Share

6. Kedua Anakku Berbohong

Keesokan harinya aku bangun agak terlambat. Setelah salat Subuh aku segera mandi dan bersiap ke kantor. Hari ini jadwalku padat karena ada beberapa kunjungan luar untuk pengukuran tanah.

Ketika membuka pintu kamar, kulihat gorden masih tertutup. Begitu juga dengan pintu ruang tamu. Biasanya sepagi ini Ibu sudah selesai menyapu dan sedang berkebun merawat bunga-bunga cantiknya. Apakah Ibu berangkat senam pagi?

Kubuka gorden dan mematikan lampu, lalu membuka pintu. Kesejukan udara pagi menerpa wajahku. Di luar sudah mulai ramai beberapa pedagang yang berjualan bubur melewati jalan di depan rumah. Sepertinya aku harus membelikan Ibu bubur dahulu sebelum berangkat kerja. Apakah Ibu masih ada di kamarnya?

Kubuka pintu kamar Ibu yang tidak pernah dikunci, ternyata Ibu masih terbaring di kasur. Mungkin Ibu tertidur lagi setelah salat Subuh. Kudekati Ibu untuk berpamitan.

"Bu, Laras mau berangkat pagi, Ibu mau sarapan bubur? Biar Laras belikan." Kuraih tangan Ibu hendak mencium tangannya.

Ya Tuhan, kenapa tangan Ibu dingin sekali. Wajahnya, bibirnya juga pucat.

"Ibu! Bangun, Bu!" Aku berteriak panik sambil mengguncang tubuh Ibu yang dingin.

Aku segera menelepon Mbak Tari ketika menyadari Ibu tidak sadarkan diri. Berkali-kali kutelepon tetapi Mbak Tari tidak mengangkatnya. Setengah putus asa kutelepon juga Mbak Lika, ternyata sama saja. Teleponnya tidak aktif. Alternatif terakhir Mas Bagus. Nyambung tetapi tidak diangkat, ketika kuhubungi lagi langsung dia matikan. Sungguh dalam kondisi normal ingin sekali kumaki. Tapi ini kondisi darurat. Yang kupikirkan hanya Ibu harus segera tersadar.

Segera kupesan taksi online, meskipun di kampungku biasanya lama karena posisi mereka  jauh. Dapat satu nama, langsung kuklik order. Sambil menunggu taksi online datang, kuraba kening Ibu, dan mencoba tetap menyadarkannya. Kupanggil nama Ibu dan kubacakan Al Fatihah berkali-kali di telinganya.

Tanpa kuduga Ibu memberikan respon, tangannya bergerak-gerak. Tubuhnya mulai menghangat. Pada saat yang bersamaan taksi online datang. Ternyata sopirnya adalah Zaidan, orang yang kemarin mengantar obat untuk Ibu. Rupanya dia juga menjadi driver taksi online.

 "Kenapa Ibu Aminah?" tanyanya. Dia pasti tahu karena aku order tujuan ke rumah sakit.

"Bisa tolong bantu angkat Ibu?" pintaku yang dijawab dengan anggukan kepala Zaidan.

Lelaki berkumis tipis itu buru-buru masuk ke dalam kamar Ibu, kami memapahnya berdua lalu bergegas mendatangi rumah sakit terdekat. Ibu segera mendapat perawatan di IGD, satu jam kemudian perawat memanggil namaku.

"Silakan masuk, Ibu Aminah sudah sadar," ujar perawat itu.

Ibu terbaring lemah dengan selang oksigen terhubung ke hidungnya.

"Ibu hanya butuh oksigen sementara, kami sudah cek semua kondisinya normal, tetapi ada beberapa observasi yang harus dilakukan Bu Aminah." Dokter yang bertugas memberi kabar yang membuatku lega.

"Ibu saya sakit apa, Dok?"

"Mungkin Ibu Aminah terlalu banyak pikiran sehingga menyebabkan gangguan psikosomatis. Ketika merasa takut atau cemas, bisa memunculkan tanda-tanda seperti denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar, mual atau ingin muntah, gemetaran atau tremor, berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut, napas menjadi cepat, nyeri otot, atau nyeri punggung." Dokter berusia sekitar lima puluh tahun itu menjelaskan detail kepadaku yang hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.

"Apakah Bu Aminah sedang ada masalah berat?"

Aku hanya mengangguk. Masalah berat yang sampai sekarang belum ada solusinya.

"Jika berlarut-larut atau sering mengalami kecemasan seperti ini, saya sarankan untuk latihan relaksasi atau meditasi. Saya tadi sudah menanyakan  obat-obatan yang dikonsumsi Ibu Aminah, ternyata ada anti depresan atau obat penghilang rasa sakit yang diresepkan dokter. Jadi obatnya sudah tepat."

Pertanyaanku terjawab sudah. Ternyata selama ini Ibu mengkonsumsi obat anti depresan. Ibu pasti tertekan dengan masalah Mas Bagus dan Mbak Lika. Setelah menunggu beberapa jam Ibu diperkenankan pulang. Hasil tes keseluruhan tes bisa diambil tiga hari lagi.

"Alhamdulillah Ibu diizinkan pulang."

Suara yang tak asing terdengar di telingaku.

"Loh, Mas Zaidan kenapa masih di sini?" tanyaku keheranan. Wajah lelaki ini terlihat bersih dari dekat. Saat di mobil tadi aku tak sempat memperhatikan.

"Saya harus memastikan kondisi Bu Aminah dulu, ada amanah dari Abah."

Dengan sigap Mas Zaidan membantu Ibu masuk mobil.

 "Lain kali jangan bawa Ibu ke sini, Laras. Ibu ndak sakit parah. Ibu cuma ndak bisa tidur, trus sedikit mual. Kalau Ibu sakit, pokoknya jangan kamu bawa ke rumah sakit. Jika memang ibu tak ada umur, Ibu ingin meninggal dengan tenang di rumah."

"Ibu kok ngomong gitu. Laras akan melakukan apa pun supaya Ibu sehat. Jangan banyak pikiran, ya, Bu."

"Ndak mungkin Ibu cuek sama Bagus dan Lika." Ibu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok kursi mobil. Kami lebih banyak diam hingga Ibu kembali tiba di rumah. Setelah kusuapi bubur Ibu minum obat dan tertidur.

"Terima kasih Mas Zaidan sudah membantu kami," ucapku tulus. Dia memang sangat membantu di saat kakak-kakakku tidak ada satu pun yang peduli pada kondisi Ibu.

"Sama-sama, Mbak Laras."

"Panggil Laras saja. Mas Zaidan ini tinggal di rumah Haji Umar?"

"Iya, Ras. Wah ndak enak, saya panggil Adik saja. Saya anak angkat Haji Umar. Sudah beberapa bulan ini tinggal di sini. Kasihan Abah hidup sendiri. Apalagi kedua anaknya Mbak Iqoh dan Mas Ibram sibuk, jadi jarang menengok Bapak."

Mendengar dua nama yang disebutkan Mas Zaidan sontak membuat perasaanku bergolak lagi. Kesal sekali mengingat mereka juga menjadi penyebab Ibu kepikiran dan akhirnya jatuh sakit.

"Kemarin saya ke rumah Haji Umar tapi Mas Zaidan ndak ada, ketemunya sama Mas Ibram."

"Oh mungkin saya mengajar. Kebetulan saya dapat beberapa jam dalam seminggu mengajar di Kampus Fatahillah."

"Jadi Mas Zaidan ini dosen?" tanyaku sedikit terkejut. Kulihat pria ini masih terlalu muda untuk menjadi dosen. Ah, maksudku lebih pantas dari guru SMP.

"Dosen merangkap detektif. He-he-he."

"Detektif, maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

"Kadang-kadang Bapak meminta saya mencari tahu keberadaan Mbak Iqoh sama mas Ibram. Jadi saya mengikuti mereka."

Aku nyaris tak percaya dengan perkataan Mas Zaidan. Berarti dia punya lebih banyak bukti perselingkuhan kakak-kakakku dan kakak-kakaknya.

"Maaf, ya, Mas. Apakah Mas pernah melihat sendiri bukti perzinahan mereka?"

"Belum pernah, Dik. Kalau menuju suatu lokasi misal rumah makan berdua sering. Pernah saya mengikuti ketika mobil Mas Ibram masuk ke hotel, tapi tak berapa lama mobil itu keluar lagi."

 Ya, tuduhan perzinaan setidaknya harus ada saksi empat orang lelaki dewasa. Itu jelas sulit dibuktikan. Bagaimana pun seorang wanita bersuami pergi berduaan dengan orang lain yang bukan mahram jelas itu berdosa. Kakak-kakakku dan kakak angkat Mas Zaidan seperti tak peduli lagi pada perbuatan yang mengundang murka Allah. Aku termenung sejenak memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan.

"Oh, jadi begini kelakuan kamu, Laras? Berduaan sama laki-laki asing? Jadi selama ini kamu berpura-pura sok suci, ya!"

Tiba-tiba Mbak Lika muncul dari pintu ruang tamu.

Entah dari mana datangnya tiba-tiba Mbak Lika bicara kasar. Kata-katanya sangat tidak enak kudengar.

"Waalaikumsalam." Aku sengaja menjawab salam meski dia tidak mengucapkan itu saat memasuki rumah. Muka Mbak Lika merah padam.

"Ada apa Mbak Lika datang-datang kok marah-marah? Oya, ini kenalkan Mas Zaidan, dia yang tadi mengantarkan Ibu ke rumah sakit."

Seharusnya Mbak Lika terkejut mendengar kabar Ibu ke rumah sakit. Ibu memang jarang sakit dan ini pertama kali Ibu aku bawa ke rumah sakit. Tapi entah kenapa Mbak Lika seperti tidak peduli.

"Mana Ibu? Aku mau ngomong langsung." Dia menuju kamar Ibu. Sontak saja aku berlari menghadangnya.

"Ibu sedang sakit. Mbak Lika ndak dengar barusan Laras bilang apa? Ibu sakit. Baru saja pulang dari rumah sakit dan minum obat. Sekarang Ibu sedang tidur." Aku berbicara sangat tegas sambil memandang matanya yang terlihat gelisah.

"Kalau begitu kasih tahu Ibu supaya jangan bilang yang tidak-tidak sama Mas Danu."

"Masih saja nyalahin Ibu? Mbak punya kaca ndak di rumah? Tuh, di ruang tengah ada kaca, mbak masuk dan ngaca yang bener supaya mbak sadar sama kelakuan sendiri!"

"Ah, kamu memang sok suci. Ini apa namanya? Berduaan sama laki-laki asing di dalam rumah. Kamu mengambil kesempatan saat Ibu sakit, ya? Pakai alasan dia yang mengantarkan Ibu. Tunggu, sepertinya aku pernah lihat kamu. Siapa namamu tadi? Zaidan?"

"Iya, saya Zaidan Umar. Kita memang pernah bertemu. Saat itu Mbak Lika dan Mas Ibram sedang makan di rumah makan Sendang Laut." Mas Zaidan tenang sekali menjawab pertanyaan Mbak Lika. Laki-laki ini memang sangat santun.

"Oh jadi itu kamu. Mana foto-foto itu? Mana siniin ponsel kamu! Kurang ajar, kamu! Beraninya mengambil foto-foto kami tanpa izin." Mbak Lika merangsek maju hendak menyerang Mas Zaidan.

"Foto-foto apa, Mbak?" tanyaku setengah berteriak.

Mbak Lika jadi salah tingkah. Dia pasti tak ingin aku tahu foto-foto bukti dia sedang berduaan dengan suami orang.

"Laras, kita semua punya rahasia. Aku tak segan akan membongkar kelakuanmu ini sama tunanganmu. Biar dia batal menikahimu! Jangan sok suci jadi perempuan! Jangan pernah ikut campur urusanku lagi! Ini peringatan terakhir buat kalian berdua! Urus hidup kalian sendiri!"

Mbak Lika bergegas pergi tanpa melihat kondisi Ibu padahal jelas-jelas aku bilang Ibu sedang sakit. Dengan kasar dan seenaknya dia menutup pintu pagar hingga terdengar suara besi yang nyaring berdenting.

"Astaghfirullahaladzim," bisikku berkali-kali sambil memegang dada. Pantas saja Ibu sampai sakit. Aku yang hanya adiknya saja merasakan kepedihan luar biasa. Bagaimana dengan Ibu yang melahirkannya?

"Sebaiknya jangan terlalu diambil hati omongan Mbak Lika tadi, Dik Laras. Maafkan saya. Saya yang salah karena tidak segera pulang, malah mengajak ngobrol."

"Mas Zaidan tidak salah. Saya tahu Mas Zaidan hanya menjalankan amanah Haji Umar untuk membantu kami dan memastikan Ibu baik-baik saja. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya, sampaikan juga terima kasih saya kepada Haji Umar."

"Ba-baik, Dik Laras. Saya permisi dulu. Ini nomor handphone saya barangkali butuh sesuatu. Insyaallah saya akan cepat datang karena rumah kita tidak terlalu jauh. Semoga Ibu segera sehat, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Aku mengantar kepergian Mas Zaidan hingga ke pintu. Pria ini sangat sopan dan lemah lembut kepada perempuan. Apakah dia sudah menikah?

Ah, segera kutepis rasa keingintahuan yang melintas di kepalaku. Yang jelas sifatnya tidak jauh beda dengan Haji Umar. Oh, aku baru ingat, bukankah Haji Umar akan datang hari ini untuk membicarakan masalah pernikahan dengan Ibu? Aku segera membereskan rumah yang masih berantakan. Untunglah bos mengizinkan aku tidak masuk kerja hari ini setelah kuceritakan kondisi Ibu.

Hari beranjak sore. Ibu sudah terlihat lebih segar setelah mandi dengan air hangat. Sekarang Ibu sudah duduk rapi di kursi ruang tengah.

"Wah yang sedang menunggu pangeran datang," godaku melihat Ibu bersiap menyambut tamu. Ibu hanya terkekeh sambil mengibaskan tangannya.

"Laras, Zaidan itu baik, ya."

"Dia disuruh Haji Umar menjaga Ibu. Laras dengar pas dia menerima telepon. Saat itu kami di lobi menunggu Ibu sadar."

"Zaidan diasuh Haji Umar saat masih bayi, karena ibunya meninggal saat melahirkan dia." Aku terdiam mendengar cerita Ibu. Laki-laki itu punya cerita sendiri.

 "Bapaknya tidak tahu masih hidup atau sudah meninggal karena tidak pernah pulang. Anak itu tumbuh besar di pesantren. Tekad Haji Umar menjadikannya pendakwah sebetulnya. Ternyata dia menjadi dosen. Anaknya baik, ganteng, salih, adabnya bagus."

"Ibu kenapa dari tadi memuji-muji Mas Zaidan, sih?"

"Seandainya Ibu punya anak perempuan satu lagi pasti akan Ibu jodohkan dengan dia."

Iya aku juga sependapat dengan Ibu. Seandainya aku punya adik perempuan tentu aku tak keberatan jika menikah dengan dia. Entah kenapa, rasanya sreg di hati.

"Itu Bude Narsih sudah datang," ucapku saat melihat saudara sepupu Ibu memasuki pelataran rumah kami. Tak lama kemudian Haji Umar datang diantar Mas Zaidan. Laki-laki itu sekarang berpakaian rapi memakai baju koko dan peci biru dongker, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Aku hanya menyapa dengan menganggukkan kepala lalu bergegas masuk ke dalam rumah saat menyadari penampilanku masih sangat kucel.

"Baiklah jadi sesuai kesepakatan, tiga hari saat berkas sudah selesai akad nikah segera dilaksanakan." Suara berat Haji Umar mengakhiri pertemuan sore itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status