Share

Menunggu Satu Bulan

Part 2

Di dunia ini ada beberapa hal yang disebut takdir, sisanya adalah pilihan. Aku memilih tidak mengikuti kemauan Ibu seperti juga kakak-kakakku. Bagaimanapun mereka sudah dewasa, sudah bisa memutuskan yang terbaik untuk kehidupan mereka sendiri.

Ibu berbicara sangat lantang, seolah-olah sudah memperhitungkan apa yang akan dilakukan. Aku masih tidak bisa memahami maksud Ibu, tetapi memilih diam tanpa membantah. Apakah perselingkuhan kakak-kakakku bisa terhenti karena Ibu menikah lagi? Rasanya sungguh tidak masuk akal!

Keesokan harinya Mas Bagus menelepon. Tumben Mas Bagus menelepon duluan. Biasanya aku menelepon hendak mengabari Ibu masuk angin saja sering ditolak atau tak mau mengangkat.

"Laras, bagaimana? Apakah Ibu sudah berubah pikiran?" tanya Mas Bagus ingin tahu. Aku jadi penasaran, bagaimana reaksinya jika kukabari sesuatu. Bukankah rencana Ibu ini juga ada hubungannya dengan dia?

"Ibu sepertinya sudah mantab untuk menikah, Mas. Tadi pagi Ibu mengumpulkan KTP, KK juga, sepertinya itu untuk berkas pendaftaran pernikahan," jawabku berhati-hati.

"Hah! Serius? Jadi pendapat kami semua ini sudah ndak dihargai sama Ibu? Laras, sebenarnya ada apa ini?"

 "Laras, kan, sudah bilang ndak tahu, Mas."

"Kamu tahu sendiri di kampung kita gosip itu sangat cepat menyebar. Kamu apa ndak malu keluarga kita jadi omongan tetangga?" Nada suara Mas Bagus mulai meninggi.

 'Oalah Mas Bagus, rupanya memang kamu pandai bersandiwara. Ibu sampai nekat gini, ya, gara-gara kamu sama Mbak Lika.'

Ingin sekali aku bicara begitu padanya biar dia tahu diri. Ternyata aku tak tega, lidahku terasa kelu, jadi kuurungkan niat itu.

"Ya, gimana lagi, Mas. Siapa yang bisa ngasih nasihat sama Ibu. Bude Narsih juga mendukung, kok. Lagian kalau buat Laras, sih, ndak masalah. Lebih baik menikah dari pada berzina."

"Laras, jaga omongan kamu! Kamu sudah terpengaruh Ibu. Apakah selama ini Haji Umar itu sering datang ke rumah Ibu? Atau mereka ketemuan diam-diam? Kamu harus selidiki itu, Laras!"

"Maksudnya bukan Ibu yang berzina, Mas. Ini, kan, perumpamaan. Maksud Laras orang-orang yang memilih berselingkuh atau berzina itu, loh. Pastinya bukan keluarga kita, karena keluarga kita ndak ada yang hobi selingkuh."

Aku sengaja menyindir Mas Bagus. Tak bisa kubayangkan raut wajahnya jika dia sekarang berada di depanku. Pasti seperti kepiting rebus.

"Lagian Laras, kan, kerja, jadi ndak lihat ada tamu datang kalau pagi. Tapi setahu Laras, di rumah ini ndak pernah ada tamu."

"Awas kalau sampai kamu nutupin, ya, Laras. Mas ndak akan mau jadi wali nikah kamu kalau sampai kamu mendukung rencana Ibu."

Apa-apaan ini? Kenapa jadi Mas Bagus mengancamku begini?

"Mas kenapa sepertinya khawatir sekali kalau Ibu menikah?"

"Wis, sudah. Pokoknya Mas ndak akan setuju, apalagi mendukung. Lihat saja kalau kamu berpihak pada Ibu, Mas juga ndak akan ikut-ikut nanti pas pernikahan kamu."

 Mas Bagus menutup teleponnya dengan kesal. Terdengar dari nada suaranya, pasti dia sedang panik mencari jalan supaya hubungan diam-diamnya dengan Rafiqoh tetap aman. Huh, dasar suami tak tahu diri! Astaghfirullah.

Ponselku berdering lagi, kali ini dari Mbak Lika. Mungkin dia sama paniknya dengan Mas Bagus.

"Ibu masih ngotot mau menikah, Laras?" tanyanya langsung setelah aku menjawab salamnya.

"Iya, Mbak. Ibu sedang mengumpulkan berkas untuk pendaftaran pernikahan."

"Edan tenan. Ibu itu kenapa, to, Ras? Jangan-jangan Ibu kena guna-guna sama Haji Umar. Meskipun gelarnya haji belum tentu orangnya saleh. Ras, kita harus mencari orang pintar atau kiai supaya Ibu segera sadar."

'Mbak Lika, kamu itu yang perlu dirukyah!' Lagi-lagi aku cuma bisa membatin tanpa berani membantah omongan Mbak Lika.

"Kayaknya Ibu baik-baik saja, kok, Mbak. Ibu semalam cuma bilang kuatir karena setelah Laras menikah nanti ikut Mas Erlangga ke Kalimantan. Makanya Ibu butuh teman. Menurut Laras ini bukan ide yang buruk."

"Halah, bukan begitu! itu cuma alasan saja. Namanya orang kena guna-guna itu ndak sadar, Laras! Sudah, biar Mbak saja yang sowan ke Pak Kiai, supaya Ibu membatalkan rencananya!"

Sudah kuduga Mbak Lika akan bersikap sama dengan Mas Bagus. Keduanya ngotot tidak setuju jika Ibu menikah lagi. Dasar dua orang munafik! Ah, aku istighfar lagi. Kelakuan kedua kakakku ini memang memancing emosi.

Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil di halaman. Rupanya Mbak Tari yang datang. Sepagi ini dia sudah datang? Mungkin dia mampir setelah mengantarkan Radith dan Ratih ke sekolah.

"Ibu mana, Ras?" tanyanya setelah memasuki ruang tengah.

"Ibu senam seperti biasa. Mbak Tari kok tumben pagi-pagi sudah datang?"

"Mbak Tari mau boyong Ibu ke rumah. Kamu siapkan baju-baju Ibu di koper. Untuk sementara waktu, Ibu akan tinggal di rumah Mbak saja."

"Memangnya Ibu setuju tinggal dengan Mbak Tari?"

"Ibu hampir bikin malu kita. Mbak Tari tidak setuju. Ibu harus tahu, kalau kamu nanti menikah dan tinggal di Kalimantan, ada Mbak Tari yang siap merawat dan menemani."

"Mbak, Ibu ndak akan mau meninggalkan rumah ini."

"Kalau Ibu menikah dengan Haji Umar pasti Ibu tinggal di sana. Rumah ini akan kosong juga. Kalau kosong rumah ini sebaiknya kita jual saja!"

"Mbak Tari ini, loh, ngawur bicaranya. Ibu yang berhak memutuskan mau tinggal di mana, mau menjual rumah ini atau tidak. Kita harus tetap menghargai pendapat Ibu, Mbak."

"Halah, kamu ini anak kecil tahu apa. Sebentar lagi kamu menikah terus pindah ke Kalimantan. Aku mencium gelagat tidak baik. Sepertinya Haji Umar itu ingin menguasai harta Ibu. Makanya buruan rumah ini kita jual saja!"

"Siapa yang akan menjual rumah ini?" teriak Ibu dari balik pintu depan. Aku dan Mbak Tari berpandangan.

 "Kalau memang Ibu memutuskan menikah lagi, bukannya rumah ini nantinya kosong? Laras mau pindah ke Kalimantan. Jadi menurut Tari sebaiknya---"

"Ibu tidak akan meninggalkan rumah ini kecuali Ibu mati!" potong Ibu cepat. Mbak Tari cuma menunduk pasrah.

"Ibu menikah atau tidak, rumah ini tidak boleh dijual," tegas Ibu seperti biasanya.

"Jadi Haji Umar akan tinggal di rumah ini? Menggantikan Bapak? Tari ndak rela, Bu." Ada getaran pada suara Mbak Tari, seperti sedang menahan tangis.

"Haji Umar tetap tinggal di rumahnya sendiri. Masalah ini sudah kami bicarakan. Kami akan tetap tidur di rumah masing-masing."

"Lalu buat apa Ibu menikah?" Suara Mbak Tari meninggi. Dia pasti emosi karena tidak paham tujuan Ibu. Sedangkan aku hanya bisa membayangkan kenapa Ibu bisa berkorban sejauh ini. Dalam hati aku merutuki perbuatan Mas Bagus dan Mbak Lika.

"Itu urusan Ibu, Tari."

"Bu, yang namanya orang menikah itu pasti akan terikat hak dan kewajiban. Ibu pasti lebih tahu. Kalau memutuskan untuk tinggal masing-masing sebaiknya Ibu batalkan rencana gila ini."

"Mbak, jangan bicara gitu sama Ibu," sergahku. Aku jadi serba salah karena hanya aku yang paham maksud Ibu.

"Kalau memang Ibu kesepian dan butuh teman, Tari kesini mau jemput Ibu. Di rumah Tari ramai ada anak-anak. Ibu mau tinggal selamanya di rumah Tari juga tidak masalah," rayu Mbak Tari sambil menurunkan nada suaranya.

"Ibu ndak akan meninggalkan rumah ini, Tari." Perlahan Ibu mengambil gelas lalu menuang air putih dari dispenser. Setelah menarik kursi makan dan mendudukinya, Ibu meminum air putih yang dipegangnya.

"Kali ini Ibu yakin dengan keputusan yang Ibu ambil. Kamu jangan khawatir, Tari. Sebaiknya kau fokus asuh saja anak-anakmu."

"Ya sudah kalau Ibu lebih memilih Haji Umar ketimbang anak sendiri, ini keputusan Ibu. Tidak usah menghubungi Tari lagi. Silakan bersenang-senang dengan lelaki pilihan Ibu."

"Mbak Tari, tunggu!" sergahku ketika melihatnya hendak pergi. Aku berlari menyusulnya hingga ke teras rumah.

"Mbak, sabar dulu. Ibu tujuannya baik. Sebaiknya kita dukung keputusan Ibu."

 "Kamu juga ikut-ikutan stres, Laras. Ini keputusan paling gila yang pernah diambil Ibu. Sudah cukup, terserah kalian saja. Mbak Tari ndak mau tahu lagi."

Mbak Tari bergegas meninggalkan rumah Ibu. Aku memandangi punggungnya sampai mobilnya meninggalkan halaman rumah.

"Assalamualaikum, Ibu Aminah ada?"

Seorang pemuda datang tergopoh-gopoh memasuki pagar.

"Waalaikumsalam, Ibu ada di rumah. Maaf, siapa, ya?" tanyaku sambil memperhatikan pemuda asing ini. Sepertinya dia bukan warga kampung sini.

"Saya Zaidan, anak Haji Umar. Ini ada titipan obat dari Haji Umar untuk Ibu Aminah. Saya harus menyerahkannya langsung."

'Hah! Obat? Ibu sakit apa?'

Aku termangu menatap pemuda itu. Zaidan juga bingung memandangiku.

"Eh maaf, mari silakan masuk, Mas Zaidan. Sebentar saya panggil Ibu dulu."

Aku memanggil Ibu yang langsung keluar menemui Zaidan. Mereka terdengar ngobrol beberapa saat sebelum pemuda itu pamit pulang.

"Ibu sakit apa? Kenapa Ibu tak pernah cerita kalau Ibu sakit?"

"Ibu ndak sakit, Laras. Ini cuma vitamin saja."

"Coba sini Laras lihat, Bu." Aku hendak merebut plastik bertuliskan salah satu apotek ternama di kota ini, tetapi Ibu segera memasukkan obat itu ke dalam saku celananya.

"Ibu sudah bilang ini vitamin biasa. Ibu mau mandi, kamu sarapan dulu sebelum berangkat. Ibu tadi masak tahu tempe bacem kesukaanmu."

Apalagi ini? Apakah benar itu cuma vitamin biasa? Aku harus bertanya kepada pemberinya. Sebelum berangkat kerja, aku akan mampir ke rumah Haji Umar.

Rumah di tikungan milik Haji Umar terlihat sepi. Aku mengucapkan salam sebelum mengetuk pagar. Dari dalam rumah terlihat seorang laki-laki keluar dari pintu utama.

"Mau cari siapa? Dik Laras, ya?"

Mas Ibram muncul sambil membawa kunci yang bunyinya bergemerincing. Tumben dia ada di rumah bapaknya.

"Bapak ada, Mas Ibram?"

"Ada urusan apa? Dik Laras tahu tentang rencana Abah saya dengan Ibu Aminah, kan?" selidiknya.

"I-iya, Mas."

 "Dik Laras pasti ke sini untuk meminta Abah membatalkan rencana gila ini, kan? Saya mendukung Dik Laras. Rasanya ndak pantas orang tua kita merencanakan pernikahan di usia yang tidak muda lagi. Saya sendiri juga sudah bilang ke Bapak kalau anak-anak Bu Aminah pasti ndak akan setuju."

"Saya setuju, kok, Mas," jawabku sambil menunggu reaksinya. Mas Ibram memelototkan matanya.

"Ibram, ada tamu, kok, diajak ngobrol di pagar?" Haji Umar keluar dari pintu dan tersenyum ke arahku.

"Ada Nak Laras, ayo masuk, Nak. Ibram ini memang keterlaluan. Tamu bukannya disuruh masuk malah diajak ngobrol di luar."

"Maaf, Pak Haji. Saya hanya ingin menanyakan tentang obat yang tadi diantar Mas Zaidan ke rumah untuk Ibu. Itu obat apa, ya, Pak Haji? Soalnya memang untuk urusan obat-obatan, saya mengawasi sangat ketat."

Aku langsung bertanya setelah duduk di kursi teras.

"Itu obat yang biasa Bu Aminah minum. Kemarin Bu Narsih yang mau membelikan. Hanya saja, Bu Narsih suaminya sedang sakit, lalu mengabari saya."

Jadi ibu selama meminum obat yang aku tidak tahu?

“Nak Laras tentu sudah mendengar rencana kami. Bagimana pendapat Nak Laras?”

Aku menekan dada kuat-kuat setelah mendengar berita yang nyaris membuat jantungku berhenti berdetak. Berita Ibu meminum obat ini menambah daftar masalah dari rencana pernikahan Ibu.

"Bagus dan Rafiqoh belum mengakhiri hubungan, meskipun masing-masing sudah menikah lagi." Haji Umar menegaskan berita yang lebih terdengar aib bagiku seperti yang dikatakan Ibu. Tentu saja Haji Umar yang lebih dahulu tahu lalu mengajak Ibu berdiskusi.

"Kata Ibu bukan hanya Mas Bagus dan Kak Rafiqoh, tapi Mbak Lika dan Mas Ibram juga sering bertemu diam-diam," sahutku setengah berbisik dengan nada getir.

Duh Gusti! Membahas hal ini langsung  dengan Haji Umar aku menjadi semakin tahu perasaan Ibu. Pantas saja Ibu bilang “Rasanya itu seperti kotoran yang dilemparkan ke muka Ibu berkali-kali”.

 "Rafiqoh dan Ibram sudah saya nasihati. Hasilnya nihil. Mereka tetap bertemu seperti tidak peduli itu perbuatan dosa." Melihat Haji Umar seperti sekarang aku seperti melihat Ibu di rumah semalam. Wajah dua orang tua yang sedang bermuram durja melihat kelakuan anaknya.

 "Saya benar-benar malu dengan kelakuan anak-anak." Haji Umar mengusap wajahnya seolah-olah membuang resah. "Selama ini saya pikir setelah anak-anak sudah hidup mapan, masalah selesai. Ternyata kedua anak saya tega berbuat seperti meludahi muka saya." Sekarang aku paham kenapa Ibu memutuskan menikah dengan Haji Umar. Mereka merasakan beban yang sama. Beban dipermalukan anak, beban stigma masyarakat. Baiklah, jadi mereka ingin berbagi beban.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status