Share

Fitnah Ibu

KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULI

Part 4

"Nggak mungkin, Nay. Oke. Gini aja, gimana kalau uang nafkahnya aku tambahin lagi?" tanyaku membuat penawaran.

"Nggak! Aku nggak mau. Kalau kamu nggak mau ngasih aku yang kelola gaji kamu. Yaudah, aku sama Daffa mau pulang aja kerumah Abi."

Deg!

Apa Naya akan pulang kerumah orang tuanya? Terus siapa nanti yang akan mengurus semua kebutuhanku?

"Kamu ngancam aku?" desisku tidak percaya dengan ucapan Naya barusan. Bagiamana bisa dia mengancam aku dengan ancaman begitu.

"Aku serius, Mas!" tegasnya lagi.

"Cukup ya, Nay. Aku nggak mau bertengkar cuma gara-gara masalah sepele," ucapku menyudahi pembicaraan yang menurutku tidak ada ujungnya.

Kemudian aku berdiri dan berjalan ke dapur. Rencananya aku akan minum air putih banyak-banyak. Agar rasa laparku sedikit terobati.

"Sepele kamu bilang, Mas? Rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja, Mas." 

Naya kembali mengatakan sesuatu yang membuatku terpaksa berhenti melangkah. Kubalikkan tubuhku menghadap ke arahnya, menatap seksama. Menemukan dimana letak kesalahan yang membuat Naya bertingkah.

"Kamu jangan berpikir berlebihan. Rumah tangga kita baik-baik saja," ucapku kemudian kembali ke dapur untuk minum.

Sesaat setelah aku selesai minum, tidak kutemukan lagi Naya di sana. Mungkin dia sudah masuk ke dalam kamar. Aku segera menyusulnya masuk.

Benar dugaanku, Naya sudah tidur meringkuk di bawah selimut tebal kesayangannya. Aku segera mengambil langkah untuk segera tidur juga.

Rasanya sungguh tidak enak Naya bersikap acuh begini. Aku merasa seperti hidup sendiri dan Naya sebagai orang lain. Kutatap punggung Naya yang tidur membelakangiku.

Aku bukannya tidak mempercayai semua keluhan Naya tadi. Aku hanya tidak ingin semuanya semakin runyam. Bagaimanapun Naya adalah istriku. Dan Ibu adalah orang yang telah mengandung dan melahirkan aku.

Sebelumnya aku memang tidak pernah melihat adegan dimana Ibu dan Lela membuat semena-mena pada Naya. Hanya saja aku menemukan kebenaran di mata Naya tadi. Aku tau dia, karena dia istriku.

Sebagai seorang suami, sebenarnya aku ingin membuat Naya bahagia. Di sisi lain, aku juga ingin membuat Ibu bahagia. Seperti kejadian kemarin saat aku memberikan uang pada Lela dan Ibu.

Tidak ada seorang Abang yang ingin melihat adiknya kesusahan. Makanya aku memberikan uang untuk Lela. Jujur, aku tidak tau harus memihak kemana. 

Sepertinya aku memang harus bertemu dengan Ibu dan Lela. Untuk menanyakan kebenaran atas semua keluhan Naya tadi. Jika memang benar, aku harap mereka bisa berubah. Karena sikap mereka sedikit keterlaluan.

Kubalik tubuhku menghadap ke arah Naya. Merengkuh tubuh Naya ke dalam pelukan. Naya semakin kurus.

"Maafkan, Mas," bisikku pelan.

"Maaf," lirihku lagi sambil berusaha memejamkan mata. Tidak ada reaksi apa-apa, mungkin Naya sudah tidur.

Entah berapa lama aku tertidur dengan posisi memeluk Naya. Tiba-tiba saja aku terbangun karena perut terasa perih. Mungkin saja lambungku kambuh, karena malam ini aku belum makan nasi.

Kulepaskan dekapan Naya. Lalu aku turun dari ranjang. Mencoba meminum obat yang selalu tersedia di dapur.

Entah berapa gelas air yang sudah aku minum. Tapi tidak ada reaksi yang berarti. Kulirik jam yang menggantung di dinding rumah. Menunjukkan pukul sembilan malam. 

Sepertinya Ibu belum tidur. Aku akan kerumah Ibu untuk numpang makan. Dari pada lambungku semakin menjadi. Tidak butuh waktu lama, aku sudah sampai di depan rumah Ibu.

Tok Tok Tok!

"Assalamualaikum."

Aku mengetuk pintu rumah Ibu sambil memberi salam. Tidak lama setelahnya terdengar suara jawaban dari dalam.

"Waalaikumsalam."

"Eh, Man. Kok kamu kesini malam-malam. Mana hujan, masuk-masuk." Ibu terkejut saat melihatku datang malam-malam begini. Apalagi di luar sedang hujan.

Wajah Ibu terllihat sedikit lemas, mungkin tadi Ibu sudah tidur. Tapi bangun lagi karena aku datang.

Akupun masuk ke dalam rumah, tempat dimana aku tinggal dulu bersama Ibu dan Lela.

"Maaf, Buk. Aku ganggu malam-malam gini," ucapku ketika sudah duduk di sofa millik Ibu.

Dulunya ini sofa punya Naya. Dulu dia bekerja sebagai pengajar di pesantren millik Ayahnya. Dan ini adalah sofa yang dibeli dengan gaji pertamanya.

Namun ketika akan pindah kerumah yang kami tempati sekarang. Ibu melarang kami untuk membawa sofa ini. Alasannya karena dirumah Ibu belum ada sofa. Bukan hanya sofa ini sebenarnya, ada beberapa barang kami yang lainnya dilarang oleh Ibu.

Tapi dulu Naya hanya diam dan patuh sama permintaan Ibu. Makanya sekarang aku bingung, kenapa Naya bisa berubah menjadi pembangkang. Dia jadi susah diatur sekarang.

"Kamu kenapa? Bertengkar lagi sama perempuan itu?" tanya Ibu sambil menyuguhkan teh manis hangat padaku.

"Nggak, Buk. Ibu masak nggak? Aku lapar," tanyaku balik.

"Masak sih, tapi makanannya udah dingin," jawab Ibu.

"Nggak papa, asalkan lambungku tidak kambuh," jawabku sambil bangun dan berjalan ke dapur. Tidak lupa teh hangat tadi aku bawa sekalian. Karena akan aku minum setelah aku makan nanti.

Ibu terlihat menyusulku ke dapur. Dia membuka tudung saji di atas meja dan mengambilkan aku piring. Dengan cepat aku menerima piring itu dan mengambil sedikit nasi dan memakannya dengan lahap.

"Naya nggak masak?" tanya Ibu di sela aku makan.

"Masak, tapi…." Aku sengaja menggantungkan kalimat. Karena menurutku sepertinya ini waktu yang pas untuk aku menanyakan perihal keluhan Naya tadi.

"Tapi apa?" tanya Ibu penasaran.

"Katanya nggak ada beras," jawabku yang membuat wajah Ibu sedikit pias.

"Oh." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Ibu. Semakin membuatku curiga bahwa yang dikatakan Naya benar.

Setelah selesai makan, aku segera mencuci tanganku. Kemudian kembali duduk di tempat semula.

"Bu, aku mau nanya. Boleh?" tanyaku hati-hati. Aku hanya takut jika pertanyaanku nanti akan menyinggung perasaan Ibu.

"Tanya aja. Ngapain minta ijin segala," ucap Ibu. Dari kalimat Ibu barusan bisa kurasakan jika ada nada tidak suka.

"Apa benar Ibu dan Lela tadi ambil beras kami?" tanyaku lagi sambil tersenyum. Aku takut menyakiti perasaan Ibu. Karena semenjak Ayah meninggal, Ibu menjadi lebih sensitif.

"Dia ngadu apa aja ke kamu?" Bukannya menjawab pertanyaanku barusan, Ibu malah balik bertanya.

Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Apa yang harus aku jawab. Tidak mungkin aku mengatakan semua keluhan Naya tadi. Bisa-bisa malah perang dunia ketiga.

"Nggak ada. Hanya itu," jawabku singkat.

"Tega sekali dia memfitnah Ibu dan Lela. Padahal Ibu dan Lela tadi kerumah hanya ingin menjengukku Daffa," ucap Ibu yang kini mulai terisak. Aku jadi merasa bersalah.

"Ibu tau semenjak dulu dia memang bukan menantu yang baik untuk keluarga kita. Makanya Ibu ngelarang kamu nikahin dia. Sekarang kamu lihat sendiri kan bagaimana dia memfitnah Ibu dan Adikmu?" Ibu kembali membuka suara.

"Aku juga nggak tau, Bu. Kenapa Naya bisa berubah kayak sekarang. Padahal dulu dia sangat nurut dan patuh sama aku. Tidak ada keluhan apapun tentang keuangan atau tentang Ibu dan Lela," keluhku sambil menyandarkan tubuhku pada kursi.

"Kayaknya Ibu tau kenapa istrimu berubah," ucap Ibu menyondongkan badannya kearahku.

"Maksud, Ibu?"

"Kamu sih. Jadi suami nggak tegas. Kamu tau nggak apa kebiasaan istrimu itu kalau kamu udah berangkat kerja?" tanya Ibu yang membuatku penasaran.

"Apa?" 

"Ibu dan Lela sering mergokin dia megang hp seharian. Dia kayak sedang ngetik gitu. Tapi Ibu dan Lela yakin kalau dia lagi chattingan sama laki-laki lain," ucap Ibu yang mengingatkan aku pada ponsel Naya tadi.

Benar yang Ibu katakan. Tadi saja aku melihat Naya mengacuhkan aku. Dia memegang ponsel entah mengetik apa. Dan juga, dia mulai memakai password pada pada ponselnya.

"Ibu yakin?" tanyaku memastikan.

"Yakin. Naluri seorang Ibu itu tidak pernah salah, Man. Nggak ada perubahan signifikan pada seseorang tanpa ada pengaruh dari pihak luar. Bisa saja kan dia bersikap seperti ini agar kamu merasa bersalah. Untuk menutupi kesalahannya pada kita." Kata-kata Ibu barusan mampu menggoyahkan kepercayaanku pada Naya.

"Jadi maksud Ibu, Naya selingkuh?" tanyaku menatap Ibu tak percaya.

"Ibu nggak mau nuduh. Tapi kan bisa jadi itu terjadi. Lagian ya, Man. Seseorang itu nggak mungkin bisa berubah dalam sekejap jika tidak ada pengaruh dari luar," jawab Ibu lagi yang semakin membuatku penasaran. Ingin rasanya langsung pulang kerumah dan mengecek langsung ponselnya Naya.

Karena jika orang punya penyakit lambung sepertiku. Berita semacam ini sangat berpengaruh terhadap pemicu kambuhnya penyakit. Apalagi ini menyangkut rumah tanggaku.

"Kadang nih ya, Man. Bisa saja itu trik dari istri kamu. Biar rumah tangga kalian bubar, terus dia bisa nikah lagi deh sama laki-laki lain," lanjut Ibu lagi.

Aku jadi teringat tentang kata-kata Naya tadi. Saat dia mengatakan ingin pulang ke rumah Abi. Aku mengepalkan tangan kuat, ini tidak bisa dibiarkan.

"Jadi aku harus gimana, Bu?" tanyaku bingung.

"Ya kalau dia minta ceria kamu ceraiin aja. Lagian Ibu nggak suka sama dia," ucap Ibu yang spontan membuatku menggeleng kepala kuat.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
wong tuwo gendeng
goodnovel comment avatar
Ronggur Milae
inilah suami biadab
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status