Share

7. Upaya Membuat Mbak Riris Peduli

Hari ini pernikahan Ibu dengan Haji Umar digelar setelah melalui beberapa pertimbangan. Ibu terlihat anggun memakai gamis putih, lengkap dengan kerudung panjang yang pernah dipakai saat umrah sepuluh tahun lalu. Beliau sudah menolak terlebih dahulu saat aku bermaksud membelikan gamis baru.

“Ibu tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini. Sejak kematian bapakmu, ibu sudah berjanji untuk setia hanya kepada Bapak.” Ibu mengusap sudut matanya.

“Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menggenggam takdir. Jika hari ini Ibu memutuskan untuk kembali berumah tangga, itu bukan karena Ibu tidak setia dengan Bapak. Laras tahu Ibu melakukan ini justru karena Ibu sangat menyayangi anak-anak Bapak.” Aku menguatkan Ibu yang mulai terbawa suasana hati.

"Ibu sudah siap?" tanyaku sesaat setelah Ibu tenang. Hanya aku satu-satunya anak yang hadir dalam pernikahan Ibu. “Penghulu sudah datang, ayo Ibu keluar." Aku menepuk pundak Ibu yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Aku segera berjalan mengikuti Ibu ke ruang tengah, tempat Haji Umar dan Mas Zaidan sudah menunggu. Penghulu duduk di hadapan Haji Umar yang hanya dipisahkan oleh meja kecil.

Haji Umar lancar mengucapkan ijab kabul sambil bersalaman dengan penghulu.

"Bagaimana saksi? Sah?"

 "Sah!" Dua orang saksi mengucapkan kata sah berbarengan. Selanjutnya penghulu membacakan doa-doa walimatul nikah. Acara diakhiri dengan bersantap makan sederhana. Sekitar dua puluh orang tetangga kami pulang, setelah makan sambil membawa nasi kotak.

 "Alhamdulillah, akhirnya kalian menikah juga. Harus menunggu empat puluh tahun sebelum kalian berjodoh." Bude Narsih memulai pembicaraan setelah tetangga pulang.

"Rezeki, jodoh, dan maut hanya Allah yang Mahatahu. Saya dulu pernah patah hati ditinggalkan Aminah menikah dengan sahabat sendiri. Hari ini Allah merahmati kami yang mempunyai niat baik supaya keluarga kami dijauhkan dari fitnah." Haji Umar menimpali ucapan Bude Narsih. Setelah ini aku juga akan memanggilnya Abah.

"Iqoh dan Ibram tetap tidak mau datang?" tanya Bude Narsih sambil memegang cangkir teh yang baru saja aku hidangkan.

"Tiga hari lagi, tidak ada alasan bagi mereka menolak datang kemari. Saya dan Aminah akan mendatangi mereka satu per satu. Kami akan berkumpul semua untuk mengakhiri kemelut keluarga ini." Haji Umar melihat Ibu yang segera menganggukkan kepala.

Rupanya Ibu dan Abah sudah merencanakan semuanya.

“Setelah menikah, kami akan menyatukan dua keluarga besar ini seperti seharusnya. Satu per satu kami akan mendatangi keluarga Ibram, Iqoh, Tari, Lika dan Bagus. Tidak masalah jika mereka tidak datang saat akad nikah, kami yang akan memberi contoh bersilaturahmi yang benar.” Abah melanjutkan kata-katanya.

"Apakah Ibu yakin mereka mau menerima kehadiran Ibu dan Abah?" tanyaku cemas. Melihat mereka tidak ada yang datang hari ini, sepertinya harapan itu susah diwujudkan.

"Kami akan menunggu sampai mereka mempersilakan kami masuk. Pernikahan ini memang bertujuan menjadikan keluarga Aminah dan Abah menjadi keluarga besar yang rukun, kompak, dan diberkahi Allah."

"Maaf, Bah. Abah jangan memaksakan diri jika memang mereka tidak bisa menerima keputusan ini. Jangan dipaksa, Bah. Zaidan akan terus mendukung Abah, tapi jangan sampai Abah merendahkan diri." Mas Zaidan memberikan pendapatnya. Aku setuju dengan pendapatnya.

"Merendahkan diri di depan anak tidak mengapa Zaidan. Kita memang harus merendah terus, jangan menjadi manusia sombong. Kita ini bukan siapa-siapa. Abah dan Bu Aminah yang sekarang boleh kau panggil Umi, sudah sepakat rida terhadap apa pun ketentuan Sang Pemilik Nyawa. Pernikahan ini selain sebagai ibadah, juga sebagai ikhtiar untuk mengembalikan anak-anak kami ke jalan yang benar."

 Aku dan Zaidan mengangguk-anggukkan kepala tanpa dikomando. Sejak dahulu, Haji Umar adalah sesepuh di kampung kami. Ketika anak-anak Abah menjalin hubungan gelap dengan kakak-kakakku, maka hampir semua orang mencibir dan menyebutnya jarkoni. Bisa mengajari, tetapi tidak bisa ngelakoni atau melakukan sendiri.

"Semoga ikhtiar kalian mendapatkan hasil terbaik menurut Allah. Kami hanya bisa mendoakan. Aku ikut senang akhirnya Aminah ada kawan ngudar roso, mengobrol, berdiskusi. Di usia kita sekarang, apa lagi yang kita cari selain ketenangan batin? Ada seseorang yang bisa diajak mengobrol itu menenangkan. Apalagi sebentar lagi Laras akan ikut suaminya ke Kalimantan. Rasanya aku lebih tenang kalian berdua bisa saling berbagi dan menjadi teman hidup," papar Bude Narsih yang sedari tadi menebarkan senyuman hangatnya. Beliau yang terlihat paling bersemangat mendukung Ibu menikah lagi.

"Setuju, Bude. Laras juga sama, kok. Lebih tenang karena sudah ada Abah Umar yang menjaga Ibu. Alhamdulillah, rasanya ini kado pernikahan terbaik yang dikirim Allah buat Laras, Bude," timpalku disambut gelak tawa semua yang hadir.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Panggilan dari Mas Erlangga. Dia pasti tidak sabar ingin tahu kabar terbaru dari pernikahan Ibu. Aku belum sempat mengirimkan video ijab kabul yang tadi kurekam. Aku bangkit dari kursi, meencari tempat untuk mengobrol dengan nyaman.

"Assalamualaikum, Mas. Maaf Laras belum sempat telepon, ini acaranya baru saja selesai--"

“Maaf Mbak Laras, ini Doni kawan mas Erlangga. Saya ingin mengabarkan kalau Mas Erlangga mengalami kecelakaan dan nyawanya tidak tertolong.” Suara pria yang tidak aku kenal tiba-tiba mengabarkan berita yang tidak masuk akal.

"Tidak mungkin, tidak mungkin Mas Erlangga. Mas Erlangga, tolong sambungkan dengan Mas Erlangga, saya mau bicara langsung sama dia. Sini Mas Erlangga!" Aku berteriak histeris, sebelum dunia tiba-tiba berubah gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status