Untuk sesaat, Andika sempat tertegun. Namun, sesaat kemudian, dia langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Mas Raihan meskipun terlihat salah tingkah. Mereka berdua bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing."Yuk, kita pulang," ajak Mas Raihan sambil merangkul bahuku.Aku mengangguk."Dik, aku pulang dulu, ya," pamitku pada Andika yang berubah muram.Andika mengangguk lesu. Ada lengkungan senyum yang terlihat dipaksakan di sudut bibirnya.Aku berjalan bersisian dengan Mas Raihan. Tangannya merangkul bahuku mesra. Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke arah Andika. Dia masih duduk termenung memandangiku sendu. Ada rasa bersalah yang menggelayut hebat di dada. Pertemuan pertama kami, dilandasi kecanggungan seperti ini."Apa dia Andika yang sama dengan sahabatmu dulu?" tanya Mas Raihan saat kami sudah di dalam mobil. Ada nada cemburu dalam suaranya."Iya. Kenapa?" Tanyaku pura-pura tak bisa membaca aura cemburu yang dipancarkannya."Oh, gak apa-apa. Mas seneng
"Astaghfirullah." Aku langsung menutup kembali pintu yang baru saja kubuka. Dengan hati berdebar dan tubuh yang sedikit gemetar aku duduk di sebuah kursi kayu usang yang ada di teras rumahku.Baru saja pulang sekolah, aku sudah melihat pemandangan yang sangat menj*j*kan. Ibuku sedang bermesraan dengan Om Haryo, lelaki yang beberapa bulan terakhir ini sering berkunjung ke rumahku.Namaku Rindu. Usiaku memang baru menginjak 12 tahun. Akan tetapi aku tahu apa yang dilakukan oleh ibuku itu perbuatan dosa dan terlarang.CeklekPerlahan pintu itu kembali terbuka. Sesaat kemudian Om Haryo keluar dari rumahku dengan senyum yang mengembang."Aku pulang dulu, ya," ucap Om Haryo pada ibuku yang berdiri di ambang pintu."Hati-hati," jawab ibuku dengan memberikan senyum termanisnya."Rindu, Om pulang dulu, ya." Om Haryo mengusap kepalaku pelan. Namun, aku tetap bergeming tanpa berniat menjawabnya.Setelah melihat Om Haryo melesat dengan CRV hitam miliknya, ibu kembali masuk ke dalam rumah. Disusul
Suara gedoran di pintu semakin kencang. Aku yang tidak mengerti apa-apa hanya bergeming. Memperhatikan ibu yang semakin terlihat ketakutan."Buka. Buka pintunya! Kalau tidak aku dobrak sekalian." Orang di luar sana kembali berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya."Bu, Rindu takut." Aku mendekati Ibu. Lalu bersembunyi di balik punggungnya. Meskipun aku tahu, ibu juga ketakutan. Terlihat dari tubuhnya yang gemetar dan keringat yang semakin membanjiri wajah cantiknya."Ma, sudah, Ma. Hentikan. Malu didengar orang." Samar aku mendengar suara yang tak asing. Ya, tidak salah lagi. Itu suara Om Haryo."Bu, itu suara Om Haryo," kataku pelan.Ibu hanya mengangguk lemah. Wanita yang melahirkanku dua belas tahun yang lalu itu terlihat menghirup napas panjang. Kemudian mengembuskannya perlahan. Begitu terus berkali-kali."Ma, sudah. Ayo kita pulang." Lagi suara Om Haryo terdengar."Enggak, Mama tidak akan pulang sebelum ketemu sama gund*kmu itu." Suara keras seorang wanita terdengar lagi.
Suasana kini sudah sepi. Hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar nyaring. Memekakkan telinga di tengah sunyinya malam. Hampir setengah jam yang lalu Pak RT, Om Haryo dan istrinya pergi dari rumah ini. Tentunya setelah mendapat jawaban dari ibuku.Tanpa kuduga ibu mengangguk. Itu artinya ibu bersedia menikah dengan Om Haryo. Itu juga berarti Om Haryo akan menjadi ayahku. Aku melihat kesedihan di mata istri Om Haryo. Kesedihan yang sama dengan yang ibuku rasakan dulu. Lima tahun yang lalu.Jam di dinding sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Namun, rasanya mataku sulit sekali untuk terpejam. Kilasan kejadian tadi terus saja terbayang di pelupuk mata. Membuat hatiku lagi-lagi berdenyut nyeri.Ya Alloh, kenapa semua ini harus terjadi padaku? Bahkan aku hanya merasakan kasih sayang bapak sampai usiaku menginjak tujuh tahun saja. Padahal aku sangat menyayangi bapak. Setiap hari aku merindukan bapak. Berharap bapak kembali pulang seperti dulu.Teringat dulu ketika aku masih kecil. Seti
Sejak saat itu kata pelak*r sudah tak asing lagi di telingaku. Saat itu aku tak tahu apa itu pelak*r. Hingga aku memberanikan diri bertanya kepada nenek."Nek, pelakor itu apa?" tanyaku polos.Wajah nenek yang sedang menenun tikar terlihat langsung berubah."Kenapa tanya itu, Rindu?" Nenek malah balik bertanya."Soalnya setiap kali Rindu tanya tentang bapak sama ibu, pasti bilangnya diambil pelak*r. Rindu mau cari pelak*r itu. Mau minta bapak untuk pulang lagi ke rumah. Rindu kangen sama bapak. Rindu kesepian gak ada bapak." Aku mulai terisak.Nenek turun dari kursi tempatnya menenun tikar, lalu mendekatiku."Pelak*r itu wanita yang sudah mengambil bapak dari ibumu. Dia istri bapakmu juga, sama seperti ibumu. Nanti kalau Rindu sudah semakin besar, Rindu pasti akan mengerti." Nenek membelai pucuk kepalaku lembut."Apa pelak*r itu orang jahat?" Aku menatap mata nenek."Ehm, nenek mau lanjutin menenun tikar. Nanti gak selesai?" Nenek tidak menjawab pertanyaanku dan langsung duduk kembali
Saat itu usiaku hampir dua belas tahun. Aku sudah mulai mengerti bahwa nenek tidak suka ibuku dekat dengan Om Haryo. Sebenarnya aku juga tidak suka. Aku lebih suka sama Pak Asep yang disebut nenek tadi. Dia guru bahasa Indonesia di sekolahku. Dia orang yang baik. Terkadang aku diberi uang kalau membantunya membawakan buku-buku berisi tugas ke ruangannya. Buat jajan katanya. Dia juga tidak pernah marah, sekalipun murid-muridnya terkadang nakal. Dia hanya akan menasehati dengan lembut. Tapi kenapa ibu justru tidak menyukainya?Benar saja, selang beberapa hari setelah pembicaraan nenek dan ibu waktu itu, ibu mengajakku pindah ke rumah yang kami tempati dulu bersama bapak. Rumah yang kata ibu dibangun saat usiaku baru lima tahun. Rumah itu memang sederhana, hanya rumah semi permanen dengan ukuran cukup kecil. Tapi di rumah itu banyak sekali kenangan antara aku dan bapak."Ibu, apa boleh kalau Rindu tinggal di sini saja sama nenek?" pintaku saat ibu mengajakku pindah. Sebenarnya aku lebih
Kumandang adzan subuh membuatku langsung terjaga. Entah tidur jam berapa aku semalam. Rasanya mataku perih karena kurang tidur. Kepala juga sedikit keleyengan. Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak setelah peristiwa naas yang menimpa ibuku. Namun, aku tetap harus bangun untuk melaksanakan solat subuh. Aku juga harus mengerjakan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke sekolah.Perlahan aku turun dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi. Basuhan air pada wajah membuatku sedikit segar. Gegas aku solat dua rakaat. Kemudian mengangkat kedua tanganku."Ya Alloh, lindungi ibuku juga nenekku. Sehatkan mereka. Ya Alloh, tolong bantu aku. Aku tidak mau ibu menikah Om Haryo. Aku tidak mau ibu jadi pelak*r. Aku mohon ya Alloh," lirihku dalam doa. Kuusap wajahku dengan kedua tangan.Setelah merapikan kembali mukena dan sajadah, aku segera pergi ke dapur. Mulai memasak nasi, menjarang air untuk minum, lalu merendam cucian. Sambil menunggu nasi dan air minum matang, aku mencuci piring dulu. La
Ibu terlihat salah tingkah memandang Pak Asep."Rindu dianterin Pak Asep, Bu," ujarku."Kebetulan ada perlu sebentar ke rumah kepala sekolah, jadi sekalian antar Rindu," kata Pak Asep pada ibu."Terima kasih, ya. Ayo, masuk dulu." Ibu sedikit bergeser dari tempatnya berdiri. Memberi jalan padaku dan Pak Asep untuk masuk."Silakan duduk. Aku ambilkan minum dulu. Mau teh atau kopi? Kebetulan tadi habis belanja," tanya ibu."Air putih saja," jawab Pak Asep sambil duduk di sofa.Sementara aku memilih untuk masuk ke dalam kamar."Ayo diminum." Terdengar ibu sudah kembali."Terima kasih. San, gimana kabarmu?" Pak Asep bertanya pada ibu."Alhamdulillah baik. Kamu gimana?""Aku juga baik. Maaf, muka kamu sedikit pucat. Apa kamu sedang sakit?" tanya Pak Asep pada ibu."Oh, enggak. Mungkin cuma kurang tidur aja," bantah ibu."Kalau kamu sakit, biar aku antar ke dokter," tawar Pak Asep."Gak perlu. Beneran gak apa-apa, kok. Makasih," tolak ibu."Ya sudah. Kalau kamu butuh bantuan, hubungi aku aj