Share

Ungkapan hati Naya

KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULI

Part 3

"Mungkin semua yang aku rasain itu tidak benar-benar nyata adanya, Mas. Sehingga hanya aku yang rindu, tapi kamu tidak. Hanya aku yang peduli, tapi kamu tidak. Hanya aku yang khawatir, tapi kamu tidak!"

"Kamu tau kenapa Ibu dan Lela tadi kemari? Mereka mengambil beras yang tadi aku beli eceran di warung. Itu mengapa aku tidak masak nasi malam ini."

Deg!

Bagai disambar petir rasanya saat mendengar semua keluhan Naya. Benarkah semua tuduhan yang dikatakan oleh Maya tentang Ibu dan Lela?

"Kamu jangan nuduh yang bukan-bukan, Nay. Aku tau kamu dan Ibu juga Lela dari dulu nggak pernah akur. Tapi jangan gini caranya," ucapku yang membuat Naya tersenyum sinis.

"Ck, capek ngomong sama kamu, Mas." Setelah mengatakan itu Naya kembali membelakangiku. Dia sibuk dengan ritualnya memasak.

Aroma mie goreng menguar ke indera penciuman. Rasanya pasti sangat enak, apalagi saat ini diluar sedang hujan. Naya memang sangat pengertian, walaupun sedang marah. Tapi dia masih saja melayaniku, walau setengah hati.

"Ini mienya kok satu? Kamu nggak mau?" tanyaku pada Naya yang sedang mencuci wajan bekas dia memasak mie barusan.

"Maulah, itu buatku," jawab Naya, kemudian dengan cekatan dia mengambil piring yang semula berada di atas meja. Naya membawanya ke depan telivisi, dia makan mie itu sambil menonton.

"Terus buatku mana?" tanyaku sambil mengikuti langkah Naya.

"Mienya habis. Kalau mau aku buatin, kamu beli dulu mienya. Di warung depan ada," jawab Naya sekenanya.

"Tapi diluar hujan, mana mungkin aku pergi kesana. Bisa flu aku," kilahku menatap nanar Naya yang sedang memakan mie goreng.

Perutku sekita keroncongan minta diisi. Aku memilih kedapur untuk melihat stok makanan apa saja yang masih ada di dalam kulkas. Ternyata kulkasnya kosong, seperti perutku saat ini. Yang ada hanya satu butir telur.

Aku mengambil telur tersebut dan mencucinya dengan air. Kemudian aku mencari dimana wajan yang biasa digunakan Naya untuk menggoreng telur. Tapi setelah hampir lima menit mencari tidak aku temukan wajannya.

Mau bertanya pada Naya rasanya terlalu malas. Dia pikir cuma dia saja yang bisa mogok bicara. Aku juga bisa.

Capek mencari wajan untuk menggoreng telur, akhirnya aku memilih panci yang biasanya digunakan untuk merebus air. Aku menuang sedikit minyak kedalam panci, kemudian menghidupkan api.

Berkali-kali aku mencoba menghidupkan gas, tapi kesialan masih berpihak padaku. Mau tidak mau aku harus bertanya juga pada Naya yang masih santai di depan TV.

"Kenapa apinya nggak mau hidup?" tanyaku sambil berteriak dari dapur.

"Gasnya habis," jawab Naya yang juga setengah berteriak.

"Terus ini gimana aku masak telurnya?" tanyaku lagi.

"Ya nggak tau," balas Naya dengan santai. Ingin rasanya aku melempar telur ini ke lantai. Tapi sayang, hanya ini telur yang tersisa.

"Tabung gasnya kan ada dua. Harusnya kamu bisa menyetok gas satu lagi jika sewaktu-waktu gas lain habis. Itu aja pakai aku ajarin!" gerutuku sambil menduduki sofa di dekat Naya.

"Jangankan buat nyetok gas, Mas. Nyetok pampers aja nggak bisa," kilah Naya dengan bibir mencebik. Geram sekali rasanya melihat tingkahnya sekarang. Sekarang dia malah menyindirku masalah Pampers.

"Aku kasih kamu uang satu juta sebulan. Harusnya kamu pandai-pandai mengatur keuangan. Katanya lulusan akuntansi, tapi itu saja tidak bisa," ejekku sambil merebahkan punggung pada sofa empuk berwarna hitam.

"Seharusnya cukup kalau saja permintaan menu makanannya nggak neko-neko," balas Naya lagi.

"Kamu udah pandai ngebantah aku ya sekarang. Pantas aja Ibu tadi nampar kamu, mulut kamu itu nggak bisa direm!" sindirku yang membuat aktivitas makan malam Naya terhenti.

Hanya beberapa detik setelahnya, dia kembali menyuapkan sesendok mie terakhirnya. Habis sudah tidak tersisa, aku hanya bisa menelan saliva yang terasa kering.

Dia taruh piring kosong di atas meja, kemudian mengambil segelas air lalu dia minum hingga tandas.

"Mas, kamu mau rumah tangga kita kayak dulu lagi nggak?" tanya Naya tiba-tiba.

"Tentu saja. Aku tidak suka sama sikap kamu yang sekarang," jawabku acuh.

"Kalau gitu kamu mau nggak dengerin aku?" tanya Naya lagi. Aku tidak menjawab, hanya melihatnya dengan malas.

Kemudian aku mengambil remote TV, dan mengganti saluran Chanel.

"Kalau kamu nggak mau berubah, aku rasa rumah tangga kita nggak akan bisa bertahan lama." Kata-kata Naya barusan membuatku tegang. Apa ini? Ancaman?

Setelah mengatakan itu, dengan santainya Naya berdiri dan hendak pergi menyimpan piring kotor. Dengan cepat aku menahan tangannya, menyuruhnya kembali duduk.

"Kamu ngancam, aku?" tanyaku menatap dalam manik coklat itu. Sebenarnya Naya cantik, hanya saja semenjak Daffa lahir dia jadi sangat sibuk dengan peran barunya itu.

Sehari kadang dia cuma mandi sekali. Jangankan memakai pemutih wajah dan tubuh, kadang dia mandi pun hanya lima menit.

Dulu ketika aku pulang kerja dia selalu sudah rapi dan wangi. Sekarang, dia sangat membosankan. Padahal jika aku mau, bisa saja aku mencari wanita lain. Tapi aku tidak mau, karena aku hanya mencintai Unaiya Hafizah.

"Aku nggak ngancam, Mas. Yang aku katakan barusan adalah kenyataan," jawab Naya dengan nada santainya. Dia tidak goyah sedikitpun.

"Katakan, apa yang harus aku dengar," ucapku menyuruh berbicara.

"Sudah lama sekali aku rindu dengan suasana ini, Mas. Sudah lama sekali kamu tidak pernah menanyakan kesibukanku dirumah," ucap Naya memulai pembicaraan. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

Benar kata Naya. Dulu setiap pulang kerja, kami selalu duduk bersama. Bercerita tentang hari lelah yang sudah kami lewati.

Tapi semenjak Daffa lahir, kami sudah jarang duduk berdua seperti ini.

"Selama ini aku hanya diam, Mas saat Ibu dan Lela menghina dan merendahkan aku. Karena aku pikir seiring berjalannya waktu, mereka akan menerimaku." Air mata Naya mulai jatuh di pipi tirusnya.

"Tapi ternyata aku salah. Semenjak Daffa lahir, mereka jadi semakin semena-mena terhadapku. Lihatlah, malam ini saja kita tidak bisa makan nasi. Karena berasnya diambil mereka," jelas Naya lagi sambil menghapus air matanya.

"Kamu nggak bohong kan, Nay?" tanyaku memastikan semua penuturan Naya.

Entah apa yang salah dari pertanyaanku barusan. Hingga membuat Naya menatap tajam seperti ingin menelanku hidup-hidup.

Naya memperbaiki duduknya yang semula menunduk. Sekarang malah menghadap kearahku.

"Kamu anggap semua yang aku katakan barusan itu adalah sebuah kebohongan, Mas?" desis Naya sambil menggigit bibirnya. Aku tahu sekarang dia sedang menahan amarahnya.

"Bukan gitu, Nay. Aku kan cuma tanya, untuk memastikan," belaku sambil memegang kedua tangannya.

"Aku tau, Mas. Sampai kapanpun kamu tetap milik Ibu. Tapi kamu juga harus ingat, kalau sekarang kamu punya aku, punya Daffa!" tegas Naya lagi sambil menunjuk kearah kamar, dimana Daffa tidur.

"Aku nggak masalah jika kamu masih menafkahi Ibu. Aku juga nggak masalah kamu memberikan uang pada Ibu. Tapi tidak sama Lela!"

"Tapi dia adikku, Nay," belaku lagi. Entah apa lagi yang salah dengan jawabanku barusan. Naya dengan cepat melepaskan genggaman tanganku. Kemudian kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.

"Dia udah punya suami, Mas! Kalau kamu kaya raya kayak Ardi Bakri. Kamu cuma pegawai kantoran biasa yang punya penghasilan pas-pasan. Kalau cuma memberi sekedar, ya nggak papa. Ini kamu kasih ke dia melebihi nafkah kamu ke aku," geram Naya yang membuatku menarik nafas panjang.

"Iya, Nay. Aku paham. Terus sekarang mau kamu gimana?" tanyaku dengan suara sedikit meninggi.

"Mau ku? Mau ku kamu memberikan semua gaji kamu untuk aku kelola," pinta Naya.

Permintaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Entah sejak kapan Naya berubah. Dia menjadi lebih tegas sekarang. Padahal dulu dia sangat penurut dan patuh. Tidak pernah protes berapapun nafkah yang aku berikan.

"Kenapa diam, Mas? Kamu nggak mau?" tanya Naya setengah mengancam.

"Nggak mungkin, Nay. Oke. Gini aja, gimana kalau uang nafkahnya aku tambahin lagi?" tanyaku membuat penawaran.

"Nggak! Aku nggak mau. Kalau kamu nggak mau ngasih aku yang kelola gaji kamu. Yaudah, aku sama Daffa mau pulang aja kerumah Abi."

Deg!

Apa Naya akan pulang kerumah orang tuanya? Terus siapa nanti yang akan mengurus semua kebutuhanku?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
nah betul Naya pulang aja
goodnovel comment avatar
Rastri Quinn
Ya minta urus sama ibuk dan adekmu tersayang itu lah. Kan mereka yg abisin duit gajimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status