah siap kok. Tadi kelamaan nunggu Ibu dandan," celetuk Dina.Farel dan orang tua Novi tersenyum, sedangkan Novi salah tingkah. Akhirnya mereka berangkat menuju ke rumah Alif. Semua tampak ceria, terutama Farel dan Novi, yang sama-sama bahagia dan hatinya berbunga-bunga.Sampai di rumah Alif, acara belum dimulai. Karena penghulu juga baru saja datang. Ia masih meneliti berkas-berkas pernikahan. Acara akad nikah Alif digelar secara sederhana, tidak ada pesta. Hanya keluarga, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Pak Harn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen