Memang benar kata orang. Marahnya orang yang pendiam itu mengerikan. Hari ini aku baru percaya, kalau orang sebaik dan sesabar Tuan Raihan bisa begitu marah. Dadanya masih terlihat naik turun menahan emosi yang mungkin masih menggelegak di dadanya.Namun, dibalik kemarahannya, ada seulas rasa bahagia yang membuncah di hatiku. Tuan Raihan begitu membelaku di hadapan Tante Herni dan Mbak Sandra. Dia bahkan tidak rela aku disakiti oleh kedua wanita itu. Apa memang benar apa yang tadi diucapkannya? Bahwa Tuan Raihan menyayangiku seperti adiknya sendiri.Kekaguman tiba-tiba langsung menyeruak dalam dada. Harga diriku yang semula diinjak-injak oleh Mbak Sandra, kini diangkat tinggi oleh majikanku sendiri.Wajah Tante Herni dan Mbak Sandra sudah berubah pucat pasi bak mayat. Keringat mengucur deras dari pelipis keduanya. Padahal AC di ruangan ini cukup dingin."Tante mau jujur sendiri atau mau saya yang bongkar semuanya?" tanya Tuan Raihan dengan nada lebih tenang."A-apa maksudnya? Tante ti
Sekarang aku mengerti, kenapa Tuan Raihan masih betah hidup menyendiri. Padahal tidak ada yang kurang dari dirinya sebagai seorang laki-laki. Single, tampan, mapan, dan saleh tentunya.Tuan Raihan hanya tidak mau salah memilih pasangan. Dia tidak mau memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Tapi lebih memikirkan kebahagiaan Raisa Dan Riana. Sungguh, aku begitu kagum pada kesabaran Tuan Raihan menahan kesepian hidup menyendiri bertahun-tahun. Menahan syahwat yang pastinya tidak mudah untuk lelaki yang sudah baligh dan pernah berpengalaman sebelumnya. Berbeda dengan lelaki lajang yang belum pernah berpengalaman sebelumnya.Pandangan Tuan Raihan masih menerawang lurus ke depan. Sorot matanya begitu layu. Kesedihan nampak jelas dari gurat wajahnya yang kusut.Riana masih setia menemani Tuan Raihan di sampingnya. Aku juga enggan beranjak pergi meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Meskipun suara jam terus berdetak merangkak semakin larut."Kamu dan Raisa adalah segalanya buat kakak. J
Aku menarik napas panjang. Kemudian mengembuskannya perlahan. Berusaha mengurangi debaran dalam dada yang semakin tidak beraturan.Petir masih sesekali menggelegar memekakkan telinga di kesunyian malam. Membuat Raisa yang sejak semula sudah sering merengek semakin menjadi. Anak berusia empat tahun itu sama dengan tantenya, sama-sama takut pada suara petir."Icha bobo sama Bibi Rindu di kamar ya. Ayah temenin di sini," bujuk Tuan Raihan pada putrinya itu."Yuk." Aku mengulurkan kedua tangan. Bersiap untuk memangku Raisa yang masih dalam dekapan ayahnya."Gak mau. Raisa takut." Anak itu menggeleng."Kalau gitu, bobo sama ayah, yah, di atas." Lagi Tuan Raihan memberi pilihan."Gak mau. Kasian Bibi Rindu bobo sendirian." Raisa tetep keukeuh pada pendiriannya.Aku bingung bagaimana harus menyikapinya. Kalau dituruti, rasanya tidak mungkin mengingat aku dan Tuan Raihan sama sekali bukan mahram. Tapi jika tidak dituruti, bisa-bisa Raisa mengamuk semalaman.Tuan Raihan juga nampak berpikir. B
Setelah selesai berdandan sederhana, aku segera keluar kamar. Mengenakan atasan tunik dibawah lutut, dipadukan celana span panjang. Menenteng tas tangan berwarna abu tua pemberian Riana. Tuan Raihan terlihat sudah menunggu sambil menonton TV menemani Raisa. Mendengar derap langkahku, laki-laki berambut klimis itu menoleh. Menatapku sebentar, sebelum akhirnya bibirnya terangkat melengkungkan senyuman manis. "Sudah siap?" tanyanya seraya berdiri."Sudah, Tuan," jawabku."Langsung berangkat kalau gitu, yuk," ajaknya sambil membantu Raisa berdiri."Hore jalan-jalan." Raisa bersorak kegirangan. Berlari kecil menuju pintu depan. Aku dan Tuan Raihan sama-sama tersenyum melihat tingkah lucu anak perempuan cantik itu. Berjalan bersisian.Hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari setengah jam, kami sudah sampai di parkiran sebuah mall yang sangat besar. Suasana parkiran cukup padat dengan kendaraan roda empat. Mungkin karena hari ini hari Minggu."Maaf, Tuan. Katanya mau jemput Riana," tanyaku
Aku sedikit tergagap mendapat banyak pertanyaan sekaligus dari Riana. Karena sebenarnya aku juga belum siap untuk menceritakannya. Toh masih ada waktu beberapa bulan ke depan."Rin, kok diam?" Riana mengguncang tubuhku pelan. Wajahnya nampak tegang menunggu jawaban dariku."Eh, itu Ri. Aku kan cuma tanya. Itu juga seandainya. Siapa tau nanti aku keterima kuliah di luar kota kan?" "Memangnya kamu berniat daftar kuliah di luar kota?""Ya ... namanya juga nyari beasiswa. Jadi harus dicoba di semua universitas negeri.""Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa di Jakarta aja," protes Riana tampak tak terima."Kalau gak keterima gimana?""Kak Rai masih sanggup kok biayain kuliah kamu.""Ri ... aku tuh gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan Tuan Raihan. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan tanggung jawabnya. Aku cuma seorang pengasuh anaknya. Jadi harus tau diri. Aku gak mau dianggap ngelunjak. Apalagi dianggap memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-cita aku. Setelah lulus SMA nanti, setid
Ditatap seperti itu oleh dua orang, nyaliku mendadak ciut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jilbab. Jantungku tak hentinya berlompatan serasa mau keluar dari tempatnya."Katakan saja, Rindu. Ada apa?" Tuan Raihan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Mungkin sudah jenuh menungguku yang tak kunjung berkata."Sebenarnya ... saya mau bilang, kalau saya keterima beasiswa di perguruan tinggi di Jogjakarta. Dan bulan depan, saya harus sudah di sana." Aku berkata dengan suara gemetar."Maksud kamu apa? Saya belum paham?" tanya Tuan Raihan."Maksud saya, saya mau mengundurkan diri sebagai pengasuh Raisa. Makanya saya bilang dari sekarang, agar Tuan punya waktu untuk mencari pengasuh baru," sahutku hati-hati."Loh. Kenapa mendadak seperti ini, Rindu? Saya pikir kamu mau melanjutkan kuliah di Jakarta saja bareng Riana. Kenapa kamu juga tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Tuan Raihan."Saya sudah pernah membicarakan ini dengan Riana, Tuan." Aku melirik Riana yang masih t
"Apa yang kamu katakan, Ri? Menikah?" Kak Raihan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar-mandir dengan ekspresi bingung."He'em. Rindu udah lulus SMA. Dia bukan gadis dibawah umur lagi. Gak ada yang salah kan?" Aku ikut berdiri."Tapi, Ri. Yang kakak lihat, Rindu begitu semangat mengejar cita-citanya. Kakak gak mau jadi penghalang dia untuk mewujudkan cita-citanya itu." Aku berjalan beberapa langkah, berhenti tepat di depan Kak Raihan."Kak, memangnya kalau sudah menikah, Rindu gak bisa mengejar cita-citanya, ya? Dia kan masih bisa kuliah meskipun sudah menikah." Aku meyakinkan Kak Raihan."Coba kakak pikir. Di mana lagi kakak mau cari wanita seperti Rindu? Dia cantik, pintar, solehah, sudah diterima semua keluarga kakak terutama Icha. Apalagi yang kurang dari Rindu?" lanjutku menggebu-gebu.Kak Raihan nampak berpikir. "Beri kakak waktu untuk memikirkannya.""Kak! Waktu kita tuh gak banyak. Beberapa hari lagi Rindu udah mau pergi. Kopernya aja udah disiapin di sudut kamar. Kalau
POV RinduMendengar perkataan Tuan Raihan, jantungku serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Namun, sesaat kemudian, kembali berdebar dengan begitu hebatnya. Apa aku tak salah dengar? Tuan Raihan melamarku? Memintaku menjadi istrinya? Aku mencubit lenganku dengan sedikit keras."Awww." Sakit. Ternyata ini nyata dan bukan mimpi. "Rindu. Maukah kamu menikah denganku?" Lagi Tuan Raihan bertanya. Membuatku kembali limbung dan seolah terperosok ke pusat bumi. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Ini terlalu mendadak. Aku bahkan tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya.Menikah? Di usiaku yang baru saja menginjak remaja. Aku mematung. Otakku berputar berpikir keras untuk menentukan jawaban. Tuan Raihan berjalan menghampiri Raisa. Menuntun tangannya, kemudian berhenti tepat di hadapanku. Berjongkok."Sekali lagi aku bertanya. Maukah kamu menjadi istriku dan ibu dari anakku?" Tatapan Tuan Raihan begitu memohon. Pun si cantik Raisa. Ada harapan besar yang terlukis di